25 May 2010

Suatu Hari dalam Hidup Sugiran

Suatu hari dalam hidup Sugiran. Serombongan anak Sekolah Dasar Muhammadiyah I menemuinya di tengah sengatan bau gunungan sampah, di bawah terik matahari. Anak-anak itu datang bersama guru-guru mereka. Sebuah studi lapang kecil-kecilan.

Sugiran meletakkan satu keranjang rotan berisi sampah yang tadi disunggi atas kepalanya. Ia pilah-pilah plastik dari tumpukan sampah yang dibawanya. Hanya plastik yang dibutuhkannya: tas plastik, botol plastik, gelas-gelas plastik.

"Tidak bau, Pak?" tanya salah satu dari anak-anak itu.

"Bapak tinggal di mana?" tanya yang lainnya.

"Sudah berapa lama kerja ini?"

Sugiran tersenyum. Ia menghentikan sejenak pekerjaannya, dan duduk berjongkok, melayani pertanyaan anak-anak itu. "Ya bau. Saya sudah empat tahun bekerja di sini. Saya punya anak, dua, berkeluarga semua."

Hari ini, Selasa (25/5/2010), hari yang lain dalam hidup Sugiran di tempat pembuangan akhir (TPA) Kecamatan Pakusari. Bersama istrinya, ia menghabiskan hari-harinya memunguti sampah-sampah plastik dan menjualnya kembali. Jika beruntung, bersama istrinya, Arsiyah, ia bisa mengumpulkan uang lima ribu perak. Satu kilogram plastik hanya dihargai tiga ratus perak.

Hanya lima ribu perak? Anak-anak SD itu terheran-heran. Uang saku mereka tak jauh dari jumlah itu. Anak-anak itu bertanya kepada Sugiran, cukupkah uang sebesar itu untuk makan. Bagi Sugiran, ini hanya hari yang lain dari hidupnya: tentu saja cukup, atau mungkin dicukup-cukupkan.

Usia Sugiran sudah 58 tahun. Tak banyak lagi yang diperlukannya dalam hidup, dan ia tak pernah merasa sesehat ini. Empat tahun bekerja sebagai pemulung dan pengolah sampah, hanya sakit flu yang menghantamnya. Ia punya sakit gejala ginjal, tapi sampai saat ini tak pernah kambuh.

Bau busuk amonia timbunan sampah memiliki efek penyembuh? Entahlah. Namun, bagi Sugiran, bau busuk bukan hal yang perlu digelisahkan. Sepucuk undangan resepsi dan akad pernikahan dari tetangga atau sanak kerabat yang perlu dicemaskan. Karena dengan begitu, ia harus menyisihkan uang hasil kerjanya sejak pukul lima pagi hingga dua siang, untuk membeli bingkisan ala kadarnya, atau sekadar menyelipkan amplop.

Seorang bocah SD bertanya tentang anak-anak Sugiran: tidakkah mereka memberikan uang untuk Sugiran. Sugiran tersenyum lagi mendengar tanya itu. "Saya masih bisa bekerja sendiri."

Tatik Heryati, putri sulungnya, kini tinggal di Sumenep, dan bekerja di perusahaan telekomunikasi negara. Dia punya anak tiga, kata Sugiran. Totok Wiranto, anak bungsunya, tinggal satu desa dengannya di Sumber Pinang Kecamatan Pakusari.

Tatik, kata Sugiran, pernah menawari dirinya dan sang istri tinggal bersama. Jika hidup berawal dari usia yang ditakdirkan dan terus berkurang hingga ketiadaan, maka tak seharusnya Sugiran menempuh 'titik nol' itu dalam hari-hari yang sibuk di salah satu sutu kota Jember yang sunyi dan bau.

Namun, Sugiran menampik. Ia tak mau menyerah. Ia tak mau merepotkan. Malu, kata Sugiran. Tatik setiap bulan membantunya, mengirimkan uang. Namun, Sugiran tahu, Tatik membutuhkan uang lebih banyak untuk tiga anak yang sedang tumbuh.

Hari sudah siang. Bocah-bocah itu mohon pamit. Sugiran berdiri. Ia Tersenyum senang, melihat bocah-bocah itu berlari menjauh, mengikuti perintah guru mereka.

Suatu hari dalam hidup Sugiran. Ini hari yang lain untuk memunguti sampah-sampah plastik itu. Tapi ini hari yang berbeda bagi bocah-bocah itu. Kini mereka tahu bahwa di bawah satu biru langit yang sama, hidup sering kali berbeda. [wir]

No comments: