18 December 2010

Bila Anak Semua Bangsa Bertemu

Saya teringat judul novel Pramoedya Ananta Toer: 'Anak Semua Bangsa', saat menghadiri Seminar On Cross Cultural Understanding di Unit Pelayanan Terpadu Bidang Studi dan Pusat Bahasa Universitas Jember, Sabtu (18/12/2010).

Anak Semua Bangsa. Judul yang indah. Sabtu itu, sejumlah mahasiswa dari berbagai negara yang tengah kuliah di Universitas Jember berbagi cerita tentang negara mereka masing-masing.

Andre dari Timor Leste mengawali acara dengan bercerita tentang negaranya. Ia memakai bahasa Indonesia dengan fasih. Puluhan tahun Timor Leste pernah menjadi bagian dari Indonesia sebelum akhirnya berpisah.

Telinga ini geli juga kadang mendengarkan beberapa mahasiswa dari negara di Asia Tenggara menggunakan bahasa Inggris. Kalau meniru istilah orang Jawa, medoknya kelihatan. Beberapa pelafalan juga tidak jelas. Namun yang patut dipuji: mereka berani mencoba.

T. Sideth dari Kamboja sempat tertatih-tatih membaca luas negaranya dalam bahasa Inggris. Namun, dengan yakin, ia tetap menjelaskan tentang tempat-tempat wisata di negaranya.

Salah satu mahasiswa Kamboja malah ikut mengajak Madamme Elizabeth, pengajar lintas budaya dari Amerika Serikat, menari bersama dengan diiringi musik tradisional negara itu. Elizabeth yang sejak awal antusias menyaksikan paparan tersebut, merespons ajakan itu dengan gembira. Tepuk tangan pun bergema.

Mahasiswa dari Laos sempat mencoba memasukkan beberapa kosakata Bahasa Indonesia, ketika memaparkan profil negaranya. Kamvanth, salah satu mahasiswa, menjelaskan betapa negaranya menjadi jajahan Prancis dan Amerika Serikat. "Tapi rakyat kami berjuang dengan gagah berani," katanya.

Saya tidak tahu bagaimana perasaan Kamvanth dan perasaan Elizabeth, saat sejarah kelam itu disebutkan. Namun, anak-anak masa depan seharusnya tak terbebani dendam masa lalu. [wir]

No comments: