21 October 2010

20102010

Sungguh, saya tidak terlalu berminat menarik segala urusan berbau politik ke masalah klenik. Politik adalah politik: ini proses rasional untuk membicarakan hajat hidup orang banyak, menciptakan kesepakatan-kesepakatan, membicarakan peluang-peluang bersama.

Politik memang penuh kasak-kusuk, terutama jika terkait bagi-bagi kue kekuasaan. Politik itu urusan pragmatis: saya dapat apa, Anda dapat apa. Namun sekusut apapun, politik kekuasaan (orang bilang politik praktis) adalah sesuatu yang kasat mata dan tak sakral.

Klenik? Anda tahu sendirilah bagaimana urusan takhayul bekerja. Suara-suara gaib. Kemenyan. Dukun-dukun alias orang pintar. Hari baik, hari buruk. Angka keberuntungan, angka kesialan. Mantera-mantera. Anda bisa menambahkan lebih banyak lagi ke deretan ini.

Tak satu pun buku teori politik modern yang membicarakan keterkaitan kemenyan dan mandi kembang dengan bagaimana meraup suara massa. Niccolo Machiavelli, pria yang dicap sebagai 'pangeran kegelapan di dunia politik' dan bukunya 'Il Principe' sempat diharamkan gereja, pun tak pernah membicarakan masalah klenik sebagai panduan penaklukan politik.

Namun di negeri ini, apa boleh buat, kasak-kusuk politik tak pernah lepas dari urusan yang gaib. Dalam buku In The Time of Madness, Richard Lloyd Parry, wartawan Inggris yang bekerja untuk The Times, menulis tentang salah satu orang kepercayaan Soeharto yang menabur sebotol kecil pasir ke bawah karpet Gedung Putih di Amerika Serikat. Acara tabur pasir adalah bagian tak resmi dari politik diplomasi kita.

Maka menyambut setahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini, saya lebih suka bicara soal urusan 'politik klenik'. Kebetulan SBY dikenal dengan 'politik klenik' yang berhubungan dengan angka 9, angka tertinggi dalam deretan angka-angka modern.

Entah kebetulan atau tidak, segala sesuatu terkait SBY selalu berbau angka 9. Dari buku Wisnu Nugroho, wartawan Kompas yang menulis tetralogi SBY, saya baru tahu, jumlah lampu di Istana Cikeas pun ada 9. SBY lahir 9 September 1949. Pemilu tahun 2009, Partai Demokrat memang bernomor urut 31, sesuai undian peserta pemilu. Tapi, masih menurut Si Wisnu, 9 + 9 + 1 + 9 + 4 + 9 kan sama dengan 31.

Lalu saya teringat wawancara saya dengan KH Muzakki Syah, pengasuh Pondok Pesantren Al Qodiri di Jember. Jember adalah kota pesantren, di sini ada ribuan pondok pesantren, besar dan kecil. Ada puluhan ribu kiai dan guru ngaji. Namun jika diperbandingkan, selama masa pemerintahan SBY, Kiai Muzakki ini yang paling banyak dikunjungi pejabat-pejabat tinggi negara. Terakhir, pertengahan Oktober ini, Ketua DPR RI Marzuki Alie mampir ke sana.

Banyaknya pejabat berkunjung ke Kiai Muzakki boleh jadi tak lepas dari posisinya sebagai guru spiritual SBY. Kenapa Kiai Muzakki bisa jadi guru spiritual, saya kira tak lepas dari kemampuannya 'meramal' SBY menjadi presiden Indonesia.

Percaya atau tidak, ini diceritakan Kiai Muzakki kepada saya, 13 Mei 2009 lalu. Cerita ini juga dikisahkan oleh Kiai Muzakki kepada Akbar Tanjung, mantan Ketua Umum Golkar, saat berkunjung ke pondok pesantren Al Qodiri setahun silam.

Kiai Muzakki memprediksi SBY menjadi presiden pada 27 september 1998. Penahbisan SBY menjadi presiden olehnya dipastikan pada sebuah pertemuan tanpa sengaja, pada jam 9 malam, di kamar nomor 9 sebuah hotel. "Syaratnya, Anda jangan menghubungi saya dan saya tidak akan menghubungi Anda lagi," kata Muzakki kepada SBY.

Muzakki melihat semacam nur atau cahaya kepresidenan keluar dari tengkuk Suharto, saat bertemu dengannya. Cahaya itu ditangkapnya dan itu membuat Muzakki gelisah, karena cahaya tersebut menuntut ditempatkan di raga seseorang yang memiliki sosok seperti Gajah Mada, patih Majapahit yang disebut-sebut sebagai pemersatu Nusantara. Saat bertemu SBY, cahaya itu seperti ingin menerobos masuk ke tubuh pria kelahiran Pacitan tersebut.

Luar biasa? Saya hakkul yakin Machiavelli pun bakal terperangah mendengar cerita itu. Enam tahun setelah pertemuan di kamar hotel nomor 9 itu, SBY benar-benar menjadi presiden berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Bagaimana memaknai cerita supranatural Kiai Muzakki dan mengaitkannya dengan demokrasi prosedural di negeri ini? Jika saja memang benar seorang pemimpin negara bisa diperoleh dari 'suara gaib' macam begitu, apa perlunya pula sebuah pemilu yang memakan biaya mahal.

Kebetulan juga, iseng-iseng, saya jumlahkan tanggal 27 september 1998 itu: 2 + 7 + 9 + 1 + 9 + 9 + 8 = 45.� Jika dijumlahkan 4 + 5 = 9.

"Ini bukan politik, ya. Tapi tidak semua bisa menggunakan rasional," kata Muzakki kepada Akbar Tanjung, mantan ketua umum Partai Golkar yang mengunjunginya, Kamis (16/4/2009) malam.

Jika demikian di mana peran semua urusan supranatural itu di tengah urusan politik yang rasional? Saya tak tahu pasti. Namun saya menduga, supranatural adalah bagian dari pencitraan dan penguatan terhadap demokrasi prosedural yang dijalani bangsa ini.

Bangsa ini tumbuh bersama hikayat-hikayat supranatural yang digetoktular melalui budaya oral. Raja-raja diselimuti dengan mitos-mitos gaib, karena raja adalah 'perwakilan' atau kelanjutan tangan ilahiah. Di masa modern, survei terbaru LSI menunjukkan, mayoritas penyuka SBY adalah rakyat berpendidikan rendah. Semakin rendah tingkat pendidikan rakyat, rasionalitas politik semakin tak menemui bentuknya dan mitos-mitos dan pencitraanlah yang tumbuh.

Jadi, jangan heran, jika pernyataan mereka yang merasa terdidik dan rasional secara politik tak bersambung dengan pendapat mayoritas rakyat. Para demonstran menganggap SBY gagal. Namun, faktanya, SBY tetap disuka dan dicinta.

Kendati ketergantungan terhadap negara asing menguat, pemberantasan korupsi melemah, Komisi Pemberantasan Korupsi diimpotenkan, dan antarpenegak hukum berbenturan satu sama lain, makelar kasus berkeliaran, Anggodo sulit dihukum, bencana alam lamban direspons, semua hanya bagian dari setahun pemerintahan SBY yang dinilai tak beres oleh sebagian orang. Namun, sekali lagi, faktanya, Anda tetap betah dengan SBY dan tak berniat mengudetanya, bukan?

Terakhir, saya menyukai nomor cantik peringatan setahun pemerintahan SBY: 20 Oktober 2010. 20102010. Iseng-iseng saya jumlahkan, ketemu angka 6.

Lha kok bukan 9? Lho, bukankah angka 6 adalah angka 9 yang jungkir balik.

Selamat milad pemerintahan, Pak. [wir]

No comments: