22 August 2010

Agustus

Agustus tiba, dan saya teringat Evelin dan Nevi, di sebuah pagi setahun silam. Mereka siswa sekolah menengah tingkat pertama yang saya temui setelah acara peringatan kemerdekaan di alun-alun Jember. Mereka datang karena diminta guru mereka.

Mereka senang mengikuti upacara bendera. Itu lebih baik daripada hanya diam. Saya tidak tahu apakah itu berarti mereka memiliki rasa nasionalisme. Kita terbiasa diajarkan bahwa upacara bendera berbanding lurus dengan rasa nasionalisme. Tapi apakah nasionalisme itu, Evelin berpaling kepada kawannya, "Nasionalisme? Hei, apa itu, rek?"

“Nasionalisme? Nggak tahu,” Nevi menyahut dengan gaya abai.

Nasionalisme. Kemerdekaan. Dua hal seperti dua sisi mata uang. Dan, kita pun tahu, keduanya tidak lahir dari ruang kosong. Keduanya selalu tentang harapan-harapan, cita-cita hidup lebih baik. Mungkin oleh sebab itu, kita selalu menyebut kemerdekaan sebagai jembatan emas, dan nasionalisme sebagai keyakinan untuk hidup bersama.

Dan selama bertahun-tahun ini menjadi klise: jembatan itu tak segera juga mengantarkan kita ke hidup yang lebih baik, karena berkali-kali kita berupaya menghancurkan jembatan itu sendiri. Keyakinan itu pun berangsur-angsur kendur, dan coba dipaksa-paksakan untuk kencang.

Saya merasa getir membaca reportase Suara Perempuan Papua. Di sebuah desa di Papua sana, tepatnya di perbatasan dengan Papua Nugini, sejumlah kepala suku diperintahkan menandatangani ikrar kesetiaan: NKRI, garuda, merah-putih, dan Indonesia Raya. Nasionalisme pada akhirnya tak lebih dari sebuah ketidakyakinan dan syak-wasangka.

Kemerdekaan? Nasionalisme? Entahlah, kadang saya tak yakin juga, karena apa yang ada dalam buku dan retorika para pejabat tak selamanya sejalan dengan laku sehari-hari.

Ya, kemerdekaan jembatan emas dan kita harus mengisinya, kata seorang birokrat dengan yakin. Namun kita belum merdeka karena kemiskinan di mana-mana, sahut seorang aktivis. Hari Kemerdekaan, tapi kami belum bisa merdeka menjalankan ibadah kami sendiri, kata seorang penganut agama.

Merdeka, ya merdeka, karena saya akhirnya bisa keluar bui dan cepat-cepat kumpul dengan keluarga, kata seorang pencuri kayu yang mendapat remisi. Merdeka, saya masih merdeka menumpuk duit, kata seorang koruptor. Kita merdeka, tapi kami masih ketakutan, kata seorang korban bom teror dan korban ledakan tabung elpiji bersubsidi.

Kemerdekaan tak pernah mendapat pemaknaan tunggal. Begitu juga nasionalisme. Ia selalu soal pengalaman hidup kita, pencapaian hidup kita yang beragam. Jamak. Dan selama kesetaraan hanya dalam kata dan kesejahteraan masih senjang, maka selama itu pula kemerdekaan dan nasionalisme di negara ini selalu memunculkan kekecewaan, dan pada akhirnya ketidakpedulian.

Ancaman terbesar bagi kemerdekaan dan nasionalisme justru berasal dari dalam sendiri. Ketika orang kecewa karena cita-cita tentang negara bebas selalu diingkari, tatkala orang ramai menunduk sedih, karena kemerdekaan tak merealisasikan janji perubahan dan hanya menghadirkan penindasan dalam wajah baru. Karena nasionalisme hanya rapalan dan hapalan dalam buku sejarah.

"Orang-orang tertentu begitu kehabisan tenaga karena beban penindasan, sehingga mereka menyerah." Kata-kata ini bukan dari seorang politisi atau pahlawan Indonesia, tapi dari seorang yang mati dibedil di Amerika sana: Martin Luther King Jr.

Akankah kita menyerah? Mungkin saatnya kita membuktikan kata-kata Iwan Fals, bahwa Garuda bukan burung perkutut. [wir]

No comments: