16 June 2010

Kapitalisme di Lapangan Hijau

Ini esai indah dari seorang (Goenawan) Mohammad Eri Irawan. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Jember ini adalah wartawan dan pecinta sepakbola. Salah satu Boromania. Kemampuannya menulis indah soal teori ekonomi dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari patut dipuji. Selamat membaca.

http://jawapos.com/sportivo/index.php?act=detail&nid=139986


[ Rabu, 16 Juni 2010 ]
Kapitalisme di Lapangan Hijau
Oleh Mohammad Eri Irawan

Penawaran selalu menciptakan permintaannya sendiri (J.B. Say)

---

DIKTUM klasik ilmu ekonomi itu mengandaikan adanya gerak hukum penawaran dan permintaan yang erat melekat. Penawaran suatu komoditas diciptakan oleh produsen, dan otomatis penawaran itu bekerja sebagai stimulus dalam memicu permintaan pasar. Kebutuhan dikreasi produsen, tidak berangkat dari keterbatasan sumber daya konsumen.

Model ekonomi semacam itu adalah cermin keseimbangan pasar. Kalaupun ada kelebihan produksi, harga barang akan terkoreksi dan bisa diserap pasar. Begitu seterusnya: semua produk yang ditawarkan pasti ludes di pasar.

Rasionalitas ekonomi seperti itulah yang kini melambari jagat sepak bola kontemporer. Kita melihat sepak bola telah bersilih rupa dari permainan di rumput hijau dalam stadion menjadi tumpukan surat berharga di papan elektronik: saham, obligasi, dan aplikasi kredit. Dalam beberapa konteks, sepak bola tak lebih sebagai kerja ekonomi pragmatis, seni yang melulu melayani hal-hal praktis jual-beli ekonomi. Sepak bola sudah terhubung dengan terminologi ekonomi-perusahaan: return on investment (ROI), debt to equity ratio (DER), belanja modal, dan profitabilitas.

Kita tahu, sepak bola punya gaya sendiri dalam mengeruk pundi-pundi uang dari pasar. Pemodal kakap hilir mudik membeli klub-klub baru. Jersey-jersey dicetak masal, dipamerkan di toko-toko olahraga dari Barcelona sampai Surabaya. Kartu kredit berlogo klub-klub dunia diterbitkan dengan iming-iming cashback jika sang klub berhasil memenangkan laga.

Sepak bola adalah mesin uang. Karena itu, diciptakanlah metode penawaran yang akan memunculkan sendiri permintaannya. Ronaldo didatangkan dan jersey dipasarkan, Real Madrid pun berhasil menggamit 100 juta euro dari penjualan lebih dari sejuta potong kaus.

Manchester United (MU), AC Milan, atau Barcelona menjelma menjadi merek raksasa di pasar global, menyamai merek-merek industri lain seperti Mercedes-Benz, BMW, Louis Vuitton, atau Gucci. Indomaret, ritel modern yang memegang lisensi penjualan aksesori resmi Piala Dunia di Indonesia, menargetkan penjualan pernak-pernik hajatan bola tersebut hingga Rp 100 miliar. Nilai transfer pemain jauh melebihi transaksi kriya di balai lelang ternama semacam Christie's International, Sotheby's, atau Philips de Pury.

Sejak Desember 2009, Adidas berhasil meraup jutaan euro lewat penjualan Jabulani, bola resmi Piala Dunia 2010. Real Madrid menambang USD 29 juta per tahun dari renegosiasi kontrak dengan raksasa judi online Bwin hingga 2013.

Menjalankan bisnis sepak bola tak ubahnya seperti menakhodai korporasi raksasa: perlu belanja modal (capital expenditure) yang tak sedikit. Real Madrid berutang USD 192 juta kepada Banco Santander dan Caja Madrid untuk mendanai ekspansi mereka. Tapi, dari pasar, bisnis Real Madrid juga berhasil mengangkasa hingga meraup USD 541 juta pada musim 2008-2009.

Awal 2009 harga perumahan di Inggris versi operator perumahan terbesar, Rightmove, merosot 1,9 persen atau rerata USD 317 ribu. Khusus di London, harga rumah limbung 1,3 persen. Tapi, meski hidup di bawah langit yang sama, hidup kerap memberikan jalan nasib yang berbeda: gaji Frank Lampard, Steven Gerrard, atau Wayne Rooney tak pernah melorot.

Industrialisasi sepak bola semacam ini membuat segelintir orang khawatir. Presiden UEFA Michael Platini masygul dengan konsep sepak bola yang melulu berorientasi bisnis. Dia mengkritik Real Madrid yang mengeluarkan triliunan rupiah hanya untuk transfer pemain. Dia menguliti sepak bola Inggris yang diisi seliweran pemodal kakap.

''Ada klub-klub yang presidennya, pelatihnya, para pemainnya bukan warga dari negara asal klub itu. Satu-satunya yang punya identitas adalah para suporter,'' keluh Platini.

Stimulus Ekonomi

Tapi, pasar juga tak selamanya buruk. Kapitalisme sepak bola boleh dihujat, tapi di matra itu pula kapitalisme memberikan ruang bagi manusia untuk berimajinasi: tempik sorak menyambut selebrasi Lionel Messi, decak kagum melihat Gianluigi Buffon terbang bak elang menyelamatkan gawang. Sepak bola membawa kebahagiaan, dan ini bukan hal sepele dalam perekonomian.

Dalam Job Satisfaction: Application, Assessment, Cause, and Consequences (1997, dalam Berument, dkk, 2006)), Spector dengan tekun menguraikan dampak kebahagiaan warga terhadap hasil kerja mereka. Warga yang puas dengan faktor eksternal kehidupannya ternyata bisa lebih produktif.

Kebahagiaan (happiness) adalah variabel penting dalam bisnis yang telah terindustrialisasi secara masif seperti sepak bola. Itu kunci sebuah ekonomi-industri, terutama berkaitan dengan psikologi industri. Efek kebahagiaan dalam sepak bola (tempik sorak karena gol, decak kagum tendangan pisang) telah menjelma lebih dahsyat menjadi stimulus ekonomi yang tak bisa diremehkan.

Jutaan suporter bisa bangun pagi dengan lebih bergairah setelah klub pujaannya berhasil memenangkan laga pada hari sebelumnya. Semangat para pekerja lebih membuncah. Bar dan resto penuh sesak. Perekonomian bergeliat, produktivitas terangkat. Ketika sepak bola membawa kebahagiaan, para pencintanya akan lebih bersemangat menjalani hari dan mengejar mimpi.

Hakan Berument, Onur Ince, dan Eray M. Yucel -ketiganya dari Bilkent University, Turki- melakukan kajian empiris yang tekun dan benderang, Success in Soccer and Economic Performance: Evidence from Besiktas-Turkey (2006). Aspek kebahagiaan (happiness) suporter Besiktas dan rakyat Turki melambari riset ini. Mereka melakukan riset dengan memadukan data pertumbuhan industri dari BPS Turki dan Bank Sentral Turki dengan kronik pertandingan Besiktas dari UEFA sepanjang 1992-2002.

Dengan analisis regresi sedemikian rupa, hasil riset menunjukkan, kemenangan Besiktas di kancah Eropa membuat produksi industri pada bulan tersebut terkerek 0,15 persen. Kemenangan di kancah Eropa jauh lebih menggairahkan produksi industri daripada kemenangan di laga domestik. Itu memberi sinyal bahwa sepak bola membawa rakyat Turki (baik pendukung Besiktas maupun yang tidak) ke dekapan kebahagiaan, yang muaranya mengerek produktivitas ekonomi.

Kajian Simon Chadwick dari Coventry University, Inggris, menunjukkan bahwa final Liga Champions di Madrid Mei 2010 mendatangkan duit bagi kawasan Eropa tak kurang dari 351,5 juta euro. Sebesar 50 juta euro di antaranya terdistribusi di Spanyol.

Ihwal ekonomi ini semestinya memantik kesadaran kita tentang dampak luas sepak bola. Di Indonesia sepak bola bisa didesain lebih sempurna untuk memberikan efek yang lebih berarti bagi orang ramai ketimbang hanya berisi silang pandang antarsuporter dan jerat mafia yang kelewat rumit.

Banyak orang, memang, yang berharap-harap cemas agar sepak bola tak kian dibekap kepentingan ekonomi. Sepak bola dirindukan sebagai megakarya yang puitis -ada etos dan kebanggaan di dalamnya-bukan melulu berisi perhitungan ekonomi dan hukum pasar.

Tapi, sepak bola butuh gemuruh agar pasar tetap bergairah. Sensasi perselingkuhan, gosip perceraian, dan gaya rambut pemain pujaan adalah kesatuan ekonomi yang mutlak berpadu dengan etos di lapangan dan adu otot antarbintang. Justru di situlah gerak ekonomi menabalkan sepak bola sebagai pertunjukan yang tak bisa lepas dari drama. Sentuhan ekonomi membiakkan kecemasan, tapi sekaligus memukau dan menawarkan harapan. (*)

*) Mohammad Eri Irawan , mencintai sepak bola, mendalami ilmu ekonomi

No comments: