05 January 2011

Liyan

Di negeri ini, kaum buta dikalahkan dua kali dalam hidup mereka. Mereka mengalami kebutaan, dan masyarakat maupun negara tak banyak memberikan ruang kepada kaum tuna netra untuk menjalani hidup dengan nyaman.

Suatu hari di depan Sekolah Luar Biasa Jember, seorang siswa yang tak bisa melihat tengah menyeberang. Seorang pengendara sepeda motor yang tergesa-gesa (mungkin karena dia kebelet pipis) menabrak siswa yang malang itu.

Saya mendapat cerita ini dari Rahman Hadi, Sekretaris Persatuan Tuna Netra Indonesia Jember. Ia menceritakannya dengan nada biasa, seolah-olah nasib malang siswa itu adalah bagian yang lazim diterima oleh kaum buta di Indonesia. Mereka ada, tapi seolah dianggap warga negara kelas dua.

Kota semakin sesak. Jalan-jalan semakin padat dan teraspal baik. Namun, kaum buta ini sunyi di tengah keramaian. Trotoar, daerah khusus pedestrian, bukanlah tempat yang ramah.

Trotoar adalah zona bahaya bagi mereka. Lapak-lapak pedagang kaki lima membentang, menghabiskan badan trotoar, membuat para kaum buta kehilangan orientasi arah untuk berjalan. Begitu pula kaum difabel lain yang harus turun ke tubuh jalan dengan risiko disambar kendaraan.

Gedung-gedung pemerintahan, bahkan gedung parlemen yang dihuni oleh para legislator terhormat pilihan kaum difabel, bukanlah tempat bagi mereka. Hanya rumah sakit yang memiliki stuktur bangunan yang mudah diakses oleh kaum cacat, kata Rahman.

Braille menemukan huruf khusus bagi kaum buta. Namun, di negeri ini, sekolah-sekolah yang mendidik tuna netra tak semuanya memiliki mesin untuk mencetak bahan-bahan baca yang diunduh dari internet. Menjadi seorang siswa tuna netra berlipat-lipat lebih susah daripada siswa biasa, terutama saat mereka ingin satu atap di sebuah sekolah yang disebut normal.

Namun, apakah yang normal, apakah yang abnormal? Michel Foucault, filsuf Prancis berkepala plontos itu, menyebut itu hanyalah permainan bahasa, permainan wacana pengetahuan yang menindas. Abnormalitas ada, sesuatu yang dianggap tak normal dianggap lazim, untuk meneguhkan yang dianggap normal. Jika normalitas adalah pusat, maka abnormalitas adalah periferi. Tanpa titik-titik tepi, tidak ada pusat. Namun, nyatanya, yang tidak normal selalu dianggap liyan (the others), sesuatu yang diremehkan.

Maka beruntungnya kaum tuna netra dan kaum difabel di negeri ini. Rahman mengatakan, sudah berkali-kali mengajukan usul kepada pemerintah dan DPRD, agar membangun fasilitas umum yang mudah diakses. "Tapi semuanya ditampung," katanya, masih dengan nada wajar, seolah-olah ketidakberuntungan itu memang hal yang lazim diterima olehnya.

Mereka disingkirkan diam-diam, dan tak bisa melawan. Para pedagang kaki lima bisa memberontak, melawan, menghajar petugas satuan polisi pamong praja yang membersihkan mereka dari trotoar dan berteriak tentang ketidakadilan. Namun, bagaimana kaum difabel harus menyeru bagi ketidakadilan di jalanan?

Karl Marx berteriak 'kaum buruh sedunia bersatulah' ratusan tahun silam. Tapi saya rasa teriakan serupa bagi kaum difabel hanyalah 'nyanyi sunyi orang bisu'. Selamat Hari Braille sedunia 4 Januari 2011. [wir]

No comments: