05 November 2010

Negeri Para Birokrat

Sindikat calo penerimaan calon pegawai negeri sipil terungkap. Orang-orang jengkel. Gubernur Soekarwo tak akan mengampuni para calo itu. "Itu hanya penipuan belaka," sergahnya, saat di Malang.

Saya tak terlampau terkejut dengan sindikat calo ini. Kehadiran mereka meneguhkan tesis pemikir sosialis, Milovan Djilas: birokrat adalah kelas baru dalam sebuah negara.

Sebagai kelas tersendiri di Indonesia, birokrat hidup dari dan dihidupkan dengan tangan negara. Mereka solid. Kukuh. Memiliki mobilitas vertikal. Monopolistik. Mereka bergerak berdasarkan keteraturan yang diciptakan begitu mekanis melalui serangkaian regulasi.

Kelas birokrat ini begitu kuat, sehingga Slank sempat menyebut adanya 'birokrasi complex' di Indonesia. Jumlah mereka minoritas dibanding jumlah keseluruhan warga Indonesia, dan bahkan minoritas dibanding jumlah kelas menengah. Namun merekalah yang mengurus hidup Anda dari kandungan hingga liang lahat.

Saat lahir, Anda membutuhkan akta yang dibuat dinas kependudukan. Saat cukup usia, Anda membuat kartu tanda penduduk. Anda membutuhkan surat dari negara, untuk menegaskan bahwa Anda sudah menikah. Ketika Anda mati, negara akan mencatatnya sebelum Anda masuk liang kubur. Semua begitu teratur. Mekanistik.

Negeri ini butuh birokrat, dan oleh karenanya birokrat mendapat tempat istimewa di setiap masa kepresidenan. Di saat para pekerja sektor swasta masih harus menanti dengan gamang, apakah perusahaan tempat mereka bekerja akan menaikkan gaji sesuai upah minimum, para pegawai negeri sipil selalu menikmati kenaikan gaji hampir setiap tahun. Jika memasuki tahun politik pemilihan presiden, kenaikan gaji PNS menjadi keniscayaan.

Negeri ini butuh birokrat, dan oleh karenanya bagian terbanyak dalam mata anggaran negara yang berasal dari pajak warga digunakan untuk membiayai kepentingan mereka. Di Jember, dari APBD Rp 1,3 triliun, 75 persen diperuntukkan kepentingan 18.657 orang PNS. Gaji, tunjangan, honor-honor, pembelian alat tulis kantor, semuanya dibiayai oleh negara.

Para birokrat negara mengatur uang untuk diri sendiri, dan oleh sebagian dari mereka yang nakal, digunakan untuk mempertebal kantong pribadi: pungutan terhadap jasa di luar ketentuan, penggelembungan mata anggaran, dan pembuatan proyek-proyek yang tak perlu untuk mencari fee. Pada tingkat yang lebih tinggi, mereka menjadi bagian dari praktik korupsi kebijakan: sebuah korupsi yang diabsahkan dan dijalankan melalui kebijakan legal.

Anda jangan protes, kalau jarang mendengar PNS dipecat walau prestasi kerjanya rendah. Anda jangan naik darah, kalau saat datang ke sebuah kantor pemerintahan pada jam kerja, Anda melihat ada PNS yang sedang bersantai main gim di komputer, atau asyik membaca koran. Jangan gusar pula, kalau ada PNS yang untuk urusan mengetik surat dengan komputer pun masih garuk-garuk kepala. Negeri ini butuh birokrat, dan oleh karenanya pemberhentian PNS lebih sulit daripada memberhentikan buruh di sebuah pabrik.

Jaring-jaring birokrasi tak berhenti pada urusan administrasi, tapi juga menyentuh harapan. Jadi tak perlu heran melihat setiap tahun ratusan ribu orang berbondong-bondong mengirimkan lamaran setiap kali ada pembukaan lowongan kerja PNS. Menjadi pamong praja adalah pekerjaan mulia dan menjanjikan kehidupan lebih baik: gaji di atas standar upah minimum daerah, tunjangan-tunjangan, honor-honor, asuransi kesehatan, atau tunjangan setelah pensiun.

Mereka yang merasa telah bekerja belasan dan puluhan tahun sebagai pegawai tak tetap atau honorer pemerintahan daerah, mendadak menuntut untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Mereka berunjukrasa, meminta untuk diakui dan ikut digaji setara dengan uang negara. Maka, sebagian dari mereka pun lolos menjadi pegawai negeri sipil atas dasar masa kerja tanpa memerhatikan kompetensi, di saat warga yang lain harus bersaing keras dalam ujian seleksi.

Entahlah, ini negeri birokrasi: diatur oleh para birokrat, dan harapan pun dinyalakan atau dimatikan oleh mereka. Mungkin itu yang dilihat oleh para calo: bahwa harapan berbeda tipis dengan keinginan buta. Dan di sebuah negeri seperti Indonesia, saya tak tahu harus dari mana memulai untuk mengatasinya. [wir]

No comments: