22 January 2011

Oposisi Berserak: Gerakan Moral atau Politik?

Sejumlah tokoh agama menyatakan keprihatinan. Rezim SBY-Boediono dinilai melakukan kebohongan publik. Terjadi kesenjangan sangat dalam antara klaim pemerintah versus realitas di masyarakat dalam banyak aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan oposisi moral mulai bergerak. Gerakan oposisi politik lama diperjuangkan PDIP sejak Pilpres 2004. Bagaimana potret ke depan?

Oposisi berserak. Demikian saya meminjam judul terjemahan buku Anders Uhlin, seorang ilmuwan politik dari Swedia. Betapa ini menggambarkan, sebuah gerakan oposisi di Indonesia tak pernah tunggal, dalam ideologi maupun latar belakang gerakan. Namun dari semua itu, perdebatan tentang oposisi sebagai gerakan moral atau politik tak pernah surut.

Tidak jelas juga, bagaimana awalnya sebuah gerakan oposisi di Indonesia bisa didikotomikan antara gerakan moral dan politik. Bagai membacanya dalam konteks oposisi biner: yang pertama lebih unggul dibandingkan yang kedua. Yang pertama lebih bermakna dan 'sakral' dibandingkan yang kedua.

Boleh jadi, gerakan moral selalu diandaikan tidak memiliki tendensi atau motif pencarian kekuasaan (power seeking). Sebuah oposisi moral bergerak di dataran idealitas, bahwa yang menjadi panduan adalah kondisi yang ideal (das sollen). Gerakan oposisi moral hanya bertindak sebatas seruan-seruan, tanpa ada tendensi untuk menjadi gerakan kongrit di jalanan.

Saya membayangkan gerakan moral sebagai ini: seorang tua yang mencoba berbisik lalu sekuatnya berteriak di tengah orang ramai. Gerakan moral mungkin seperti terma dalam agama: jika tak mampu mengubah dengan tangan, maka gunakan ucapan. Berkata lebih baik daripada diam, karena diam melihat sesuatu yang salah adalah selemah-lemahnya keimanan.

Berkebalikan dengan oposisi sebagai gerakan moral, oposisi sebagai gerakan politik jelas-jelas diandaikan memiliki motif perburuan kursi, kedudukan. Gerakan politik selalu dikaitkan dengan pragmatisme, orientasi singkat dan bukan jangka panjang. Maka oposisi yang berada dalam dataran gerakan politik adalah mereka yang selalu bergerak, mencari upaya naik ke atas. Ada pamrih, sesuatu yang tak dimiliki gerakan moral.

Definisi memang memudahkan. Namun di tengah politik Indonesia yang penuh syak wasangka dan praduga, siapa yang bisa menentukan ini gerakan politik atau moral belaka? Sejarah oposisi kita lebih diwarnai manuver politik dan stigma hitam dari kekuasaan.

Semasa Soekarno berkuasa, kala kehidupan politik riuh-rendah, bicara tentang gerakan oposisi selalu bicara tentang kekuasaan. Partai-partai saling sodok di parlemen, dan kita tahu, tak ada kabinet yang mampu bertahan lama. Soekarno tak sabar dan mengakhirinya dengan sebuah dekrit yang menahbiskan dirinya menjadi seorang 'maha' presiden.

Zaman berganti, dan Soeharto bukan jenis orang yang sabar dengan segala hiruk-pikuk politik. Ia tak membutuhkan suara berbeda. Ketidakseragaman mengganggu konsep kosmos Jawa yang dianutnya: keseimbangan. Ketidakseragaman memungkinkan chaos, dan mengganggu keseimbangan itu. Dan kita tahu kemudian, politik menjadi senyap. Oposisi seperti nyanyian bisu.

Ketika kehidupan politik dibonsai dengan asas tunggal dan fusi partai, mahasiswa dikembalikan ke kampus dan dibuat sibuk dengan kuliah, praktis yang bisa dilakukan tinggal bersuara. Namun Soeharto menutup suara yang berbeda dengan stigma: organisasi tanpa bentuk, subversif, ancaman komunisme, PKI baru.

Maka gerakan oposisi harus pandai-pandai bermain akrobat. Gerakan oposisi bukan lagi bicara moral atau politik, tapi gerakan akrobat agar tak mudah digebuk, bahkan termasuk pers. Perlawanan yang dilakukan rakyat terhadap kebijakan penguasa lebih tidak terstruktur dan terpisah-pisah berdasarkan persoalan lokal masing-masing.

Kita tahun di era 1980-an, ada para tokoh yang menamakan diri Petisi 50. Mereka antara lain AH Nasution, Ali Sadikin, Anwar Harjono, Hoegeng Iman Santoso, AM Fatwa, M Natsir, dan Chris Siner Key Timu. Sejak 1980, Petisi 50 menulis lebih dari 170 surat berisi tentang seruan reformasi politik kepada Soeharto.

Uhlin menuliskan: Petisi 50 adalah bagian dari oposisi moderat. Mereka antikomunis, namun menekankan kesetaraan ekonomi dan tuntutan mereka bercorak sosial demokratis. Petisi 50 jelas bukan gerakan politik yang mengincar kursi presiden. Namun sebuah surat pun sudah dianggap terlalu mengerikan oleh Soeharto. Di masa Orde Baru, kita pun jadi ingat lirik lagu Iwan Fals: 'jika kata tak lagi bermakna, lebih baik diam saja'. Orang dipaksa bungkam.

Era 1990-an, Abdurrahman Wahid mendirikan Forum Demokrasi. Rahman Tolleng, salah satu anggota Fordem, sebagaimana dikutip Uhlin menyatakan: 'tujuan kelompok ini adalah untuk menyebarkan ide-ide tentang demokrasi, bukan untuk mengorganisasi rakyat'. Fordem jelas sangat moderat, namun Soeharto melarang pertemuan dengan Fordem selama masa kampanye pemilihan umum 1992.

Hari ini, Indonesia lebih terbuka. Demokrasi berjalan, terlepas dari perdebatan apakah ini demokrasi substantif atau artifisial. Namun curiga dan prasangka tak sepenuhnya hengkang. Mungkin begitulah watak kekuasaan: selalu mencurigai mereka yang tak satu barisan. Prasangka yang seringkali membenturkan politik Indonesia dalam zero-sum game: mengeliminasi satu sama lain.

Stigmatisasi masih ada, dan orang kini dikaburkan tentang batasan gerakan moral dan gerakan politik. Itulah nasib seruan 'menolak kebohongan' yang dikemukakan para tokoh lintas agama. Sebuah seruan yang didasarkan pada realitas dicurigai sebagai 'sesuatu yang digerakkan'.

Ada yang menyayangkan, seharusnya para tokoh lintas agama tetap berada di garis moral, dan garis moral itu berarti netral. Tak jelas juga apa yang dimaksud dengan netral di sini. Dalam kehidupan yang seringkali tak adil, seseorang tentu harus bersikap. Seorang tokoh agama tentu harus menyerukan apa yang dirasakan umatnya, karena itulah makna sesungguhnya menjadi pemimpin.

Gerakan moral tak pernah netral. Namun selama itu tak memiliki pamrih pragmatis dan dilakukan sebagai pilihan independen, sebuah pilihan bebas tanpa tekanan, rasanya itu tak perlu dicurigai aneh-aneh, bukan? [wir/air]

No comments: