29 October 2010


Pak Marzuki Alie

Saya berbaik sangka saja, bapak ketua DPR RI kita satu ini, Pak Marzuki Alie, lagi keseleo lidah atau lupa. Soal bencana tsunami di Mentawai, sebagaimana dikutip dari inilah.com, Pak Marzuki sempat bilang, tersapu tsunami adalah risiko warga yang tinggal di pantai.

Menurut Pak Marzuki, peringatan dini selama dua jam dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana tak banyak membantu. Sebab, warga tentu tak sempat meninggalkan Mentawai. Karena itu, bencana tsunami tidak perlu ditakuti. Bila perlu warga Mentawai pindah. "Kalau takut kena ombak jangan tinggal di pinggir pantai, tapi kan tsunami ini tentukan harus kita peduli," katanya.

Gara-gara urusan keseleo lidah ini, M. Jafar Hafsah. Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI, langsung minta maaf. "Maksud Pak Marzuki Alie bukan seperti itu, tidak ada maksud untuk menyakiti hati masyarakat Mentawai," katanya, Kamis (28/10/2010) malam.

Saya masih berbaik sangka, karena Pak Marzuki ini pernah jadi khatib salat Jumat di Jember, 15 Oktober lalu. Waktu itu, Pak Marzuki membawakan khotbah berjudul Bangsa yang Bersyukur.

Seingat saya, waktu itu, Pak Marzuki menyentil kondisi Indonesia saat ini. "Situasi saat ini memprihatinkan. Banyak elite yang tidak mensyukuri nikmat Allah. Kita mempertaruhkan nyawa dan uang dari negara otoriter ke demokratis," katanya.

Pak Marzuki mengingatkan, demokrasi bukan tujuan, melainkan jalan menuju kesejahteraan rakyat. Jalan ini jelas tak mudah mencapai tujuan, jika elite-elite politik tak menunjukkan suri teladan yang baik.

Saya senang Pak Marzuki bicara soal suri teladan. Untuk menjadikan Indonesia sejahtera, elite politik tentu harus menunjukkan teladan perilaku dan ucapan yang patut dan berbobot, dalam segala hal tentu saja. Elite politik ini tentu termasuk Pak Marzuki Alie sendiri.

Mungkin dalam rangka menunjukkan teladan yang baik itulah, Pak Marzuki lantas bicara begitu soal bencana di Mentawai. Pak Marzuki tidak tinggal di daerah pantai yang berbahaya, atau kaki gunung berapi. Jadi mungkin dengan ucapan itu, beliau hendak memberikan teladan: kalau mencari rumah jangan di atas zona merah bencana. saya tidak pernah dengar rumah Pak Marzuki terkena bencana: kena tsunami atau diterjang wedus gembel. Lagipula, saya juga tidak tahu di mana rumah Pak Marzuki.

Tapi, sekali lagi, dengan masih semangat berbaik sangka, Pak Marzuki Alie mungkin lupa seperti lagunya Kuburan Band. "Lupa... lupa lupa lupa lupa konteksnya... Ingat, ingat ingat ingat, ingat kondisinya."

Mungkin Pak Marzuki Alie lupa, kalau hari ini, bagi rakyat, memilih rumah atau tempat tinggal tak sesederhana memilih rumah dinas seperti wakil mereka di parlemen. Rumah adalah tambatan jiwa, tempat sejarah hidup dimulai dan dibangun dari generasi ke generasi. Sebagian rakyat lahir tanpa bisa memilih harus tinggal di mana, dan ikatan sejarah, batiniah, membuat mereka kemudian memilih menetap di sana sampai ajal menjemput.

Mertua saya tinggal sekitar 50 meter dari sungai besar di Situbondo, Jawa Timur, selama puluhan tahun. Dua kali, tahun 2006 dan 2008, rumah mertua saya dihantam banjir bandang. Lumpur setinggi tubuh saya membuat kami semua harus kerja bakti.

Salah satu kerabat saya di Jember menyarankan kepada bapak dan ibu mertua saya untuk pindah ke Jember. Namun mereka menolak, dan memilih tetap tinggal di tepi sungai besar. Bencana bisa datang kapan saja, di mana saja.

Mungkin ada baiknya Pak Marzuki Alie mendengar lagu legendaris kelompok rock kesukaan saya, God Bless: Rumah Kita. Bilik bambu, alang-alang menjadi pagar, halaman ditumbuhi bunga bakung, bukanlah persoalan selama itu mendamaikan jiwa.

Saya hakkul yakin, sebagian orang di Mentawai atau juga lereng Merapi punya cukup duit untuk mencari rumah baru di kota, yang mungkin lebih aman dari bencana. Namun, masih seperti kata Mas Achmad Albar, "Haruskah kita beranjak ke kota yang penuh dengan tanya. Lebih baik di sini, rumah kita sendiri. Segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa. Semuanya ada di sini: rumah kita."

Dalam konteks penghayatan dan penghormatan terhadap bumi tempat berpijak, sosok Mbah Maridjan menjadi penting. Mbah Maridjan, tipe orang kuno yang memilih berdamai dengan alam, mengatur harmoni. Tinggal di mana pun bukanlah masalah, selama manusia bisa memahami alam, membaca tanda-tanda semesta. Maka, kehadiran Mbah Maridjan meneguhkan hati banyak orang untuk tetap tinggal di desa-desa sekitar Merapi.

Jika kemudian Mbah Maridjan meninggal dunia, saya percaya ini bukan urusan apakah Mbah Maridjan cukup sakti atau tidak sakti. Hidup di bumi hari-hari ini berarti menyiapkan diri terhadap ancaman apapun: ancaman yang memang diakibatkan ulah manusia sendiri. Banjir bandang dua kali menghantam rumah mertua saya seumur hidup mereka, dan ancaman itu begitu lekat, ketika hutan di Bondowoso sana semakin tipis. Hutan gundul jelas bukan salah mertua saya.

Menyitir kata-kata Bang Iwan Fals dalam wawancara di Jember, tentang bagaimana alam selalu mencoba mencari keseimbangan. "Kalau manusia ibarat alam kecil, siapa yang tahan cairannya diambil terus, tulang-tulang diambil terus. Ibarat kata tambang jeroan kita, minyak bumi cairan kita, alam tentu makin mengecil, sementara satu sisi jumlah manusia semakin banyak."

Semoga kita bisa menyerap apa yang dimaksud Bang Iwan ini. Dengan begitu, semogalah kita dan bapak-bapak pejabat tak akan menyalahkan orang-orang di Sidoarjo yang tinggal berdekatan dengan tempat eksplorasi gas yang berujung semburan lumpur. [wir]

No comments: