28 September 2010

Recehan, Sebuah Filsafat

Dewi Ruci (benar memang namanya Dewi Ruci) datang dengan membawa berbungkus-bungkus uang recehan lima ratus perak. Ia letakkan 39 bungkus plastik es lilin berisi uang receh itu di atas meja teller sebuah bank. "Saya hendak membayar sisa uang sumbangan Poma (persatuan orang tua mahasiswa)," katanya.

Mata si teller bank nan cantik itu menunjukkan kebingungan. Spontan, ia menampik awalnya. Siapa pula yang mau menghitung berkeping-keping uang itu. Dewi mengatakan: total jenderal uang recehan itu berjumlah Rp 780 ribu. Jadi, ada 1.560 keping uang lima ratus perak yang dibawanya.

Ini pilihan yang tak mudah bagi sang teller, tentu saja. Dewi sendiri tampaknya tak mau beringsut. Apapun yang terjadi, uang-uang logam yang dikoleksinya sejak dua tahun silam itu harus diterima oleh bank. "Ini uang juga bukan," katanya kepada saya, dengan nada riang.

Menyerahkan uang-uang recehan itu adalah ide sang ayah. Bersama ayah dan bundanya juga, Dewi membungkus uang-uang logam itu dalam kantung-kantung es lilin. Dewi tak tahu apa yang akan terjadi saat menyerahkan uang itu kepada bank.

Namun Dewi menang. Bank itu akhirnya mau menerima uang-uang receh dari mahasiswi tingkat akhir jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Jember itu. Mbak Teller yang cakep tadi mengambil jalan tengah yang praktis: menghitung jumlah uang yang dibungkus di salah satu plastik es lilin, dan mengalikannya dengan jumlah bungkusan keseluruhan.

Dewi tidak sekali saja membayar sesuatu yang resmi dalam jumlah besar dengan uang recehan. Pernah suatu hari, ia kena tilang karena tak membawa surat ijin mengemudi. Pengadilan mengharuskannya membayar denda Rp 20 ribu, dan ia keluarkan uang-uang receh itu. Urusan denda beres.

"Saya iseng saja," kata Dewi. Tapi keisengan tak selamanya sesuatu yang netral dan bebas nilai. Iseng berarti tak percaya terhadap sesuatu yang selama ini menjadi apa yang lazim. Keisengan, senakal apapun, adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap sesuatu yang mapan, disadari atau tidak.

Keisengan akan memiliki bentuknya, ketika ada seseorang memaknainya. Dewi menolak jika ia membayar uang receh itu karena sakit hati terhadap institusi bank. Dewi adalah salah satu mahasiswa yang pernah terlibat konflik dengan bank dan rektorat karena kasus pembayaran uang kuliah fiktif yang memakan korban banyak mahasiswa.

Namun, Dewi tak menolak jika disebut ingin menguji para pekerja bank yang selama ini lebih banyak berurusan dengan uang kertas. Uang logam lima ratus perak adalah alat pembayaran yang sah, namun selama ini jarang ditemui warga negara yang baik bertransaksi di perbankan dengan uang itu.

Keengganan seorang pegawai bank berurusan dengan uang logam, karena ribet dan tak praktis, seperti menunjukkan, bahwa status uang logam itu sama menyedihkannya dengan status rakyat kecil yang banyak memegang uang jenis ini. Uang logam dan rakyat kecil sama-sama diakui sebagai sesuatu yang absah, namun juga tak mengundang minat karena nominalnya yang kecil. Walau orang acap lupa, uang logam tak pernah dipalsu, sama seperti halnya rakyat kecil yang tak pernah menjalani hidup dengan kepalsuan.

Dewi juga setuju, bahwa apa yang dilakukannya di ruang pengadilan, membayar dengan recehan, adalah bentuk perlawanan terhadap otoritas negara. Negara memungut uang dari rakyatnya melalui sederet denda dan pajak retribusi. Dalam jumlah besar, dan uang kertas. Memberikan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus uang logam menjadi penanda bahwa nominal uang sebesar apapun berasal dari akumulasi recehan-recehan.

Dewi Ruci (memang benar namanya Dewi Ruci) hari itu pulang dari bank dengan wajah cerah. Dan ia mengabarkan kisah itu kepada saya: bahwa masih ada harapan untuk melawan dari sebuah keisengan kecil. [wir]

No comments: