31 December 2010

Refleksi Akhir Tahun 2010 (Jember)
Jember, Calon 'Mayat Hidup' 2011

Kisruh politik di Kabupaten Jember pada akhir 2010 akan berdampak luas pada tahun 2011. Gubernur Jawa Timur dan Menteri Dalam Negeri mendapat perlawanan sengit dari 29 anggota DPRD Jember dan sejumlah pendukung Bupati MZA Djalal dan Wakil Bupati Kusen Andalas.

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPRD Jember yang juga seorang dokter, Yuli Priyanto, mengibaratkan Jember sebagai manusia yang mengalami multi organ failure. "Kemungkinan terburuk adalah Jember mengalami fase vegetatif, atau menjadi 'mayat hidup'," katanya, Jumat (31/12/2010).

Dalam diagnosis medis, seorang dokter akan berpikir seribu kali untuk menentukan mana yang harus diobati lebih dulu dalam multi organ failure atau kegagalan organ multi. Kerusakan sudah terlanjur sistemik.

Jika sudah parah, maka batang otak manusia yang terkena multi organ failure akan mati. "Jantungnya berdetak, tapi tak bisa melakukan kegiatan apapun. Ia hanya seperti tumbuhan (vegetasi): makan, tidur. Ini lebih parah daripada kondisi koma, karena tak bisa disembuhkan," katanya.

Mosi Tak Percaya

Pengibaratan Jember bagaikan mayat hidup pada tahun 2011 tak lepas dari kebuntuan politik yang saat ini terjadi. Sebanyak 29 anggota DPRD Jember melayangkan mosi tidak percaya terhadap empat pimpinan Dewan. Mereka menuntut empat pimpinan itu mundur dari jabatannya.

Para anggota Dewan yang melayangkan mosi adalah anggota Fraksi PDI Perjuangan Indonesia Raya, Fraksi Kebangkitan Nasional Ulama, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Annur (gabungan PAN dan Hanura), dan tiga politisi Partai Persatuan Pembangunan. Partai-partai itu adalah pendukung MZA Djalal-Kusen Andalas saat pemilukada 2010.

Empat pimpinan yang kena mosi adalah Saptono Yusuf (ketua dari unsur Partai Demokrat) Lukman Winarno (wakil ketua dari unsur PDI Perjuangan), Marzuki Abdul Ghafur (wakil ketua dari unsur Partai Kebangkitan Nasional Ulama), dan Miftahul Ulum (wakil ketua dari unsur Partai Kebangkitan Bangsa).

Mereka dinilai telah membuat kesalahan fatal: menandatangani berita acara kesepakatan dengan gubernur terkait penunjukan Teddy Zarkasih sebagai penjabat bupati Jember. Padahal, secara kelembagaan, di DPRD Jember tidak pernah ada rapat yang membicarakan pertimbangan nama penjabat bupati yang bakal diusulkan, menyusul penonaktifan Bupati Djalal dan Wabup Kusen karena berstatus terdakwa dalam perkara korupsi.

Mosi tidak percaya ini berdampak luar biasa. Para anggota DPRD Jember menyatakan tak mau menghadiri undangan rapat apapun, selama tidak membahas masalah mosi. Artinya, mereka ingin agar masalah mosi diselesaikan dulu dan empat pimpinan Dewan mencabut tanda tangan atas berita acara itu, baru melanjutkan rapat lain. Padahal, saat ini, pembahasan APBD 2011 belum juga kelar, karena Badan Musyawarah gagal mengagendakan menyusul tak kuorumnya forum rapat. Sebanyak 14 dari 25 anggota Bamus yang ikut menandatangani mosi tak hadir dalam rapat untuk membicarakan penjadwalan pembahasan APBD 2011 tersebut.

Semua persoalan politik di Jember berawal dari proses penonaktifan Bupati MZA Djalal dan Wakil Bupati Kusen Andalas, 9 November 2010, oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Ada jeda selama sembilan hari antara keluarnya surat dengan penunjukan pelaksana tugas bupati Sugiarto. Padahal, pada 12 November, Bupati Djalal menyampaikan nota pengantar RAPBD 2011.

Di sinilah kisruh terjadi. Pelaksana Tugas Bupati Sugiarto tak berhak menandatangani penetapan RAPBD 2011. Alhasil, pembahasan APBD pun mandeg. Ketua Fraksi Partai Golkar Yudi Hartono mengatakan, seharusnya penonaktifan itu menunggu RAPBD 2011 selesai dibahas. Toh, menurut rencana, RAPBD 2011 selesai dibahas akhir November 2010.

"Kalau surat nonaktif menunggu seminggu lagi diturunkan, pembahasan APBD kan bisa. Penundaan (penonaktifan) seminggu bukan pelanggaran atas hukum. Kalau demi rakyat, kita selamatkan APBD, baru silakan SK nonaktif diturunkan," kata Yudi.

Dalam situasi APBD 2011 mendesak untuk dibahas, gubernur tidak segera menunjuk penjabat bupati Jember. Sebanyak 29 anggota DPRD Jember mengirimkan pada pekan ketiga November, agar gubernur menetapkan Sugiarto sebagai penjabat bupati. Badan Musyawarah DPRD Jember pun meminta gubernur segera menunjuk penjabat bupati.

Permintaan itu tak segera dikabulkan oleh Gubernur Jawa Timur. Sugiarto tidak diperkenankan menjadi penjabat bupati. "Menurut keterangan yang saya tahu, penjabat bupati harus dijabat pejabat di Pemprov atau orang setingkat di atas pejabat pemerintah kabupaten," katanya. Sugiarto saat ini menjabat Sekretaris Kabupaten Jember. Tanpa penjabat bupati, pembahasan APBD pun praktis terbengkalai.

Tak heran, jika kemudian Yudi menolak tudingan bahwa koalisi pendukung Djalal di parlemen memboikot pembahasan APBD. Faktanya, menurut dia, APBD sudah tidak dibahas sejak nota pengantar dibacakan. "Jadwal (baru) pembahasan juga belum ada. Jadi apanya yang diboikot?" katanya.

Berita Acara Kontroversial

Tanggal 2 Desember 2010, majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan vonis bebas murni kepada MZA Djalal. Ia dinyatakan tak bersalah dalam perkara korupsi pengadaan mesin daur ulang aspal.

Para pendukung MZA Djalal di parlemen pun berharap bupati mereka segera diaktifkan kembali. Djalal pun merasa berhak segera diaktifkan kembali. "Saya masih punya anggapan, bahwa saya bebas. Undang-undangnya jelas, mau diterjemahkan apa? KUHP pasal 244 sudah seperti itu, sehingga saya menganggap, saya harus diaktifkan kembali," katanya. Berdasarkan pasal itu, setiap vonis bebas murni tidak bisa dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung oleh jaksa.

Namun 4 Desember 2010, Gubernur Soekarwo mengundang empat pimpinan DPRD Jember. Topik pembicaraan adalah penunjukan Teddy zarkasih sebagai penjabat bupati Jember. Di sinilah kontroversi itu muncul. Empat pimpinan DPRD Jember, Gubernur Soekarwo, dan Wakil Gubernur Saifullah Yusuf menandatangani berita acara itu, tanpa stempel tanpa di atas kertas berkop institusi masing-masing atau salah satunya.

Berita acara itu digunakan sebagai pijakan bagi Gubernur untuk mengusulkan Zarkasih sebagai penjabat bupati Jember kepada Mendagri. Tanggal 10 Desember 2010, Zarkasih resmi menjadi penjabat bupati Jember.

Proses inilah yang menyulut perlawanan pendukung MZA Djalal di luar gedung dan di dalam gedung DPRD Jember. Penunjukan Zarkasih tidak melalui permintaan pertimbangan resmi kepada DPRD Jember. Empat pimpinan tidak bisa menjadi representasi, karena pada dasarnya, parlemen memang belum pernah membahas apapun secara resmi untuk memberikan pertimbangan nama penjabat bupati kepada gubernur.

Kedua, Pemprov Jawa Timur dinilai tidak memiliki fatsoen politik kenegaraan yang benar. Saat hendak melayangkan usulan penonaktifan MZA Djalal dan Kusen Andalas, Pemprov masih repot-repot harus meminta secara resmi nomor registrasi perkara kepada Pengadilan Negeri Surabaya dan Jember. Namun, untuk persoalan pengusulan penjabat bupati, ada proses yang tak dilakukan.

Sebagaimana diakui Kepala Biro Hukum sekretariat Daerah Jatim Supriyanto, Rabu (29/12/2010), pengangkatan Pj Bupati Jember Zarkasih yang diusulkan kepada Mendagri memang dilakukan sebelum ada keputusan jaksa melakukan kasasi.

"Ada atau tidak adanya kasasi dari pihak kejaksaan atas kasus Djalal, gubernur akan tetap menunjuk seorang Pj Bupati Jember. Pasalnya, jika menunggu proses kasasi yang selama 14 hari setelah putusan pengadilan dianggap terlalu lama. Sedangkan, pembahasan APBD Jember 2011 dilakukan 27 Desember 2010 dan butuh seorang Pj Bupati," katanya.

Alasan ini tidak bisa diterima oleh kubu pendukung Djalal. Pasalnya, jika memang Pemprov berniat 'menyelamatkan' pembahasan APBD 2011, semestinya pengangkatan penjabat bupati dilakukan jauh-jauh hari, dan bukannya pada awal Desember 2010 yang memang sudah mepet di akhir tahun.

Bola panas kini ada di DPRD Jember. Jadi atau tidaknya pembahasan APBD 2011 sepenuhnya di tangan parlemen, terutama empat pimpinan Dewan yang tengah dimosi tidak percaya. Gubernur Soekarwo sudah menyatakan hanya bisa mendorong dan tak bisa mengintervensi. Begitu pula Zarkasih yang menyatakan, jadwal pembahasan tergantung Dewan.

Di tengah suasana panas itu, Marzuki Abdul Ghafur, Wakil Ketua DPRD dari PKNU, menyatakan ditelikung gubernur. "Saya ini diundang datang ke sana (Kantor Gubernur). Mohon maaf, saya terus terang tidak begitu jeli (saat menandatangani surat berita acara kesepakatan). Saya merasa ditelikung oleh gubernur. Kalau memang (prosedur pengusulan nama penjabat bupati) tidak pas, seharusnya Menteri (Dalam Negeri) menolak kesepakatan itu," sesalnya, Sabtu (25/12/2010).

Sementara itu, Ketua DPRD Jember Saptono Yusuf mengira, dirinya menandatangani notulensi rapat. Menurutnya, sudah biasa, jika dalam rapat ada semacam notulensi. Namun, jika ternyata berita acara itu kemudian dijadikan lampiran untuk mengusulkan penjabat bupati, itu menjadi wilayah gubernur. "Pak Gubernur tidak menyampaikan jika tanda tangan ini dijadikan dasar pengiriman usulan. Kita tidak tahu," katanya.

Jumat, hari terakhir di tahun 2010. Di tengah suasana riuh merayakan tahun baru di Jember, situasi rumit terpapar di depan mata. Inilah yang disebut sebagai jalan buntu, atau menurut istilah Yuli Priyanto, sebagai multiple organ failure. Tidak ada yang tahu persoalan harus diselesaikan dari mana. Memulainya dengan jalan mundurnya empat pimpinan DPRD Jember juga belum jelas, karena semua tergantung partai masing-masing.

Tanpa pembahasan APBD 2011 antara DPRD dan penjabat bupati Jember, maka dipastikan pembangunan di Jember tak akan berjalan. Inilah yang disebut Yuli sebagai mayat hidup: pemerintahan masih ada karena PNS masih bekerja dengan gaji rutin, dan DPRD Jember masih ada. Namun, APBD sebagai otak dari sumber pendanaan pembangunan tidak ada. Mengenaskan. [wir]

No comments: