18 October 2010

Yovan

Apa yang tersisa dari Yovan? Di atas kasur dengan seprai kumal dan bantal kapuk yang tampak bulukan, ia terbaring. Lemah. Telanjang. Tulang-belulang menonjol di lengan dan dadanya, dan perutnya membesar.

Samiwati, ibunya, memberikan beberapa suap nasi dan menyodorkan segelas air minum mineral gelas. Edi Winoto, sang ayah, menatapnya lekat-lekat. Ia membantu anaknya berbaring di atas bantal setelah nasi terakhir masuk ke dalam mulut Yovan.

"E... E... E...," Yovan berbicara lirih, tak jelas.

"Nyuwun nopo, Nak? Nyuwun nopo, Nak? tanya Samiwati, mendekatkan telinga ke bibir anaknya. Namun Yovan tak menjawab. Ia terus bersuara lirih tak jelas.

Saya melihat mata Yovan yang lelah. Di dinding, tergantung fotonya tengah membawa bola-bola kecil. Foto yang senantiasa menjadi pengingat ayah dan ibunya, bagaimana lucunya bocah itu sebelum sakit menggangsir tubuhnya hingga ringkih.

Yovan Piter Edi Putra, lahir 9 Maret 2007. Saya membayangkan, pada tahun ketiga usianya itu, ia seharusnya bisa berlari di halaman rumah neneknya di Dusun Kraton, Desa Wonoasri, Kecamatan Tempurejo. Bermain gundu, berkejaran dengan teman-teman sebayanya. Bermain mobil-mobilan atau boneka anjing yang ditaruh di atas meja.

Tapi tidak, tidak ada yang tersisa dari Yovan kecuali rasa sakit. Tak ada yang tersisa, kecuali penyakit yang Samiwati pun tak tahu apa persisnya.

Mulanya, adalah rasa malu. Samiwati dan Edi tak pernah mengungkapkan derita anak mereka kepada para tetangga. Sampai sepekan lalu, Edi yang bekerja sebagai buruh lepas tertangkap basah mencuri 15 butir kelapa di wilayah Kebun Kotablatter, PT Perkebunan Nusantara XII.

Ahmanto, tetangga korban, bercerita, Edi waktu itu menangis minta dilepaskan. "Ia mengaku mencuri kelapa karena butuh uang untuk anaknya yang sakit," katanya.

Penjaga kebun tak percaya dan mengecek ke rumah Edi. Dan di sana, mereka melihat Yovan yang tergolek lemah. Edi pun dilepas, dan para penjaga kebun malah patungan menyumbangkan uang ala kadarnya untuk Yovan.

Ahmanto sempat jatuh haru melihat keluarga itu. Suatu ketika, Yovan meminta makan berlauk sate kepada sang ibu. Ahmanto tahu, tidak jauh dari rumah mereka ada seorang penjual sate. Namun, Samiwati berkata dengan sabar kepada sang anak: "Tidak ada, Nak. Satenya tidak buka."

Sewaktu bayi, Yovan sempat sakit dan kejang. Namun dengan bertambahnya usia, ia tak pernah sakit lagi, hingga pada suatu hari beberapa bulan silam, sang anak mendadak kesakitan.

Seorang dukun pijat menyarankan Samiwati untuk memeriksakan sang anak ke dokter. "Dia bilang ada kelainan di perut," kata Samiwati. Hasil pemeriksaan awal dokter puskesmas tidak menunjukkan penyakit tertentu. Samiwati hanya disarankan memberikan bubur kepada Yovan.

Namun rupanya Yovan benar-benar kesakitan. Ia menangis seperti menahan rasa sakit. Samiwati dan Edi membawa sang anak ke Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi. "Kata dokter, ususnya muntir," kata Samiwati.

Yovan hanya bertahan setengah hari. Tengah malam masuk ke rumah sakit, siang hari, ia dibawa pulang kembali. "Sebenarnya anak saya tidak boleh pulang. Tapi saya tidak punya uang," katanya.

Keluarga ini sebenarnya bisa dikategorikan keluarga tak mampu. Namun karena tinggal di rumah yang berlantai keramik, mereka tak dimasukkan dalam daftar keluarga miskin yang patut menerima layanan kesehatan gratis. "Memang sih kalau dilihat dari luar bagus. Tapi kalau masuk ke dalam, tidak ada isinya," kata Ahmanto.

Rumah tersebut sebenarnya rumah ibu Samiwati yang tinggal sendirian. Rumah itu diperbaiki dengan uang gaji Samiwati saat bekerja di Arab Saudi. Di beranda rumah, ada lapak dorong mi ayam milik Edi. Usaha mi ayam Edi kini sudah bangkrut.

Awal puasa, perut Yovan mendadak terus melembung, seiring dengan sulitnya sang bocah untuk makan. Berat tubuhnya susut dengan cepat. Dan, kini, hari-hari Yovan dihabiskan di kasur dalam rumahnya.

Apa yang tersisa dari Yovan? Mungkin bagi Edi dan Samiwati, foto di dinding menyisakan kenangan dan harapan, anak mereka akan segera baik-baik saja.

Tapi lebih penting lagi, apa yang tersisa dari kita saat melihat Yovan? Mendadak kita sadar, bahwa kemiskinan bukanlah angka-angka, bukan sekadar kriteria. Kemalangan bisa datang kapan saja, dan tak mengenal kriteria, tak mengenal angka-angka. Kemiskinan tak mengenal buku teks dan buku panduan. [wir]

No comments: