29 August 2010

Bocah yang Mencintai Matematika dan Komik

Seorang bocah berusia belasan tahun mencintai matematika dan komik sekaligus. Ia mencintai logika, proposisi-proposisi logis, juga fantasi: kelak menjadi juara matematika tingkat dunia.

Bocah itu, Muhammad Adnan Reza. Ia dilahirkan 19 Januari 1997. Seorang anak yang tumbuh setelah Orde Baru tumbang, dan gelombang keterbukaan menggulung Indonesia. Internet. Tayangan-tayangan stasiun televisi swasta yang semakin berjibun. Buku-buku komik impor terjemahan dari Jepang. Dunia pendidikan dengan kurikulum yang memaksa anak tumbuh lebih cepat, mempelajari lebih banyak daripada anak-anak usia yang sama pada generasi sepuluh tahun sebelumnya.

Reza sudah mulai menyukai komik saat berusia empat tahun. Menginjak tahun kelima, ia mengenal matematika sederhana: penjumlahan dan pengurangan. 1+1 = 2, 4-1 = 3, 3+3 = 6. Dan, ia jatuh cinta dengan angka-angka itu, dan kelak tak suka dengan pelajaran apapun yang dihapal.

Dari matematika, Reza belajar tentang nalar yang logis dan runtut. Ia menyukai aljabar, bukan geometri yang dipenuhi rumus. Setiap malam selama dua jam, ia berlatih, mendisplinkan diri dengan angka-angka, bilangan-bilangan.

Ia membayangkan dirinya seorang yang tengah berjuang keras menjadi jawara matematika dunia, kelak. Tidak ada yang lebih memuaskan, selain berhasil menuntaskan soal-soal matematika kompetisi International Wizard Youth Mathematics yang diunduhnya dari internet.

Reza meneruskan tradisi kuno di dunia Matematika. Sejak abad pertengahan, para ahli dan jawara saling tantang saling memecahkan soal yang mereka buat. Steve Olson dalam bukunya, Countdown, menuliskan: "di masa ketika para ahli matematika masih amatir, mereka bisa membangun reputasi dengan memecahkan soal-soal yang tak mampu dijawab orang lain".

Berkebalikan dengan prasangka orang banyak, para ahli matematika ini, bahkan yang remaja, bukanlah tipe orang dengan penampilan tak menarik, serius, dan kening selalu berkerut. Olson menulis, para siswa anggota tim olimpiade dunia matematika dari Amerika Serikat bukanlah stereorip kutu buku.

Paul Zeitz, anggota tim olimpiade matematika AS yang bertanding di Jerman Timur pada tahun 1974, sampai saat ini adalah seorang pemanjat tebing dan pendaki gunung. Ia kini menjadi guru besar matematika di Universitas San Fransisco. "Agar berhasil baik dalam matematika, orang harus teliti sekaligus petualang yang baik," katanya.

Reza bukan Paul Zeitz atau para jagoan matematika dalam buku Olson. Namun, sebagaimana mereka, Reza mengusir stereotip sosok yang serius dalam diri seorang pecandu matematika. Ia tidak memanjat tebing, namun Reza mencintai komik-komik Jepang (manga), sebagaimana layaknya para remaja lain seusianya yang mungkin membenci matematika.

Ia menyukai Detektif Conan. Ini cerita tentang seorang detektif SMA bernama Sinichi Kudo yang mendadak berubah menjadi bocah usia delapan tahun, karena terkena cairan kimia. Bocah berusia delapan tahun ini menyebut dirinya Conan Edogawa, seorang detektif cilik yang bekerja dengan logika deduksi yang runtut.

Ia sangat menyukai Eyeshield 21: komik tentang sebuah tim olahraga American Football. "Saya suka, karena ada cerita taktiknya," katanya. Lagi-lagi soal logika.

Kian hari Reza kian jago, dan hari-hari ini menjadi salah satu andalan sekolahnya, SMP Negeri 2 Jember. Namun, Reza tampak tak peduli dengan kejagoannya itu. Ia tak ingat berapa kali menjadi juara kompetisi matematika sejak sekolah dasar. Yang ia ingat, ia butuh mandi jika hendak mengerjakan soal-soal matematika yang rumit dalam sebuah kompetisi.

Medan, suatu hari di awal Agustus 2010. Entah kenapa mendadak air kamar mandi penginapan Reza macet. Gawat juga, karena pagi itu ia harus mengikuti olimpiade sains nasional. Ini sudah hari kedua lomba. Terpaksalah ia hanya mencuci muka alakadarnya saja.

Di ruang ujian, sebelum mengerjakan soal-soal, Reza menelpon kedua orang tuanya dan seorang guru di sekolah. Ia belum mandi, dan ia berharap doa orang-orang yang dihormati dan disayanginya akan membantunya.

Hanya lima soal yang perlu dikerjakan olehnya. Tapi otaknya serasa berkabut. "Saya tidak bisa berkonsentrasi," katanya. Gara-gara tak mandi, ia pun cukup merasa beruntung dengan raihan medali perunggu, setelah bersaing dengan 98 orang pelajar lainnya dari seluruh Indonesia.

Ada banyak siswa seperti Reza di Indonesia. Tapi yang jelas mereka minoritas. Sementara, para guru dan pejabat di dunia pendidikan di Indonesia suka-suka cepat berbangga hati, bahwa anak-anak seperti Reza adalah wujud keberhasilan sistem pendidikan. Lalu anak-anak seperti itu biasanya mendapat perlakuan lebih khusus dibanding siswa lain yang 'biasa-biasa saja'.

Saya sendiri masuk dalam kelompok orang yang ragu, bahwa Reza adalah bentuk keberhasilan sistem pendidikan. Jangan-jangan Reza memang punya gen dan bakat alam untuk menjadi jenius di bidang matematika. Lagipula, ada berapa banyak sih siswa yang bisa menjadi juara matematika walaupun mandi belasan kali sehari di rumah.

"Di Rumania, ketika orang tahu kau seorang jago matematika, mereka akan berkata, 'aku dulu pintar matematika'. Dan yang bicara begitu adalah para supir taksi. Itulah sebabnya tim-tim (olimpiada matematika) dari Eropa Timur berhasil baik, karena matematika adalah bagian dari budaya mereka," kata Titu Andreescu, Direktur Kompetisi Matematika Amerika Serikat.

Saya tidak sedang ingin berdebat tentang kapan atau bagaimana Matematika bisa menjadi bagian dari budaya kita. Mungkin jika kita sudah bisa memahami bahwa matematika bukanlah sekadar angka, tapi seperti kata Zeitz: matematika adalah kegiatan yang amat sosial, tentang bagaimana kita merenung dan memecahkan persoalan sehari-hari dengan runtut, logis, dan sistematis.

Mungkin, kita membutuhkan anak-anak seperti Reza, yang sampai kapanpun, tetap membawa semangat seorang bocah yang mencintai matematika dan komik. [wir]

No comments: