26 August 2010

Gaspard Fix

Saat saya masih mahasiswa, ada gurauan cukup populer soal ideologi di kalangan aktivis. Manusia politik hidup dengan ideologi paripurna: laku radikalis, otak sosialis, bibir moralis, hati fundamentalis, perut kapitalis, selangkangan liberalis.

Tentu saja, saya tak pernah berpikir akan ada manusia dengan multi-ideologi ganjil seperti itu. Namun tak gurauan itu tak selamanya keliru: manusia memang makhluk berwarna. Ideologi menjadikannya dalam satu warna, menyeragamkan laku dalam satu kelompok atau kategori. Namun ideologi tak pernah bisa menjelaskan manusia dengan sempurna.

Ideologi tentang cita-cita, gagasan-gagasan besar. Sebuah 'perintah kanonik' tentang masa depan lebih baik. Tapi manusia tak selamanya dibimbing oleh cita-cita. Ada hasrat, passion, yang acap kali mengambil tempat, melebihi apa yang ideal dan dianggap benar. Dan hasrat, apa boleh buat, tak selamanya bicara tentang masa depan lebih baik.

Dalam kerangka 'hasrat' (passion) pula, saya merasa, gurauan di masa mahasiswa itu adalah bagian dari upaya menerangkan betapa hipokritnya manusia.

Otak kita dijejali moralitas bagaimana menjadi makhluk sosial, tentang nilai-nilai, dan bibir kita mengkhotbahkan tentang apa yang seharusnya (das sollen), dan bukan apa yang senyata-nyatanya (das sein). Lalu kita meneguhkan hati, berkeras hati menjadi seorang fundamentalis dengan laku radikal: kita kutuk apa yang kita anggap sesat, sembari menghancurkan rumah-rumah bordil.

Tapi hasrat tak pernah lekang dari perut kita. Kita tumpuk harta dengan jalan apapun, seakan-akan hari ini akan mati kelaparan atau terpuruk kedinginan. Kita mencopet uang negara, dan membagikannya sedikit kepada rakyat yang memberikan suara dalam pemilu, sehingga mereka menganggap itu sesuatu yang bajik.

Hasrat juga tak lekang dari kelamin kita. Satu istri di rumah tak cukup, karena itu kita merasa perlu membawa pelayan rumah tangga ke peraduan, atau menyewa pelacur yang kita kutuk dari rumah bordil. Pengkhianatan dalam politik pertama-tama bermula dari urusan kasur.

Manusia memang tak ubahnya sebuah komedi hitam dan ironi. Syahdan, Tuan Gaspard Fix adalah seorang bekas pembuat bir dalam karya Emile Erckmann dan Alexandre Chatrian. Ia menikahi seorang gadis untuk mendapat hartanya, dan membangun sebuah pabrik bir dan penginapan. Tuan Gaspard menjadi kaya raya dari perdagangan barang selundupan dan menjadi rentenir.

Tuan Gaspard merasa cukup kaya, untuk kemudian memilih terjun ke dunia politik dan terpilih menjadi walikota. Ketika Revolusi Prancis meletus, ia menyatakan diri sebagai kaum Republikan. Karir politiknya naik terus, bahkan dengan jalan menyingkirkan orang yang jujur dan bijak.

Tuan Gaspard menjadi bangsawan terhormat melalui jalan kotor. Tak ada yang bisa menyentuhnya, kecuali tangan takdir: gigitan seekor lalat yang mengandung karbon mengakhiri hidupnya. Dan, dalam sakaratul maut, ia menyaksikan hartanya jatuh kepada para menantu yang rakus dan anak lelakinya yang geblek.

"Manusia bukanlah malaikat dan bukan pula binatang. Malangnya, siapa yang ingin bersikap seperti malaikat malah kelihatan seperti binatang," tulis Blaise Pascal.

Ada baiknya kita semua merasa tersindir. [wir]

No comments: