30 January 2011


Mazhab Tegalboto dan Kematian Pegiatnya

Tegalboto adalah nama kawasan di Kecamatan Sumbersari, tempat Universitas Jember berada. Sejak lama, nama Tegalboto selalu dikait-kaitkan dengan semacam joke atau 'guyonan' aliran intelektual tertentu.

Waktu saya masih kuliah di Universitas Jember, para aktivis pers kampus menyebut diri mereka 'kuliah di ITB'. ITB di sini bukan Institut Teknologi Bandung, tapi 'Institut Tegal Boto'. Tegalboto di sini merujuk pada nama majalah yang diterbitkan Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa Unej.

Buku terbitan Pena Salsabila, Januari 2011, berjudul Selamat Jalan Pegiat Madzhab Tegalboto mengaitkan Tegalboto dengan mazhab (aliran pemikiran). Sepintas, penyebutannya agak mirip-mirip dengan penyebutan Frankfurt untuk Mazhab Frankfurt, sebuah aliran pemikiran sosiologi dan filsafat yang dikenalkan oleh para pemikir dari Universitas Frankfurt Jerman, seperti Horkheimer, Adorno, atau Habermas.

Terlalu muluk dan berlebihan, tentu, menyetarakan Mazhab Tegalboto dengan Mazhab Frankfurt. Namun judul buku ini memang memancing orang untuk bertanya-tanya, apa yang dimaksud dengan Mazhab Tegalboto. Orang yang belum pernah bergumul dengan dunia intelektual kampus Unej, tentu juga akan bertanya: siapakah Dr. A. Habibullah MSi.

Buku ini dipersembahkan untuk semacam menjadi eulogia bagi Habibullah yang meninggal tahun lalu. Penulisnya adalah para aktivis mahasiswa atau mantan mahasiswa Habib di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember. Isinya, selain esai riwayat singkat Habib, berisi sejumlah pengalaman dari para aktivis selama bersinggungan dengannya. Namanya saja pengalaman, tentu yang manis-manis.

Nur Hasan, Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumnus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, menuliskan kepedulian Habibullah terhadap para aktivis organisasi mahasiswa berbasis NU itu. "Mas Habib membuka pintu rumahnya lebar 24 jam ketika ada kader PMII yang akan berkonsultasi," tulisnya.

Di Medan, Sumatera Utara, Edy Wahyudi, salah satu mantan aktivis PMII, pernah menyaksikan 'ke-mbelingan' Habibullah. Mereka berdua meninggalkan salah satu sesi acara pelatihan, dan memilih di depan televisi: menyaksikan timnas Indonesia melawan Uruguay. Habibullah memang penggila sepakbola, dan sama seperti saya, sama-sama penggemar Liverpool.

Achmad Faidy Suja'ie, mantan Ketua Umum PMII Jember, menyebut Habibullah Facebooker yang militan. Akun FB Habibullah tak pernah sepi dari perdebatan soal sepakbola. Posisi Habibullah dalam konteks relasi PMII dan organisasi alumnusnya diibaratkan seperti posisi Ahmad Bustomi, saat bermain untuk Arema dan timnas Indonesia.

"Dia memang tidak sepopuler Irfan Bachdim, Christian Gonzales, maupun Markus Haris Maulana. Tapi peran yang dimainkannya cukup vital," tulis Faidy.

Akhirnya, buku ini lebih banyak berisi romantisme dan kenangan bersama Habibullah. Tak banyak pemaparan mengenai apa itu 'Mazhab Tegalboto' dan mengapa Habib menjadi pegiatnya. Ada tulisan dari MN Harisudin, seorang dosen, yang judulnya dijadikan judul buku ini. Namun tak banyak menyentuh hal-ihwal Mazhab Tegalboto.

Menurut Harisudin, ide mazhab ini pertama kali disuarakan oleh Abdul Halim Soebahar, dalam pengukuhan guru besarnya di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jember, 23 Januari 2010. Mazhab sebagai diwacanakan ini sedikit lentur pengertiannya.

"Menurut saya, pengertian mazhab di sini adalah sekelompok orang dalam sebuah komunitas yang berdiskusi secara intensif dengan ikhtiar memunculkan gagasan yang berserakan untuk kemaslahatan kemanusiaan," tulis Harisudin.

Jika mengacu dari buku yang diangkat dari hasil penelitiannya untuk meraih gelar doktoral, posisi intelektual Habibullah terang-benderang: antiliberalisme pasar. Ia salah satu orang yang masih 'mengimani' negara bekerja bagi kemaslahatan banyak orang.

Jadi, memang 'Mazhab Tegalboto' jika itu diartikan sebagai sebuah aliran pemikiran jelas belumlah tuntas. Buku ini tidak banyak menjawab, bahkan belum bisa menjawab. Namun sebagai bagian dari itikad untuk mengenang, dan mengenang sebagai bagian dari 'melawan lupa', buku ini memang perlu ada. [wir]

No comments: