07 October 2010

Palang Pintu

Di palang pintu perlintasan kereta api, kesunyian adalah musuh terbesar. Mungkin juga rasa rindu. Selama bertahun-tahun, Syafi'i seperti membekukan waktu, melakukan pekerjaan berulang-ulang layaknya seorang Sisifus: menanti sinyal, mendengar suara lonceng alarm berklonengan, dan menurunkan palang pintu sebelum kereta api lewat. Saya bertemu dengan Syafi'i di pos tempatnya bekerja.

Beberapa tahun lalu, PT Kereta Api Daerah Operasi 9 Jember mencatat adanya 282 daerah perlintasan resmi. Namun, hanya 84 perlintasan kereta api resmi yang terjaga. PT Kereta tak cukup punya banyak tenaga unuk ditempatkan di pos-pos itu. Satu pos setidaknya membutuhkan tiga atau empat orang yang berjaga bergantian, masing-masing selama delapan jam.

Tak banyak yang bersedia ditempatkan di palang pintu perlintasan untuk sebuah pekerjaan yang berhadapan dengan kebosanan. Saya tidak tahu, apakah ini kemudian yang membuat para petugas yang ditempatkan di sana hanya lulusan pendidikan terendah di jawatan kereta. Mungkin, karena orang-orang ini tidak bisa memilih, atau disebut tak cukup punya kompetensi untuk pekerjaan-pekerjaan yang lebih serius.

Syafi'i sudah cukup bersyukur bisa bekerja sebagai petugas rendahan di jawatan kereta. Ia bisa menghidupi tiga orang anaknya. "Ijazah saya seperti itu, sudah ke mana lagi," katanya, tersenyum.

Namun apakah makna kompetensi? Seberapa banyak orang yang cukup kompeten menaklukkan diri sendiri, melawan rasa bosan, membunuh kerinduan. Antok Mujianto, seorang penjaga perlintasan di pos yang tak jauh dari pos tempat Syafi'i bekerja, tak pernah bisa rehat pada malam lebaran. Selama bertahun-tahun bekerja, hari lebaran selalu bertepatan dengan hari kerja. Ia tidak pernah bisa plesir jauh-jauh, mengajak anak-anak dan istrinya ke pantai, menikmati libur lebaran.

Jika jenjang birokrasi disusun berdasarkan piramida kompetensi, apa pula makna kompetensi, bila mereka yang menduduki jabatan lebih tinggi di jawatan kereta api hanya mampu menuding ke bawah saat terjadi insiden buruk? Seberapa banyak orang yang siap menjadi kambing hitam kecelakaan di perlintasan, hanya karena mendadak ia terserang kantuk: sesuatu yang manusiawi.

"Ini kerja gampang ya gampang. Tapi menanggung risiko. Ngantuknya itu yang tidak kuat," kata Syafi'i. Ia pun hanya bisa membiarkan dirinya terkantuk-kantuk di kursi. Tidur ayam, yang mudah terbangun. Kafein dari secangkir kopi dan nikotin dari berbatang-batang rokok adalah sahabat, terutama di saat malam.

Kendaraan berlalu-lalang melintasi rel yang berimpitan dengan jalan raya itu. Saya bisa membayangkan betapa seramnya judul headline surat kabar besok, jika malam itu Syafi'i tertidur dan lupa menutup palang pintu saat kereta api lewat.

Ini sepertinya pekerjaan mudah bagi seorang lulusan sekolah dasar seperti Syafi'i, atau lulusan sekolah menengah pertama seperti Antok. Tapi ini pekerjaan yang menuntut disiplin dan kemampuan menaklukkan diri sendiri. Ia tak boleh bergeser lebih dari lima meter dari pos perlintasan. Meninggalkan tempat berarti lari dari tugas.

Bertahun-tahun menjalani delapan jam setiap hari di dalam kotak tak terlampau luas di tepi jalan, Syafi'i dan Antok sebenarnya telah mencapai gelar PhD-nya sendiri dalam hal ketekunan dan kesabaran. Tak hanya kesabaran mengatasi diri sendiri, tapi juga menghadapi orang-orang yang tak sabaran, yang selalu terburu-buru menerabas palang pintu.

"Saya hanya menjalankan kewajiban," kata Syafi'i. Kewajiban menjaga mereka yang hari ini melintasi rel tetap bisa melintasi rel itu pada hari esok. [wir]

No comments: