F Pergi di Malam Lebaran
Di hadapan waktu, kita selalu rapuh. Mungkin karena itu, Tuhan memberikan satu ayat di kitab sucinya dengan menyebutkan: demi waktu. Dan kita pun tahu, kematian adalah satu-satunya hal yang tak akan pernah kita bisa taklukkan.
Jumat dinihari, pukul setengah dua, telpon saya berbunyi. Salah satu teman memberi kabar: F telah pergi. Pesan pendek yang mampir ke ponsel saya mengonfirmasikan kabar itu: F pergi di malam Idul Fitri. Pukul setengah dua belas.
F, kawan saya sesama jurnalis. Rumah kami bertetangga beberapa blok. Dia hidup bersama istri dan dua orang anak perempuannya, dan bekerja sebagai kontributor salah satu stasiun televisi.
Saya lupa tepatnya kapan kami berkenalan. Dia lebih dulu menjadi wartawan ketimbang saya. Sebelumnya, ia pernah bekerja sebagai reporter di salah satu stasiun radio milik pemerintah daerah, sekaligus merangkap menjadi kontributor radio swasta ternama di Jakarta.
Ini malam lebaran, dan saya mendadak teringat hari-hari bersamanya. Saya dan F tak akrab betul. Tapi di suatu masa, kami pernah berdiri bersama, berdampingan, memburu berita yang 'berbahaya'.
Kawan saya itu, F, seorang yang teguh hati, dan nyaris keras kepala. Bekerja di radio pemerintah daerah, dia tak sungkan menggugat kebijakan di kantornya yang dirasa tak beres, terutama dalam masalah gaji. Dia pernah bercerita kepada saya, betapa dia dipandang sebagai biang kerok di kantor karena mempersoalkan hal-hal yang tak berani dipersoalkan reporter lain.
Namun F tetaplah manusia biasa, dan bukan pahlawan super yang sudah putus urat takutnya. Ada kalanya ia kehilangan nyali juga. Pernah suatu ketika, ia menulis berita untuk radio Jakarta tentang pendidikan yang tak beres. Rupanya sang bupati tak suka urusan pendidikan diungkit-ungkit.
F kena marah besar di hadapan banyak orang, dan karirnya bakal tamat. Dengan nada bercanda, ia berkata kepada saya waktu itu: "Yek, aku mikir, 'kamu ke mana, tolongin aku nih." Saya tertawa. Waktu itu saya sudah dipindahtugaskan ke kota lain.
Kerja bersama yang selalu kami ingat adalah ini: kami melakukan investigasi dugaan penyimpangan proyek pengadaan komputer sebuah instansi. Kami berhasil membuat pejabat di instansi itu kelimpungan. Salah satu pejabat instansi itu sempat memberikan amplop cokelat kepada kami. Agak tebal, kami tak menduga-duga berapa isinya. Mungkin banyak. Tapi saya dan F dengan sedikit berlari menampik.
Kami bukan malaikat yang sok suci dan tak butuh uang. F hari itu memang lagi butuh duit. Kakinya berbalut gips setelah terjengkang dari sepeda motornya, saat hujan. Kelak di kemudian hari, F sendiri dengan nada bercanda sempat bilang ke saya: 'Coba kalau kamu ambil duitnya,' Tapi kami berdua tahu, hari itu kami tak mau menjadi 'setan' dengan mengambil tawaran itu.
Bersama F, tak selamanya serius, walau ia acap bicara agak keras. Namun saya tahu, ia tak pernah bermaksud menghina. Suatu hari, ia pernah memberikan stiker bergambar calon bupati kepada anaknya. Kebetulan, ia punya stiker itu bertumpuk. Sang anak membagikan stiker itu kepada kawan-kawan bermainnya, dan mereka menempelkan stiker itu di sekujur kampung, termasuk di dalam masjid.
F hanya bisa garuk-garuk kepala saat bercerita itu kepada saya. Takmir masjid sebelum salat Jumat mengumumkan kepada para jamaah agar tak berkampanye politik di rumah ibadah. Tapi siapa pula yang berkampanye, karena itu kerjaan anak-anak kecil yang iseng.
Kami sempat bertemu dan bertegur sapa Senin malam di kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah. Ia memang kelihatan tak sehat. Tapi salah satu teman berkata, F sempat meliput banjir di terminal dua hari sebelum meninggal.
Kami tak pernah tahu, F tengah sakit keras. Selama sebulan terakhir, ia tengah menjalani terapi karena sakit ginjalnya yang akut. F pergi selayaknya seorang pejuang: reporter dan kepala keluarga yang menghidupi istri dan anak-anaknya.
Ini malam Idul Fitri. Suara takbir belum lagi lenyap dari masjid-masjid, dan saya belum sempat meminta maaf kepada F sebelum dia pergi menghadap ilahi. Saya teringat setumpuk buku dalam tas plastik putih yang diberikannya kepada saya. Ia mendapat buku-buku dari Balai Pustaka, dan berniat menyumbangkannya untuk siapa saja yang mau.
Penyesalan saya, saya belum sempat meminta maaf kepadanya. Tapi, baiklah, kawan. Pergilah dengan tenang. [wir]
09 September 2010
Labels: Esai, Jurnalisme, Sosok
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment