01 January 2011

Kebun Sanggar Bermain

Ide besar tentang kemanusiaan, kadang bisa muncul pula dari sebuah desa yang dikepung oleh perkebunan seperti Desa Mumbulsari di Kecamatan Mumbulsari.

Tahun 1991, Oong Faturrahman mengadopsi 12 anak laki-laki dari keluarga miskin yang masih berusia 4-5 tahun. Tahun berikutnya dan tahun 1993, berturut-turut ia mengadopsi 12 anak kembali. Dari situlah, sebuah kelompok teater yang berorientasi pada lingkungan tumbuh dan berkembang: Kebun Sanggar Bermain.

Oong menggunakan rumah dan lahannya seluas delapan ribu meter persegi untuk tempat anak-anak itu berekspresi. Ia bangun sanggar mengaji dan belajar Al quran, kolam ikan, ruang berlatih. Gazebo-gazebo digunakan sebagai tempat belajar untuk 300 anak kecil.

Mulanya, tak ada yang terlampau peduli dengan apa yang dilakukan Oong. Warga sekitar juga tak terlampau banyak berharap, kecuali anak-anak mereka bisa belajar gratis. Lagipula, siapa yang tahu betul soal teater di desa.

Saat pentas pertama bagi Kebun Sanggar Bermain akhirnya datang juga, pada tahun 1993. Hari itu, warga desa merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad (Maulid Nabi). Alih-alih memanggil seorang kiai untuk berceramah, Oong justru mementaskan pertunjukan teater berjudul Pingitan Sira. Pemainnya adalah anak-anak itu. Pertunjukan ini menjadi agenda rutin, setiap hari besar keagamaan.

Warga desa pun mulai tertarik dengan KSB. Mereka senang hati menitipkan anak-anak mereka ke tempat Oong. Guru-guru sekolah mendukung. “Tempat ini disebut tempat menyembuhkan anak-anak nakal. Bagi warga desa, anak yang malas disuruh mengaji, tak mau makan, suka merusak barang disebut anak nakal,” kata Oong.

Komunitas KSB bahkan sering bereksperimen. Tahun 1999, saat isu pembunuhan dukun santet oleh kelompok bercadar tengah marak, KSB menghibur masyarakat dengan memutar video Kura-Kura Ninja (Teenage Mutant Ninja Turtles). Saat pemilu tiba, anggota keluarga besar KSB membiasakan diri memakai kaos-kaos dengan gambar berbagai macam partai untuk menunjukkan keberagaman.

Di KSB, anak-anak itu belajar memadukan tradisi dan modernitas: mereka bermain teater, bersekolah, belajar bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa Madura. Mereka diajarkan keterampilan-keterampilan sederhana, seperti membuat layang-layang. “Mereka diajarkan menyelaraskan diri dengan alam,” kata Oong.

Mengapa teater? Oong mengatakan, teater membangun fisik anak, kelenturan, kecerdasan batin, naluri, dan kemampuan beradaptasi dengan hukum alam, hukum masyarakat, dan hukum akal sehat. Maka, sejak tahun 1993, jumlah anggota KSB mencapai ratusan orang, dan Oong tak sendiri, karena anak-anak asuhnya yang telah dewasa melanjutkan pembelajaran itu kepada anak-anak lainnya. Penonton pertunjukan teater mereka bisa mencapai ratusan orang.

Kini, KSB menjadi rujukan tempat kajian budaya. Beberapa seniman dan akademisi dari Jepang dan Australia sempat mampir dan menginap di sana dalam jangka waktu lama. Di sana mereka bereksperimen dengan seni. [wir]

No comments: