17 September 2010

Satpol

Masih suasana lebaran, dan saya berjabat tangan dengan K, seorang petugas satuan polisi pamong praja yang berjaga di gedung parlemen daerah. Dan dari K saya semakin paham, bahwa satuan polisi pamong praja adalah entitas berseragam dengan manusia beragam nasib.

K jauh dari bayangan sosok seorang polisi pamong praja yang bertubuh kekar, bertampang tegang, yang mengobrak-abrik lapak-lapak yang tak tertib. Tidak. K hanyalah seorang penjaga biasa dalam kesunyian, yang tak bisa melewatkan lebaran dengan mudik ke kampung halaman.

K sudah berjaga di gedung DPRD selama empat tahun, dan seperti tahun lalu, tahun ini ia kebagian jatah berjaga di saat lebaran. Ia asli Surabaya, dan istrinya berasal dari Lumajang. Ia hanya sempat mengantarkan sang istri dan anak-anaknya pulang ke Lumajang. Setelah itu, ia berjaga dalam sepi.

"Tugas Satpol PP adalah menjaga aset pemerintah," katanya, tanpa melebihkan. Saya tak mendengar tekanan intonasi bangga dari suaranya. Hanya nada biasa, menganggap bahwa ini hanyalah tugas biasa bagi seorang pegawai negeri rendah sepertinya: menjaga gedung di saat para pejabat mudik.

Saya tidak tahu, apakah para atasannya pernah sekali berpikir, bahwa orang seperti K membuat mudik mereka lebih nyaman. K tak bertemu dengan sang ayah selama dua tahun terakhir. "Bapak saya ada di Solo. Saya sebenarnya kangen, tapi Solo kan jauh. Selama jadi petugas polisi PP, saya tak pernah bisa libur lama," katanya.

Berjaga di saat lebaran sama sekali bukan tugas enak bagi K. Memang tak pernah ada pembobol masuk gedung parlemen. Namun penjagaan tak boleh dikendorkan. Ia hanya kebingungan satu hal: ke mana mencari makan dan camilan jika malam tiba, karena warung-warung di sekitar gedung parlemen tutup hingga empat hari setelah lebaran.

Selama bertugas di malam hari selama bertahun-tahun, bukan maling pula yang membuat K mundur. Tapi suara-suara aneh yang diidentifikasinya sebagai suara hantu. Menjelang tengah malam, K mendengar suara langkah sepatu menuruni tangga. Ia pun memilih berjaga di depan pintu gedung, daripada duduk-duduk di ruang lobi lantai bawah.

Saya tertawa mendengar cerita K. Saya tak pernah membayangkan orang seperti K kelak dipersenjatai seperti yang pernah diwacanakan dulu. Dan saya tak yakin orang seperti K sebenarnya ringan hati menggusur lapak-lapak pedagang dengan kekerasan. K adalah wajah lain dari birokrasi, sesuatu yang disebut sebagai kelas baru oleh Milovan Djilas. [wir]

No comments: