01 January 2011

Djember, 82 Tahun Sebuah Kota

Sabtu pagi, 1 Januari 2011. Langit masih mendung, setelah semalam, malam tahun baru, Jember diguyur hujan lebat. Awal tahun ini bagi Jember menandakan perubahan usia kota menjadi 82 tahun. Usia yang terhitung muda bagi sebuah kota di Indonesia. Namun Jember bukannya tanpa sejarah.

Bagaimana kita membayangkan Jember pada masa lalu? Mungkin dengan romantisme, walau agak terbatas. Kita membayangkan secuil pasasi pada esai seorang Goenawan Mohamad, wartawan dan seniman kesohor itu: “Tak ada yang aus: masa silam hadir secara rutin, dan secara bangga.”

Goenawan bicara soal Bruges, sebuah kota di Eropa. Tentu jauh sekali dari Jember. Namun, Jember pada masa lalu, adalah Jember yang juga diciptakan oleh peradaban lain yang disebut Barat. Eropa.

Tidak jelas benar, siapa yang memberi nama kota ini Jember. Apa artinya juga tak terang. Ada yang mengatakan Jember dimaksudkan sebagai jembar atau luas atau lapang dalam bahasa Jawa. Nama Jember sendiri dikenali dari arsip-arsip pemerintahan Belanda. Provinciaal Blad ban Oost Java, 7 September 1929.

Jember sejak awal tidak dimaksudkan dikembangkan sebagai sebuah kota administratif, namun sebuah daerah perkebunan. Sekitar tahun 1850, George Birnie, seorang Belanda keturunan Skotlandia, membuka perkebunan tembakau di Jember, untuk dipasarkan hasilnya ke Eropa. Menurut Andreas Harsono dalam Hoakiao dari Jember, Birnie mendatangkan pekerja dari Blitar dan Pulau Madura. Birnie menikahi Rabina, seorang perempuan Jawa, dan mengirim anak-anak mereka ke Belanda untuk belajar.

Birnie tak hanya menanam tembakau yang menjadi bahan baku cerutu. Dia juga menanam kopi, karet, dan kakao. Kelak Jember menjadi pusat penelitian kopi dan kakao. Jember pada abad 19 adalah sebuah afdeling, bagian dari kabupaten Bondowoso. Tanaman perkebunan dibudidayakan di sekujur lereng pegunungan Argopuro.

Nama perusahaan perkebunan Birnie adalah Lanbhouw Maaschappij Out Djember. Pekerja-pekerja perkebunan yang didatangkan dari beberapa daerah di Jawa Timur, membuat Jember menjadi ramai. Tahun 1805, jumlah penduduk Jember hanya lima ribu orang. Akhir abad 19 sudah mencapai sekitar satu juta orang.

Pertambahan penduduk ini memacu mobilisasi ekonomi. Dari sinilah terjadi perubahan sistem pemerintahan Jember. Sebelumnya, Jember hanyalah sebuah afdeeling di bawah naungan Gewestelijk Bestuur Besoeki, yang dipimpin seorang residen. Jember terbagi menjadi enam distrik, yang masing-masing distrik dipimpin seorang wedana, yakni Distrik Jember, Sukokerto, Mayang, Rambipuji, Tanggul, dan Puger.

Pemerintah Hindia Belanda lantas meningkatkan status Jember dari afdeeling menjadi regentschap. Regentschap setara dengan kabupaten. Sang bupati bukan lagi bule Belanda, tapi pribumi yang berkulit sawo matang. Jember ditetapkan sebagai kabupaten melalui staatsblad nomor 322 tentang Bestuurshervorming, Decentralisastie, Regentschappen Oost Java. Pengesahnya adalah Gubernur Jenderal De Graeff. Jumlah distrik diperluas menjadi tujuh, yakni distrik Jember, Kalisat, Mayang, Rambipuji, Tanggul, Puger, dan Wuluhan.

Sebenarnya surat penetapan Jember sebagai kabupaten ditandatangani 9 Agustus 1928. Namun, surat itu berlaku efektif 1 Januari 1929. Kelak, 1 Januari ditetapkan sebagai Hari Jadi Jember. Dalam konteks ini, sempat ada perdebatan, apakah hari jadi Jember mengikuti tanggal yang ditetapkan pemerintah kolonial Belanda atau mengikuti saat mulai terbentuknya masyarakat di Jember. Jika mengacu yang terakhir, usia Jember memang bisa jadi lebih tua. Namun tak ada catatan pasti mengenai kapan masyarakat Jember terbentuk dan menamakan dirinya sendiri.

Sebagai kota yang dibangun dan dibesarkan Belanda, ada sejumlah bangunan warisan masa lampau yang tersisa dan dipertahankan. Beberapa tahun setelah Indonesa merdeka, pemerintah daerah juga mulai membangun beberapa gedung sendiri yang gaya arsiteknya masih berbau arsitek warisan Belanda. Itu pun tak semuanya bertahan bentuknya.

Gedung yang masih utuh salah satunya adalah gedung bekas kantor maskapai Hindia Belanda atau Nederlandasche Handel Maatschappij, yang sekarang terletak di samping pos polisi Jalan Sultan Agung. Kantor Badan Kepegawaian Daerah sebelum direnovasi menunjukkan bangunan asli kantor pemerintahan Jember setelah menjadi regenstchap tahun 1929. Sementara gedung baru yang dibangun 1950-an antara lain gedung pasar Tanjung, yang kini menjadi padat.

Sayang cukup banyak bangunan kuno peninggalan Belanda yang telah tergusur karena perkembangan zaman. Sebut saja alun-alun, yang tak lagi dikelilingi bangunan-bangunan kuno seperti kantor pengadilan maupun Hotel Djember, walau pakem adanya kantor pemerintahan, masjid, dan penjara di sekelilingnya masih bertahan. Namun bangunannya tak lagi kuno.

Goenawan Mohamad dalam salah satu esainya di tahun 1981 yang menggambarkan indah masa lampau kota-kota di Indonesia, seperti di Jember, yang telah hilang: “Dulu ada alun-alun bersih dengan dua beringin kurung yang akarnya terjela-jela. Dulu di selatan ada kabupaten, ditandai oleh sebuah bangunan kolonial dengan pendopo yang menghadang angin.”

Bekas kantor kawedanan pun berubah menjadi pusat pertokoan. Gedung Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute) yang didirikan 1 Januari 1911 dengan nama Besoekisch Proefstation, pun direnovasi sehingga kehilangan cita rasa warisan masa lalunya.

Entahlah. Mungkin warga Jember seperti warga London, Inggris, menyitir tulisan esais Goenawan Mohamad: “tak mau kotanya menjadi museum.” [wir]

No comments: