02 December 2010

Diskusi Hukum Penjual Bubur Ayam dan Bakul Es Degan

Di tepi jalan, sembari menyendok bubur ayam yang pedas dan panas, saya belajar bagaimana hukum dipahami di keramaian. Penjual bubur ayam mengambil koran lokal pagi, dan membacakan judul kepala berita keras-keras: tentang seorang kepala daerah yang dituntut hukuman penjara tiga tahun karena korupsi.

Sambil memangkas kulit degan, si penjual es kelapa muda bertanya soal detail kasus korupsi yang mana kepada si penjual bubur ayam. "Kasus waktu masih jadi kepala dinas di pemerintah provinsi," kata si penjual bubur ayam.

"Paling ya bebas," sahut si penjual es kelapa muda, enteng.

"Begitu kok ya dipilih (jadi kepala daerah)," kata si penjual bubur ayam.

Seorang perempuan, istri penjual nasi bungkus, memilih duduk di bangku kayu dekat si penjual bubur ayam. "Indonesia di mata negara lain memang masih korupsi," katanya.

"Memang yang cocok dihukum mati kalau 'koropsi'," kata penjual bubur ayam.

"Tapi kalau punya duit juga bisa bebas," penjual es kelapa muda pesimistis, sembari memasukkan air dari kelapa mudanya ke dalam wadah.

Bubur ayam di mangkuk saya sudah tandas. Harganya murah meriah. Ini bubur yang enak untuk disantap di pagi hari sembari mendengar 'kuliah hukum' dari para pedagang kecil itu. Saya mendadak bisa memahami betapa berjaraknya persepsi masyarakat terhadap hukum dengan realitas proses hukum di pengadilan. Betapa serbasalahnya seorang pejabat yang tersandung kasus korupsi.

Jauh-jauh hari, sebelum palu hakim diketuk dan vonis ditetapkan, orang ramai sudah membuat prediksi seperti si penjual es kelapa muda: pejabat itu bakal bebas. Bebas bukan karena si pejabat dipersepsikan tidak bersalah, tapi karena hukum dipersepsikan bisa dibeli.

Jalannya persidangan, keterangan saksi-saksi yang sekalipun menunjukkan si pejabat tak bersalah, tetaplah dipersepsikan sebagai bagian dari rekayasa. Vonis tak bersalah, yang sekalipun tiga hakim yang bersidang telah menuruti hati nuraninya untuk memutuskannya, seperti tak berharga. Praduga tak bersalah tak berlaku, dan oleh karenanya pejabat yang telah didakwa melakukan korupsi, seharusnya divonis bersalah, apapun itu.

Persepi 'hukum bisa terbeli' ini yang mungkin mendasari kecurigaan sebuah organisasi non pemerintah, terhadap banyaknya kasus korupsi yang divonis bebas di pengadilan tingkat pertama. Kita tidak tahu siapa yang selayaknya menjadi tertuduh: hakim, jaksa, atau polisi. Orang lebih menuding hakim yang terbeli saat vonis bebas untuk terdakwa korupsi diputuskan. Namun kita tahu, proses hukum bukanlah sesuatu yang sekali jadi.

Sebelum tiga orang bijak di ruang pengadilan membacakan keputusannya, kita tahu ada jaksa yang menyusun dakwaan, dan polisi yang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap saksi-saksi. Sebuah persidangan berangkat dari mereka, dan mungkin hanya Tuhan yang tahu, apakah dakwaan dan proses penyidikan berjalan di atas garis keadilan, ataukah ada uang yang berputar di sini.

Proses hukum semakin rumit, karena manuver dan tekanan politik bisa mengubah hasil persidangan. Seorang pejabat berkata kepada saya: 'ada kalanya uang tak lagi sakti, ketika kepentingan politik yang lebih besar bermain'. Dengan pahit, ia ingin berkata, seorang kepala daerah bisa diruntuhkan atau ditegakkan melalui jalur hukum, saat kekuatan politik lain yang lebih besar ingin mengambil keuntungan dari vonis bersalah atau bersalah yang dijatuhkan hakim.

Alhasil, saya hanya membayangkan, betapa malangnya kepala daerah terdakwa korupsi yang divonis bebas karena benar-benar tak bersalah. Pengadilan memerintahkan untuk merehebalitasi namanya. Namun, namanya tak akan benar-benar bersih, dan kredibilitasnya di mata rakyat goyang. Dan betapa terkutuknya kepala daerah terdakwa korupsi yang benar-benar bersalah tapi bisa bebas, hanya karena memainkan uang di antara para penegak hukum.

Solusi klise dari semua ini: benahi sistim hukum. Selalu begitu. Tapi kita mengatakannya dengan tak yakin. Ada nada gamang. Berbagai tim dibentuk untuk mengatasi persoalan-persoalan hukum, bahkan di bawah komando presiden yang pernah berjanji memimpin sendiri pemberantasan korupsi. Namun setelah Anggodo, mendadak ada Gayus yang bisa jalan-jalan keluar tahanan. Seorang tersangka korupsi yang ditahan bisa memenangkan pemilihan umum kepala daerah di Papua.

Pada akhirnya, di ujung semua ini, adalah ketidakpedulian. Penjual es kelapa muda masih memecah balok-balok es di tepi jalan, dan si penjual bubur ayam masih menyajikan buburnya hangat-hangat dan pedas. Mereka juga tak terlalu berharap si kepala daerah yang bakal menghadapi vonis hakim akan mampir ke tempat mereka, sembari kongko-kongko. Persepsi itu tetap berjarak, semakin jauh-jauh. Apa boleh buat, Indonesia harus berdiri dengan keterjarakan yang tragis itu. [wir]

No comments: