18 June 2010

All The Candidate's Men
(Printed Edition di Radar Jember)


- Surat untuk semua kandidat kepala daerah dan tim sukses mereka, memperingati 38 tahun Skandal Watergate -

Mereka disebut The Plumbers. Mereka tak ada dalam konstitusi negara. Namun tugas mereka tak kalah genting: ini sebuah kelompok rahasia yang menelisik, mengeduk, dan menyelidiki privasi lawan-lawan politik Richard Malhous Nixon, Presiden Amerika Serikat yang tengah berjuang mencalonkan diri kembali untuk periode kedua. Mereka punya daftar musuh-musuh Nixon, dan melakukan apapun untuk berkampanye menghancurkan nama baik para musuh itu.

Salah satu musuh politik Nixon yang coba diganyang adalah Daniel Ellsberg, seorang ilmuwan dan ahli strategi yang bekerja di sebuah lembaga yang merancang Perang Vietnam. Ellsberg membocorkan ribuan lembar dokumen kepada The New York Times dan Washington Post. Dokumen-dokumen itu belakangan disebut Pentagon Papers, membocorkan tentang kecorobohan pemerintah AS dalam Perang Vietnam.

Sejauh ini, The Plumbers cukup berhasil. Namun tidak pada 17 Juni 1972. Lima orang yang mencoba membobol kantor Komite Nasional Demokrat di gedung Watergate tertangkap basah. Mereka diadili, dan dua orang wartawan muda koran The Washington Post yang serba ingin tahu berjalan setapak demi setapak: membongkar sebuah konpsirasi busuk.

Di pengujung hari, kita tahu, Nixon gagal mencalonkan diri kembali menjadi presiden. Ia harus mengundurkan diri dari jabatannya. Orang-orangnya tercerai-berai. Dalam film Frost/Nixon, Si Tricky Dick tampak begitu letih dan tua menjawab pertanyaan-pertanyaan David Frost, seorang pewawancara televisi.

Saya kadang berandai-andai, jika saja Nixon tidak dikelilingi orang-orang yang salah, apa yang akan terjadi? Karir politiknya akan gemilang? Atau memang Nixon tak pernah bisa mengantisipasi orang-orang dekatnya, atau justru memang ia yang terlampau percaya diri untuk mengikuti kata hatinya, ketakutan-ketakutannya terhadap para musuh politiknya.

Entahlah. Berpolitik berarti menghadapi segala tantangan, kemungkinan, keganjilan, dan mungkin juga kejutan. Dan seorang pemimpin harus bersiap menghadapi semua itu pertama-tama bukan dari para pesaing, namun dari kawan-kawannya sendiri. Dari orang-orang kepercayaannya.

Apa yang bisa kita ambil dari kisah Nixon dan orang-orangnya, bagi kita di Jember yang tengah menyelenggarakan sebuah pemilu kepala daerah? Tak mudah menjadi seorang kandidat kepala daerah. Ia berdiri dengan memegang tongkat komando di tangan kanan dan sebuah kotak pandora di tangan kiri. Kawan-kawan, tim sukses, orang-orang lingkar dalam, pembisik, atau apapun namanya, adalah kotak Pandora itu: tempat semua kepentingan berkumpul, yang tak selamanya berurusan dengan ideologi atau visi-misi. Mereka adalah ejawantah dari adagium klasik yang menjadi klise: tak ada kawan abadi selain kepentingan.

Di Indonesia, setelah berpuluh-puluh tahun masyarakat dipisahkan dari ideologi, proses politik praktis tak ubahnya metafora ini: oplet tua yang diisi banyak penumpang yang enggan mengeluarkan banyak ongkos, dengan seorang kandidat sebagai sopir, dan sekondan sang kandidat sebagai kernet.

Para penumpang ini: pengurus partai, tokoh-tokoh organisasi masyarakat, para makelar, para preman, pemilik bisnis pengepul massa; semuanya tak harus berurusan dengan itikad dan niat sang kandidat. Mereka tak selalu peduli oplet bernama 'cita-cita politik' hendak dibawa ke mana, asalkan itu berarti kemenangan dalam arena pemilihan. Mereka tak ubahnya tentara bayaran, yang mengharapkan ganjaran setelah kemenangan tercapai.

Saya mungkin terlalu pesimistis atau nyinyir. Bisa jadi saya keliru. Boleh jadi ada di antara orang-orang lingkar dalam ini, memang ada yang beritikad tulus menginginkan sang kandidat akan menang dan membawa kebaikan bagi semua.

Dalam sebuah film dokumenter tentang perjalanan Barack Obama menjadi Presiden Amerika Serikat, saya menyaksikan seorang pemuda keturunan Korea menangis terisak, saat menelpon sang bunda. Keluarga Korea itu pindah ke Amerika untuk harapan hidup lebih baik. "Saya satu-satunya anggota keluarga yang kuliah," kata si pemuda Korea. Dan, ia bergabung dengan tim Obama dengan harapan perubahan: Amerika yang lebih baik, Amerika yang tidak selalu berseru-seru ketakutan dan menyalahkan orang lain. Dan Obama menang, dan ia menangis.

Namun marilah kita sesekali bertanya pada diri sendiri: ada berapa banyak orang yang bergerak memenangkan sang kandidat dengan rela hati seperti si pemuda Korea ini, tanpa pamrih, walau hanya berharap ongkos transportasi ala kadarnya?

Niccolo Machiavelli, sang filsuf politik yang sering disalahpahami itu, sudah mengingatkan tentang para tentara bayaran. "Tentara bayaran dan pasukan bantuan tidak ada gunanya dan berbahaya. Pasukan bayaran tak pernah bisa dipersatukan, haus akan kekuasaan, tidak memiliki disiplin, dan tidak setia."

Selalu ada persaingan di antara orang-orang lingkar kandidat ini: bahwa bisikan mereka soal taktik pemenangan adalah kecap nomor satu. Seorang kandidat pertama-tama harus menyeleksi informasi dari orang-orang lingkarnya, sekaligus mengendalikan pertarungan di antara mereka agar tak menghantam cita-cita yang disusunnya sendiri.

Ia juga harus berusaha keras agar tak terbujuk untuk terbetot hasrat kuasa sendiri, yang kadang melampaui nalar waras. Sebab orang-orang ini bisa menjadi sangat berbahaya, dengan mengatakan apa-apa yang hanya ingin didengar sang kandidat, bukan apa-apa yang diperlukan sangat kandidat. Orang-orang yang membiarkan sang kandidat tenggelam, seperti yang dialami Richard Nixon, si Tricky Dick.

Ketika pertempuran berakhir dan bendera kemenangan tertancap, seorang kandidat harus kembali menahan kota pandora itu: agar tak menjadi sasaran para penagih imbal jasa politik. Para penagih ini, orang-orang sang kandidat, bisa meminta apa saja terhadap jasa yang mereka klaim: tetesan proyek berkubang duit, atau mungkin jabatan.

Saat semuanya berakhir dengan kekalahan, sang kandidat pun sendiri. Tak ada orang-orang yang mengantre proyek, atau mengulurkan bantuan uang. Yang tersisa hanya para penagih utang.

Lantas di manakah posisi rakyat, orang-orang yang antre dan memberikan suara bagi sang kandidat tanpa memperkenalkan nama dan diri mereka? Bukankah pemilihan kepala daerah adalah sebuah pesta?

Di pengujung hari, kita tahu, pesta dan demokrasi hanyalah metafora yang tak pas benar jika saling dilekatkan. Karena pesta, sebuah selebrasi, pada akhirnya, memang hanya milik sang pemenang dan orang-orangnya. Sementara kita tahu, jika memang demokrasi adalah pesta, maka kemenangan dan kekalahan seharusnya tak melahirkan sikap yang bertolak belakang antara sang pemenang dan pecundang. Kalah, menang, tak perlu ada yang terlampau senang, berang, atau sedih hati. Ini pesta bukan?


Tapi, mungkin di situlah kontradiksi demokrasi. Rakyat tak akan dikenang dalam prosesi pemilihan, sebagaimana halnya para tukang batu yang pergi entah ke mana, setelah tembok China berdiri tegak.


Sejarah hanya mengingat dan memang mencatat nama-nama raja, dan para tukang batu tak pernah ada di dalamnya. Namun para tukang itu memiliki kenangan sendiri, bahwa merekalah yang telah melulurkan semen dan menumpuk bebatuan, bukan sang raja dan orang-orang di sekitar raja. Seperti halnya rakyat yang mengingat, bahwa merekalah yang punya kuasa memilih si A, si B, atau si C, dan bukan orang-orang di sekeliling sang kandidat. (*)

Oryza A. Wirawan adalah jurnalis dan esais, alumnus Radar Jember

1 comment:

bangrudy said...

Sampiyan sudah cerdas ! namun masyarakat kita mayoritas belum cerdas. Beremma kenikah ? pendekatan apa yg perlu diterapkan ? security ato prosperity kah ?