16 January 2011


Antara Kalibaru dan Garahan dengan Kereta Mini

Neo, bocah berusia empat tahun itu, tertawa-tawa senang saat seekor ayam lari cepat-cepat menepi dari rel. Sementara itu, ibunya, Agustini, menjerit-jerit saat Argo Raung melewati jembatan dengan ketinggian puluhan meter dari atas rumah penduduk.

Ini hari yang menyenangkan. Langit mendung, namun tidak hujan. Agustini dan dua anaknya bersama beberapa wartawan menyusuri rel dari Stasiun Kalibaru Banyuwangi hingga Stasiun Garahan Jember dengan kereta Argo Raung. Ini sebuah kereta mini dengan kapasitas delapan penumpang.

Kereta ini sengaja didesain untuk perjalanan wisata transportasi. Awalnya, tahun 1995, PT Kereta Api Indonesia Daerah Operasi 9 mengoperasikan kereta mini ini, setelah melihat tingginya minat turis mancanegara, khususnya Belanda. Mereka tertarik melihat perkebunan kopi Gunung Gumitir.

"Kami waktu itu lantas bekerjasama dengan Hotel Margo Utomo untuk menggelar one day tour sebagai bagian dari paket wisata," kata Burhan Sultoni, humas PT KAI Daop 9 Jember. PT KAI menyediakan dua unit kereta.

Jalur Kalibaru-Garahan memang potensial sebagai tempat wisata. Selama perjalanan yang memakan waktu kurang lebih satu jam ini, kereta melewati dua terowongan yang dibangun tahun 1910 dan 1923, masing-masing sepanjang 90 meter dan 790 meter. Kereta juga melewati tujuh jembatan, yang terpanjang 178 meter dan tertinggi dari permukaan tanah 43 meter.

Para wisatawan bisa meminta kereta berhenti di perkebunan kopi sekaligus melihat pengolahan biji kopi. "Kalau sedang musim kopi, bau kopi harum," kata Burhani.

Sepanjang perjalanan memang menyenangkan. Berukuran kecil, suara mesin kereta memang berisik. Getaran juga terasa. Untuk bercakap-cakap harus nyaris berteriak.

Namun, ukuran kereta yang kecil juga memungkinkan para penumpangnya lebih akrab dan bisa menikmati keindahan alam. Apalagi jalur Kalibaru-Garahan begitu menghijau. Indah. Segar.

"Kalau pas di atas jembatan yang tinggi, rasanya lebih menegangkan," kata Agustini. Beberapa kali, anaknya, Neo, juga melambaikan tangan, dan melihat beberapa orang melambaikan tangan pula, saat kereta lewat. Saat melewati terowongan nan gelap, Pak Paidi, sang masinis, beberapa kali membunyikan bel.

Para penumpang meminta kereta wisata berhenti, begitu keluar dari terowongan. Sejenak mereka berfoto bersama di depan kereta tersebut, atau dengan berlatar belakang terowongan. Tak semua jalur kereta api memiliki terowongan seperti itu. Jadi kapan lagi mau foto-fotoan?

Di masa jayanya, kereta wisata Argo Raung ini begitu diminati. Tahun 2001, Bali digoncang ledakan para teroris yang mengatasnamakan agama, dan mendadak masa kejayaan itu pun surut. Bisnis kereta wisata ini sempat vakum selama tiga tahun sejak tragedi bom itu. Hotel pun mulai menghilangkan paket kereta itu dari paket wisata hotel untuk mengurangi biaya.

Baru dua-tiga tahun belakangan ini, bisnis kereta wisata ini mulai menggeliat kembali. "Kami tidak punya jadwal tetap. Kalau ada satu keluarga yang ingin memesan, tinggal menghubungi pemasaran di kantor daop atau di stasiun-stasiun di wilayah Daop 9," kata Burhani, menyebut harga Rp 500 ribu untuk sewa satu kereta sekali pulang pergi dari Kalibaru ke Garahan. Promosi dilakukan lewat situs internet resmi milik PT KAI.

Stasiun Garahan. Perhentian terakhir. Salah satu penumpang kereta wisata bercerita, biasanya jika ada kereta api masuk ke stasiun ini, ada warga yang memberikan tanda dengan memukul tiang listrik keras-keras. Tak menunggu lama, pedagang-pedagang nasi pecel bermunculan menawarkan dagangannya kepada penumpang kereta.

Mungkin karena itu hari itu hanya kereta mini yang lewat, tak tampak ada pedagang nasi pecel. Beruntung ada seorang pedagang, dan ia bersedia mengambilkan nasi pecel dari rumahnya yang dekat stasiun. Perjalanan wisata hari itu diakhiri dengan menyantap nasi pecel Garahan yang terkenal pedasnya. [wir]

No comments: