04 May 2010

Story of Z

Untuk mereka yang merayakan Hari Buruh Internasional dan Hari Kemerdekaan Pers Se-dunia, biarlah saya bawakan cerita ini. Cerita tentang seorang wartawan bernama Z.

"Ayah, saya kelak akan menjadi wartawan." Z mengatakannya suatu hari dengan nada yakin kepada ayah dan ibunya. Z, dia aktivis pers mahasiswa. Ia sudah duduk di semester enam kuliah, dan sang ibu memintanya menjadi pegawai negeri saja setelah lulus.

Sang ayah mendengarkan pernyataan itu, dan pada akhirnya setuju. "Dulu waktu kamu masih sekolah dasar, ibu gurumu pernah bercerita, bahwa kamu di ruang kelas berkata ingin mendapat Pulitzer," katanya dengan nada arif. Pulitzer adalah nama penghargaan bagi jurnalis di Amerika Serikat.

Z lulus kuliah, dan diterima bekerja di sebuah koran harian lokal. Gaji pokoknya Rp 250 ribu per bulan. Jika cukup bekerja keras dalam mencari berita, ia bisa mendapat insentif tambahan dan membawa pulang uang Rp 400-450 ribu per bulan. Tak ada asuransi kesehatan, dan karenanya ia harus berupaya keras tak jatuh sakit.

Sang paman, tempat Z tinggal selama masa kuliah, tertawa mendengar gaji yang kecil itu. "Ah, Rp 250 ribu buat apa? Lebih baik kamu ikut saya." Sang paman adalah seorang bankir yang makmur.

Namun, bagi Z, gaji bukan hal utama. Ia bekerja sebagai wartawan, karena ia merasa ini tak ubahnya meneruskan hobinya di masa kuliah. Ia menyukai dunia jurnalisme, karena di situ ia bertemu banyak orang, menulis tentang banyak hal, dan bermimpi bisa mengubah dunia dengan tulisan: bermimpi seperti Bob Woodward dan Carl Bernstein, duet wartawan muda The Washington Post yang berhasil membongkar skandal Watergate.

Z menampik menjadi pegawai kantoran, karena merasa hidupnya akan terkungkung dalam sebuah ruangan. Selama delapan jam per hari menatap angka-angka, bertemu orang-orang itu saja. Ia takut mati bosan, dan lebih dari itu tak ingin melakukan pekerjaan yang tidak disukainya. Z memang akhirnya menulis tentang banyak hal, menulis tentang hal-hal yang kadang dianggap remeh, tentang orang-orang kecil: nelayan, seniman tepi jalan, penjual alat-alat bantu seks. Menatah kata dengan rasa percaya, bahwa sejarah tak selamanya milik orang besar.

Tapi industri jurnalisme tak sesederhana yang dipikirkan Z. Ia harus cepat belajar: bahwa di sini, ia hanyalah bagian dari sekrup roda besar industri pers. Sehebat apapun kemampuannya, ia bukan apa-apa dan harus siap digantikan dengan sekrup yang lain jika 'rusak'. 'Rusak' di sini bisa berarti banyak hal dan tak selamanya terkait pelanggaran etika profesi, tapi juga berarti ketidakpatuhan terhadap kebijakan perusahaan yang tak bijak sekalipun.

Kebebasan pers hanya berlaku jika tak bersentuhan dengan kepentingan petinggi media dan para pemiliknya. Sebagaimana kata Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent, perusahaan media menciptakan saringan-saringan untuk mendefiniskan realitas: kepemilikan media massa; ketergantungan informasi pada kelompok-kelompok kepentingan tertentu seperti pemerintah, dunia bisnis, dan pakar; iklan sebagai sumber pemasukan utama media; flak atau represi terhadap media massa melalui hukum, atau regulasi yang tak menguntungkan; penciptaan stigma sebagai alat pengendali (kalau dulu komunisme, sekarang radikalisme dan radikalisme Islam).

Z keras kepala, atau mungkin juga naif. Bersama beberapa kawannya, ia memberontak terhadap kebijakan bos kantor yang tak populer. Perlawanan yang mudah dipadamkan, karena tak semua orang siap kehilangan pekerjaan karena perlawanan itu.

Di lapangan, Z bekerja tanpa memerhatikan saringan-saringan yang diutarakan Chomsky. Ia meliput dan menulis berita tentang penyimpangan kekuasaan. Jenis-jenis berita yang menyinggung pemerintah lokal yang menjadi pemasok iklan terbesar bagi koran tempatnya bekerja. Lebih tepat lagi, ia menulis berita yang menyinggung kepala pemerintahan lokal yang kebetulan berteman dekat dengan pemimpin koran.

Dengan geram, Si Bos membuang Z ke area liputan lain yang jauh dari urusan politik pemerintahan lokal. Terakhir, Z harus berhenti dari pekerjaan yang dicintainya. Tak ada serikat pekerja yang membelanya, dan ia melangkah keluar dari kantornya dengan gaji terakhir Rp 270 ribu. Tanpa pesangon.

Z menolak untuk menyerah. "Orang yang memiliki kemampuan tak akan bisa dibunuh," Z meyakini diktum yang diperolehnya dari salah satu aktivis mahasiswa tua di kampusnya.

Z diterima di perusahaan koran lain yang lebih besar, yang baru saja didirikan. Gaji yang diterimanya lebih baik daripada tempat kerja pertama. Namun, perusahaan koran itu dihantam konflik internal berkali-kali sebelum akhirnya gulung tikar. Z kembali kehilangan pekerjaan, setelah selama beberapa bulan tak menerima gaji.

"Berapa tabungan kita? Kita sementara hidup dari tabungan kita yang tak seberapa," kata Z kepada istrinya, seorang perempuan sederhana yang tak menuntut banyak.

Sebuah koran lain yang juga relatif baru kemudian menerima Z bekerja. Z senang bekerja di sana, karena koran itu dipimpin oleh seorang seniornya di dunia aktivis kampus. Hasil reportasenya dipuji oleh editornya. Namun itu tak cukup menyelamatkannya kali ini. Ia dianggap tak cukup cakap mencari iklan untuk koran tempatnya bekerja. Z pada akhirnya diberhentikan diam-diam, dan baru tahu sebulan kemudian.

Hari ini, sewindu sudah Z bekerja sebagai reporter. Gajinya masih tak besar, terpaut hanya Rp 200 ribu dari upah minimum pokok di kotanya. Ia tinggal bersama istri dan anak-anaknya.

Dan ia beruntung, tak ada yang berubah dari dirinya. Ia masih seperti apa yang yang pernah ditulis Goenawan Mohamad untuk Woodward dan Bernstein: tergoda oleh pertanyaan-pertanyaan, tergerak oleh rasa ingin tahu, dan terlecut oleh tugas menulis berita. Terkadang berbuat salah, terkadang bimbang, terlampau bersemangat, atau bahkan mungkin ketakutan.

Di atas semua itu, Z menyadari: dalam jurnalisme, di ruang redaksi yang sibuk dan diburu tenggat, pada akhirnya kita memang harus sendiri. Mencatat fakta demi fakta dalam sunyi, sembari terus-menerus berikhtiar melawan godaan. [wir]

No comments: