04 September 2010

Surat untuk Pak Sus

Pak Sus, selamat pagi. Maafkan saya. Saya menulis surat ini dengan hati sedang gondok-gondoknya, dan juga tidak sabaran. Ini bulan puasa memang. Tapi siapa yang tak jengkel, melihat diplomasi kita tak jalan saat berhadapan dengan Malaysia.

Para nelayan kita dengan perahu seadanya kesasar di perairan Australia, dan mereka diperlakukan seperti pencuri yang tertangkap basah masuk ke rumah tetangga. Para tenaga kerja kita disiksa di Malaysia, dan kita tak berdaya. Harkat dan martabat sepertinya sudah tak punya. Pemerintah kita seperti disuwuk jadi patung, hanya bisa diam membatu di bawah rapalan mantera 'politik luar negeri bebas aktif'.

Lalu, suatu hari, ada nelayan Malaysia masuk perairan Indonesia dengan pukat harimau. Pemerintah Indonesia sudah benar menangkap mereka. Tapi kok lagi-lagi pemerintah seperti disuwuk jadi batu, saat pemerintah Malaysia menangkap balik petugas-petugas Indonesia. Kita juga seperti tak berkutik, saat perdana menteri Malaysia menggertak agar pemerintah Indonesia mengambil tindakan terhadap 'diplomasi megafon' warga kita. Ia mungkin tak tahan dan sebal melihat bendera Malaysia dibakar tak ada harga di sini.

Tidak, Pak Sus, saya tidak hendak mengompori kita untuk berperang. Perang itu pilihan terakhir, ketika 'kata tak lagi bermakna'. Ini saya menyitir Iwan Fals: 'ketika kata tak lagi bermakna, langkah buta terjang saja'.

Perang itu jelas bikin susah. Dan, saya lebih memilih jadi umat Iwan Fals yang bernyanyi: 'oh ya andaikata dunia tak punya tentara, tentu tak ada perang yang makan banyak biaya. Oh ya, andaikata dana perang buat diriku. Tentu kau mau singgah, bukan cuma tersenyum'.

Lagipula saya juga tak terlalu percaya, dua negara yang sama-sama memiliki gerai burger McDonald akan berperang. Kalau untuk urusan ini, saya percaya dengan teori Thomas L. Friedman, wartawan The New York Times itu. Ia memperhatikan, tak ada dua negara yang sama-sama punya McDonald saling berperang sejak keduanya memiliki McDonald.

Dari sini, Friedman menggagas Teori Pencegahan Konflik Golden Arches: saat sebuah negara mencapai tingkat perkembangan ekonomi dengan kelas menengah cukup besar untuk mendukung jaringan McDonald, negara ini akan menjadi negara McDonald. Di antara negara-negara ini, terjalin menjadi bagian struktur perdagangan global dan peningkatan standar hidup dengan McDonald sebagai simbolisasi.

Friedman yang punya kumis tebal dan tubuh agak gemuk seperti saya itu lantas melengkapi teorinya dengan Teori Dell. Menurut dia, tak ada dua negara yang sama-sama ambil bagian dalam rantai pemasok utama pasar global yang akan saling berperang, selama tetap menjadi bagian dari rantai pemasok global.

Indonesia dan Malaysia jelas sama-sama punya McDonald. Mereka juga sama-sama menjadi mata rantai pasar bebas, dan sebagaimana kata Richard Cobden, politisi Inggris abad 18, "Perdagangan bebas merupakan diplomasi Tuhan. Tak ada cara pasti lainnya untuk menyatukan orang dalam ikatan damai."

Namun, Pak Sus, saya yakin kita berdua setuju, bahwa McDonald dan globalisasi bukan alasan pemaaf bagi pelanggaran teritori. Tuhan memang menciptakan satu bumi, tapi bukankah kita sendiri yang telah bersepakat untuk membagi-baginya bak kue dalam negara-negara.

Kita berdua tentu sepakat, bahwa pemerintah ada dan mendapat amanat setiap lima tahun untuk melindungi negara, dan martabat rakyatnya. Kita pasti percaya dan meyakini, rakyat tak butuh pemimpin yang berperilaku seperti burung merak, yang hanya bisa mematut-matutkan diri, berindah-indah dengan dirinya sendiri, namun sebenarnya lemah dan rentan di bawah ancaman hewan pemangsa lainnya.

Rakyat sesekali butuh pemimpin yang berperilaku seperti rajawali, yang seperti dalam puisi WS Rendra yang dimusikalisasi oleh Kantata Takwa: "burung sakti di angkasa, lambang jiwa yang merdeka." Tapi saya bisa memahami, kalau takdir diri hanyalah merak atau nuri, sulitlah kiranya bermetamorfosis menjadi rajawali.

Tidak, Pak Sus, saya tidak ingin kita berperang, walau konon kekuatan militer kita berada di peringkat 14 terbaik dunia. Namun sedikit ketegasan sikap tentu akan melegakan orang banyak. Ketegasan dalam berdiplomasi untuk menunjukkan bahwa 'ini tanah kami, ini hak kami', tentu akan jauh lebih baik ketimbang 'diplomasi megafon' yang dilakukan sebagian rakyat kita. Ketegasan menunjukkan bahwa pemerintah kita ada, dan rakyat tak akan merasa perlu mengambil langkah sendiri yang mungkin justru akan kontraproduktif.

Ataukah kita memang merasa perlu membiarkan rakyat bertindak dulu, seperti para peretas (hacker) asal Jawa Timur yang melakukan 'serangan fajar' terhadap situs-situs Malaysia pada Hari Kemerdekaan Malaysia 31 Agustus? Para hacker itu seolah ingin menunjukkan kepada kita semua bahwa adagium sivis pacem para belum (jika ingin berdamai, bersiaplah untuk berperang) memang benar adanya.

Selamat pagi, Pak Sus. Bagaimana menurut Anda? [wir]

No comments: