Tentang Julius dan Ibunya
Tunggu dulu. Dari mana sebaiknya saya memulai cerita tentang keluarga ini? Dari rasa dukanya? Saya tidak terlalu suka mengungkit duka dan tangis. Dan saya kira perempuan di hadapan saya ini juga sudah terlalu sering menangis. Suaranya parau kini.
Jadi, baiklah, saya akan memulainya dari sebuah lukisan Bunda Maria yang tengah menggendong bayi Yesus di dinding yang mulai kusam rumah keluarga ini. Lukisan itu, kata perempuan di hadapan saya (namanya Widyawati), dibuat oleh seorang kerabat. Maria melahirkan Yesus, merawatnya dalam keteguhan.
Gambar setangkup tangan yang berdoa tertempel di dinding sebelah pintu masuk, bertuliskan "Berkatilah rumah ini Ya Tuhan baik siang maupun malam". Mereka hanya menginginkan berkah, bukan harta kekayaan berlimpah. 'Berkatilah', karena kesialan atau keberuntungan hanyalah urusan bagaimana manusia memberikan makna.
Kesialankah? Keberuntungankah? Widyawati menikahi Sugeng Widharta, seorang awak bus. Ia melahirkan lima anak, dan pada usia 35 tahun, Sugeng terserang stroke. Widyawati menduga, suaminya terlalu banyak merokok dan tak banyak menjaga kesehatan. Kini Sugeng hanya bisa berjalan pelan.
Anak keempat mereka, Julius Bintang, terkena tumor otak. Ia lahir normal, sebenarnya, pada 17 Juli 1992. Ia tumbuh riang gembira di Sekolah Dasar Katolik Maria Fatimah Jember, hingga kemudian pusing dan mual sering menyergapnya saat usia sebelas tahun. Pandangan matanya kian kabur, dan berikutnya, ia hidup dalam gelap.
Julius menjalani hari-hari sekolah menengah pertamanya di sebuah sekolah luar biasa. Widyawati berjualan nasi campur untuk menambah pemasukan keluarga, selain ada kiriman dari anak-anaknya di luar kota. Sugeng sesekali membantu mengantarkan ke beberapa pembeli. "Sekalian membiasakan untuk berjalan," kata Widyawati.
Namun kondisi Julius memburuk. Syaraf kontrolnya kurang bekerja. Ia mudah lupa, dan rahangnya sering menganga sendiri. Sebelum tidur, ia memakai pampers, popok pencegah ngompol untuk bayi.
Pusing semakin sering menyergap kepalanya. Dokter menyarankan agar dilakukan operasi di kepalanya.Seorang suster Gereja Katolik Santo Yusuf, Paulin, memberikan bantuan, termasuk mengumpulkan sumbangan dari para donatur. Lima tahun silam, Paulin meninggal dunia setelah terserang stroke.
Empat kali operasi memang membuat kondisi Julius agak mendingan, namun tak sepenuhnya sembuh. Widyawati mengenang, anaknya itu pernah terjatuh saat masih bayi dan membuat kepalanya agak meneleng. Mungkin itu yang membuat gangguan di otak Julius.
Setelah lebaran lalu, Julius agak pikun, bahkan lupa terhadap ayahnya sendiri. Pertumbuhannya lambat. Seharusnya ia sudah lulus SMA, namun kini sama-sama kelas tiga SMP seperti adiknya. Julius menyayangi adik laki-lakinya. "Ini, Ma, uang untuk adik," katanya, suatu saat memberikan uang hasil berjualan kue dan mi di sekolahnya. Ia ingin adiknya dibelikan ikan untuk lauk makan.
Widyawati memutuskan untuk tak berjualan lagi dan merawat Julius dan suaminya. Ia mengandalkan kiriman uang dari anak-anaknya yang lain. Julius sejak sakit kepalanya makin parah sudah cuti sekolah. Kapasitas syarafnya menurun. "Dia sering blank," katanya, menyebut kondisi Julius yang sering lupa.
Lalu datanglah suatu hari di Januari 2011. Di rumah sakit di Surabaya untuk mengecek kondisi tubuhnya, Julius mengalami kejang-kejang dan pingsan di kamar mandi. Ia habis menjalani operasi kembali. Kondisi tubuhnya drop, namun sempat sadar dan makan enak.
"Ma, aku ingin pulang," kata Julius. Ia capek berada di rumah sakit. Ia ingin melanjutkan pendidikan di Malang menjadi seorang tukang pijat tuna netra. "Dia enak kalau memijat," kata Rahman, salah satu gurunya.
Widyawati menjaga Julius seorang diri. Ia tak berani mengajak Sugeng Widharta. Setelah terserang stroke, kondisi suaminya itu tak benar-benar sembuh.
Senin dinihari, 17 Januari lalu, Julius mengembuskan napas terakhir dalam tidurnya. "Saya sempat berpikir, bagaimana kalau saya meninggal duluan. Siapa yang akan merawat dia. Memang ada kakaknya, tapi kan tetap saja tidak sama kalau yang merawat ibunya sendiri. Ternyata, dia mendahului saya," kata Widyawati.
Mungkin berpikir buruk pun memang kita tidak boleh, kata dia.
Pemakaman Julius dihadiri banyak orang, lebih banyak dari yang diperkirakan Widyawati. Teman-teman komuni di gereja hadir semua. Teman-teman sekolahnya, juga para guru sekolah luar biasa. "Mungkin kalau saya yang mati, tak akan sebanyak ini," katanya. Hari itu suaranya parau, terlalu sering menangis.
Saya dan seorang kawan kembali mendatangi rumah Widyawati beberapa hari setelah pemakaman itu. Ada foto Julius di kala sehat di ruang tengah. Foto yang digunakan saat prosesi pemakaman. Ruang tamu rumahnya berantakan. Sunyi.
Widyawati baru saja tiba dari rumah ibunya. Nenek Julius, kata dia, kondisinya drop. Tekanan darah naik. Pembuluh di otaknya ada yang pecah, setelah mendengar sang cucu meninggal dunia.
Widyawati menangis lagi, dan kawan saya menyodorkan tisyu.
Kesialankah? Keberuntungankah? Saya selalu terpesona melihat bagaimana takdir bekerja. Widyawati tak menganggapnya nasib buruk. Lukisan Bunda Maria masih di sana, tertempel di dinding yang mulai kusam, juga sepotong doa: "Berkatilah rumah ini Ya Tuhan baik siang maupun malam". [wir]
26 January 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment