Nyala Lilin dan Botol Susu di Makam Yovan
Hujan turun deras saat saya bersama teman-teman wartawan tiba di rumah Edi Winoto dan Samiwati, di Dusun Kraton, Desa Wonoasri, Kecamatan Tempurejo, Jumat (22/10/2010).
Edi tersenyum melihat kami. Kantung mata Samiwati masih terlihat agak bengkak. Di lantai ruang tamu rumah itu, karpet merah dibentangkan. Dari sana, saya bisa melihat di atas meja rias yang tak memiliki kaca cermin, foto Yovan Piter Edi Putra diletakkan. Ada beberapa mainan mobil-mobilan, dan sebatang lilin yang menyala. Lilin itu hampir habis.
"Sejak tadi malam saya menyalakan lilinnya. Sudah habis tiga batang lilin," kata samiwati. Menurut kepercayaan lama yang didengar Samiwati, lilin itu untuk membantu menerangi jalan Yovan di alam baka.
"Saya sudah ikhlas. Sekarang anak saya sudah tenang di alam sana," Samiwati sempat seperti menahan sesuatu ketika mengucapkan itu.
Yovan memang pergi terlampau cepat. Lahir 9 maret 2007, bocah tampan itu mengembuskan napas terakhir di ranjang RS Daerah dr. Soebandi, Kamis (21/10/2010) siang. Tumor yang menggerogoti rongga perut membuat tubuh Yovan kurus kering, karena kekurangan gizi. Tumor itu pula yang menggangsir keceriaannya, hingga saat terakhir.
Tragedi Yovan adalah potret tentang betapa rumitnya birokrasi pelayanan kesehatan di Indonesia. Ayah Yovan, Edi, adalah seorang buruh kebun. Ibunya hanya perempuan desa biasa. Ia pernah bekerja di Arab Saudi selama dua tahun, dan uangnya digunakan untuk memperbaiki rumah ibunya yang saat ini ditinggali oleh keluarga kecil ini.
Sakit yang diderita Yovan saat Ramadan beberapa bulan lalu menghajar perekonomian keluarga ini. Usaha mi ayam Edi bangkrut. Keluarga ini menjual harta benda yang ada untuk menyembuhkan sang anak. Terakhir, Edi terpaksa mencuri 15 butir kelapa dari perkebunan tempatnya bekerja.
Petugas pos pelayanan terpadu sempat mengunjungi mereka, dan menyarankan Samiwati untuk membawa Yovan ke rumah sakit. Namun di sinilah masalahnya. Tiada jatah pengobatan gratis untuk Yovan, karena keluarga ini tak masuk kriteria keluarga miskin. petugas pendata langsung tak memasukkan mereka dalam daftar orang miskin, karena melihat rumah yang layak dibandingkan kriteria rumah warga miskin.
Edi trauma mengurusi tetek-bengek administrasi warga miskin. Apalagi, ia mendengar cibiran dari aparat publik yang melayaninya, bahwa usianya masih cukup muda untuk bekerja. Harga diri Edi terusik, dan ia memilih merawat Yovan di rumah. Yovan baru dibawa ke RS Daerah dr. Soebandi setelah mendapat jaminan dari anggota DPRD Jember. Dan di sanalah, keluarga itu berpisah dengan Yovan selama-lamanya.
Kepada Edi dan Samiwati, saya mewakili wartawan yang selama ini meliput kondisi Yovan, meminta maaf. Saya dan beberapa wartawan juga menyerahkan 25 kilogram beras dan uang tanda empati titipan dari Wakil Kepala Badan Urusan Logistik Jember, Subali Agung, yang terenyuh membaca berita tentang Yovan.
Saya sempat menanyakan nasib mainan-mainan Yovan. "Ya nanti tujuh hari (setelah kematian Yovan), mainan-mainan itu akan dibagi-bagi ke anak-anak kecil tetangga. Saya sendiri sudah pasrah kepada Yang Kuasa," kata samiwati.
Hujan masih turun deras, saat kami berpamitan pulang kepada Edi dan Samiwati. Kami sempat mampir ke makam Yovan yang hanya berjarak sepelemparan batu dari rumah mereka. Dan, di dekat batu nisan putih itu, saya melihat satu buah botol susu dan dot. [wir]
22 October 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment