29 December 2010

Menanti Keajaiban Istanbul di Gelora Bung Karno

Bisakah kita berharap keajaiban di Senayan, Rabu (29/12/2010) malam ini? Setelah dihajar 0-3 oleh Harimau Malaysia dalam leg pertama Final Piala AFF, pesimisme menyeruak. Bahkan, pelatih timnas Alfred Reidl sendiri tak terlampau banyak mengumbar harapan.

Lalu saya teringat suatu malam di Istanbul pada Mei 2005 silam. Orang menyebutnya itu malam terhebat dalam sejarah final Piala Champions, dan bahkan sejarah sepakbola modern. Liverpool yang sudah tertinggal 0-3 di babak pertama melawan klub raksasa AC Milan, berhasil membalik keadaan menjadi 3-3, dan memenangkan adu penalti.

Bagaimanakah itu bisa terjadi? Steven Gerrard, skipper Liverpool, dalam bukunya My Autobiography menyediakan satu bab tersendiri untuk malam penuh keajaiban itu. Kuncinya ada pada suasana kamar ganti dan penonton.

Para punggawa Liverpool memasuki kamar ganti dengan wajah lunglai. Babak pertama serasa seperti pembantaian. Semua terdiam. Para Liverpudlians, para suporter Liverpool, yang berjumlah sekitar 40 ribu dan mendominasi stadion dengan warna merah seperti dihantam godam.

Jamie Carragger, karang pertahanan Liverpool, berkata dengan kalem: "Mari kita hentikan ini agar tak jadi 5-0, agar tak ada pembantaian di sini."

Rafael Benitez, pelatih Liverpool, membuat sejumlah pergantian pemain. Dan, ia melontarkan pesan singkat yang membuat anak-anak dari sisi Sungai Merseyside itu kembali mendongakkan kepala. "Jangan pernah membiarkan kepala kalian tertunduk. Kalian bermain untuk Liverpool. Jangan lupakan itu. Tegakkan kepala kalian untuk para suporter. Jangan pernah menyebut diri kalian pemain Liverpool, jika kepala kalian tertunduk. Jangan kecewakan para suporter. Berikan kesempatan diri kalian untuk menjadi pahlawan."

Dan, saat para pemain Liverpool keluar dari kamar ganti, berjalan di lorong menuju lapangan, terdengarlah lamat-lamat koor yang mereka sangat kenal: You'll Never Walk Alone. Puluhan ribu Liverpudlians menyanyikan lagu kebangsaan mereka selama babak kedua. Dalam keadaan tertinggal dan nada sedih, nyanyian itu lebih membangkitkan bulu kuduk.

Hati para pemain Liverpool serasa meremang. Sebuah penelitian pernah menyatakan, bahwa kerasnya nyanyian para suporter Liverpool hampir menyamai suara jet yang tinggal landas.

Gerrard mengatakan dalam otobiografinya, 'Dengan menyanyikan You'll Never Walk Alone, para penggemar Liverpool mengirimkan pesan jelas kepada sebelas pemain mereka yang tengah hancur: kami bersama kalian selalu, menembus hujan dan badai, melalui saat-saat sulit seperti saat ini. Bermainlah dengan rasa bangga mengenakan kostum Liverpool.'

Dan, hanya butuh waktu enam menit. Gerrard menyebutnya enam menit yang menggetarkan dunia: Liverpool menembus jala gawang Milan yang dikawal Dida tiga kali. 3-3. Milan menjalani adu penalti dalam mental yang ambrol. Dan kita semua tahu, Liverpool akhirnya menjadi juara dengan kisah heroik yang bakal dikenang bertahun-tahun kemudian.

Sebuah hal yang kebetulan, warna kostum Liverpool sama dengan warna kostum timnas Indonesia. Dan, sebuah kebetulan juga, Indonesia saat ini berada dalam posisi tertinggal dalam sebuah final sebagaimana yang dihadapi Liverpool. Bedanya, Liverpool hanya punya kesempatan 45 menit untuk membalik keadaan, sementara Indonesia memiliki waktu 90 menit.

Reidl bukan Benitez. Tapi saya yakin, dia punya kapasitas hebat untuk membangkitkan semangat anak-anak Garuda. Dan Malaysia bukanlah Milan, sang raksasa yang sulit ditaklukkan.

Saya membayangkan, di ruang ganti seorang Firman Utina berkata kepada kawan-kawannya: 'mari kita menangkan ini untuk bangsa Indonesia'. Dan saya membayangkan, para suporter Indonesia menyanyikan Garuda di Dadaku dengan meleking, dua kali lebih keras daripada biasanya. Selamat berjuang. [wir/air]

No comments: