08 January 2009

Kisah di Balik Tragedi Antrokan

Dengan ocehan polos khas remaja, Rizka Amalia mendesak Fitriana untuk pelesir ke air terjun kecil di kawasan Sumberlangon Kelurahan Slawu Kecamatan Patrang.

"Pemandangannya bagus. Ada huruf S, muter-muter katanya," kata Fitriana mengenang perkataan Rizka. Rizka memang sudah terbiasa ke Antrokan (air terjun kecil) itu bersama Hendrik, pacarnya.

Fitriana dan Rizka adalah kawan satu sekolah di SMP Nurul Islam. SMP ini di bawah pembinaan Pondok Pesantren Nurul Islam, milik Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Muhyiddin Abdussomad.

Fitriana sebenarnya enggan menerima ajakan Rizka. Ada perasaan kuat yang membuatnya tak ingin pergi. Sang ibu, Sani, juga sudah melarangnya. Tapi ia tak bisa menampik bujukan Rizka. Berangkatlah Fitriana bersama lima kawan sekolahnya: Rizka, Siti Vera, Mega Susantri, Faridatul Mutmainah, dan Hesti Silvia.

Mereka ditemani Misbahul Gofar, Fendik, Hendrik, dan Tris. Ali, remaja yang tinggal di sekitar air terjun, menjadi penunjuk jalan.

Rabu (7/1/2009) adalah hari yang tepat untuk bersenang-senang sebenarnya. Mereka baru saja menyelesaikan ujian matematika yang bikin pusing kepala.

Namun, setiba di lokasi air terjun sekitar pukul 14.00, perasaan Fitria semakin tak enak. Ia ketakutan. Cuaca mendung.

"Aku udah ngajak pulang, takut," kata Fitriana, menceritakan peristiwa Rabu kelabu itu kepada beritajatim.com, di rumahnya di Jalan Slamet Riyadi, Kamis (8/1/2009).

Apa yang membuat Fitriana takut?


Rizka & Mega Menggoda Soal Bakal Ada yang Mati

Fitriana tumbuh besar di tengah kultur masyarakat yang mempercayai bahwa mimpi punya makna. Sebelum ia plesir ke air terjun Sumberlangon, sahabat baiknya, Siti Vera, punya mimpi aneh.

Vera bermimpi bagian poni di rambutnya dipangkas. Rizka Amalia dan Mega Susantri menggoda Vera. "Kalau mimpi rambutnya dipotong, katanya bakal ada yang mati."

Vera meminta Mega benar-benar memangkas rambut poninya. Mimpi tinggal mimpi. Enam sekawan tetap bertamasya ke air terjun itu.

Fitriana berangkat ke lokasi dengan membonceng sepeda motor Gofar. Namun ia menolak jika disebut berpacaran dengan Gofar. "Cuma teman akrab," katanya kepada beritajatim.com, saat menceritakan kembali peristiwa tersebut.

Fitriana mencoba mengebas rasa takutnya, saat sebelas remaja itu sudah tiba di lokasi air terjun. Namun, ia memilih tak ikut mandi, menikmati guyuran air. Bersama Gofar, Hesti, dan Mega, ia memilih duduk-duduk di batu besar, memperhatikan kawan-kawannya yang lain bermain air.

Hujan rintik-rintik. Aliran air terjun dan air sungai tidak deras.


Air Terjun Mendadak Bak Air Bah Berwarna Coklat

Waktu serasa berjalan cepat, seperti kelibatan-kelibatan bayangan, saat air terjun itu mendadak menumpahkan air lebih deras. Warnanya coklat.

Jeritan. Teriakan.

Tolong.

Tolong.

Panik. Takut. Ngeri. Kematian ada di depan mata.

Air terjun dan sungai yang tadinya jernih dan segar, mendadak berubah. Hujan gerimis. Namun air terjun dan sungai seperti mengamuk.

Air bercampur lumpur menggerojok cepat dan keras. Fitriana menyaksikan beberapa gelondongan kayu ikut meluncur bersama air terjun dari bagian tebing.

Mereka yang tadinya berenang dan bermain air langsung terbandang air. Fendik berteriak-teriak meminta bantuan kepada Gofar. Namun Gofar juga tak berdaya menghadapi air bah. Dalam 24 jam ke depan, keduanya ditemukan dalam keadaan tak bernyawa, sekitar 10 kilometer dari air terjun.

Fitriana berupaya menyelamatkan diri. Ia sudah tak memikirkan kawan-kawannya yang lain. Ia melihat kawan-kawannya ada yang berpegangan di bebatuan di balik air terjun.

Faridatul Mutmainah berteriak minta tolong kepada Vera. Vera tak berdaya.

Dengan wajah panik, Rizka bisa mendekati Fitriana yang mencoba bertahan di sebuah batu besar. "Pacar aku ke mana?" Rizka menanyakan nasib Hendrik kepada Fitriana.

"Aku nggak tahu, aku nggak ngurusi pacarmu."

"Fit, aku mau jatuh."

Rizka memegang erat tubuh Fitriana. Tangan Fitriana terlalu lemah berpegangan di batu yang licin, dan keduanya terlempar ke sungai.

Keduanya hanyut. Ada pohon. Fitriana sempat berpegangan kuat-kuat. Rizka terbawa air.

Lalu sunyi. Hanya suara air.


Fitriana Tertekan, Didatangi 2 Sahabatnya yang Mati


Saya melihat Fitriana pertama kali di salah satu rumah warga di Sumberlangon Kelurahan Slawu Kecamatan Patrang, Rabu petang (7/1/2009). Bersama Siti Vera, ia baru saja diselamatkan oleh warga.

Tubuh mereka menggigil. Sebuah selimut besar dan tebal dirapatkan ke tubuh mereka. Namun keduanya tetap menggigil. Polisi kesulitan meminta keduanya agar mau datang ke kantor kepolisian sektor Patrang untuk dimintai keterangan.

Fitriana tak ingat siapa yang menolongnya. Ia hanya ingat ada seorang yang bersarung menghampirinya.

Kamis siang (8/1/2009), saya menemui Fitriana di rumahnya di Jalan Slamet Riyadi. Saya tidak melihat ada kesedihan mendalam di wajahnya. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan lancar, dan ditingkahi tawa.

Sebelumnya, saya membayangkan akan bertemu dengan seorang gadis remaja yang enggan berbicara karena trauma. Bagi saya, kehilangan tiga sahabat sekolah bukanlah peristiwa yang mudah dilupakan.

Saya sebenarnya tak sepenuhnya salah. "Aku masih trauma, stres mikiri itu. Kapok banget," kata Fitriana.

Fitriana sulit tidur setelah kejadian itu. Ia berkali-kali terjaga. Mimpi buruk.

"Aku didatengi hantunya anak-anak. Didatangi Mega sama Rizka."

Dalam mimpinya itu, Rizka berkata kepada Fitriana: "Fit, koen kok tego ninggalin aku, dilepas tanganku."

Mega mengatakan kepada Fitriana, jika takut sendirian di sana. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan di sana. "Aku disuruh nemenin. Mega bilang, kalau dua cowok (kawan mereka) ada di sawah, tidak tahu jalan," kata Fitriana.

Fitriana bercerita kepada saya tentang mimpinya semalam sekitar pukul 10.30 pagi. Pukul 14.00, Misbahul Gofar dan Fendik ditemukan dalam keadaan tak bernyawa di sungai di wilayah kecamatan Ajung.

"Aku takut banget sama Mega, karena disuruh nemenin. Aku paling akrab memang sama Mega."

Fitriana tak tahu kapan akan kembali ke sekolah. Ia memilih beristirahat dulu. Saya pamit, saat kawan-kawan sekolahnya mulai berdatangan untuk menjenguknya.


Dua Korban Selamat Dipecat

Dua orang korban tragedi air terjun Antrokan yang selamat, Fitriana dan Siti Vera, dikeluarkan dari SMP Nurul Islam. Tidak jelas alasan sekolah mengeluarkan keduanya.

Tragedi Antrokan memakan korban jiwa 6 pelajar yang asyik bermain di sana, Rabu (7/1/2009). Sebagian besar korban adalah siswi SMP Nurul Islam, sebuah sekolah milik Yayasan Nurul Islam yang dibina oleh KH Muhyiddin Abdussomad, Ketua Pengurus Cabang NU Jember.

Fitriana sempat mengalami trauma akibat kehilangan empat kawannya. Namun belum lagi trauma itu hilang sepenuhnya, dia mendapat kabar tak boleh lagi bersekolah di Nurul Islam. "Tahunya dari Pak Adi (Adi Purwanto, salah satu guru) kalau dikeluarkan dari sekolah," kata Fitriana, yang tengah sakit saat diwawancarai beritajatim.com, Senin (19/1/2009).

"Begitu tahu dikeluarkan saya nangis. Saya nggak terima. Saya maunya sekolah," kata Fitriana.

Fitriana dan orang tuanya tidak tahu alasan tindakan sekolah itu. Keluarga Fitriana tidak pernah menerima selembar suratpun mengenai keputusan sekolah itu. Bahkan, rapor Fitriana belum diterima.

"Kata Pak Adi, disuruh nunggu. Nunggu lama, lalu kata Pak Adi rapornya mau diantarkan sendiri. Tapi Pak Adi belum ke sini," kata Juwariyah, kakak Fitriana.

Eni Suhartini, wali kelas III A, mengatakan, sekolah sudah tidak mampu dan kedua siswa itu dikembalikan kepada orang tua masing-masing. "Saya tidak berani komentar," katanya, mempersilakan beritajatim.com bertanya kepada Kepala SMP Nurul Islam.

Fitriana mendengar Adi Purwanto tengah mengupayakan dirinya dan Vera bersekolah di SMP Muhammadiyah, setelah dikeluarkan dari SMP Nurul Islam.

Adi pula yang membela Fitriana dan Vera agar tak dikeluarkan dari sekolah. "Pak Adi tidak terima (saya dikeluarkan), akhirnya juga mengundurkan diri," katanya.

Kepala SMP Nurul Islam Samak merasa tidak pernah menandatangani surat drop out (sanksi keluar dari sekolah) untuk dua siswi korban tragedi air terjun Antrokan, Fitriana dan Siti Vera.

Saat diwawancarai beritajatim.com, Samak tidak bisa menutupi kecemasannya. "Aduh, maaf, saya grogi, soalnya tidak pernah diwawancarai begini," katanya saat ditemui di rumahnya, Senin (19/1/2009).

Beberapa kali Samak menghela napas panjang, dan memandang menerawang. "Saya tidak tahu soal kedua anak itu. Sudah ada yang ngurusi, yaitu Pak Adi Purwanto (wakil bidang kesiswaan)," katanya.

Dari Adi Purwanto, Samak diberitahu, bahwa kedua siswa tersebut akan dipindah ke SMP Muhammadiyah. "Alasannya permintaan orang tua. Yang saya tanda tangani surat mutasi ke SMP Muhammadiyah," katanya.

Pernyataan Samak bertentangan dengan pernyataan keluarga Fitriana. Keluarga Fitriana tidak pernah minta sang anak pindah sekolah. Apalagi, beberapa bulan mendatang, Fitriana harus menghadapi ujian nasional.

"Orang tua mereka memang tidak pernah menghadap saya. Saya hanya percaya ke Pak Adi Purwanto," kata Samak yang membenarkan bahwa tidak ada permohonan resmi dari orang tua Fitriana untuk pindah sekolah.

Mengenai Adi Purwanto yang mengundurkan diri dari SMP Nurul Islam karena membela Fitriana dan Vera agar tak dikeluarkan, Samak mengaku tak tahu. "Itu urusan Yayasan (Nurul Islam)," jelasnya.

Adi Purwanto, guru SMP Nurul Islam yang dikabarkan keluar dari sekolah karena membela hak dua siswi korban air terjun Antrokan, memilih bungkam.

"Saya tidak berani berkomentar. Saya memikirkan nasib dua anak ini," kata Adi kepada beritajatim.com, Senin (19/1/2009).

Dua orang korban tragedi air terjun Antrokan yang selamat, Fitriana dan Siti Vera, dikeluarkan dari SMP Nurul Islam. Tidak jelas alasan sekolah mengeluarkan keduanya.

Tragedi Antrokan memakan korban jiwa 6 pelajar yang asyik bermain di sana, Rabu (7/1/2009). Sebagian besar korban adalah siswi SMP Nurul Islam, sebuah sekolah milik Yayasan Nurul Islam yang dibina oleh KH Muhyiddin Abdussomad, Ketua Pengurus Cabang NU Jember.

Berkali-kali didesak, Adi tetap bungkam. "Apa Anda bisa menjamin saya," katanya. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan menjamin.

Komisi D Bidang Pendidikan DPRD Jember menyayangkan dikeluarkannya dua korban tragedi Antrokan dari sekolah. Anggota Dewan meminta agar sekolah mau menerima kedua siswa itu lagi.

Sebagaimana diberitakan, dua siswa korban tragedi air terjun Antrokan, Fitriana dan Siti Vera, dikeluarkan (drop out atau DO) dari SMP Nurul Islam. Tidak jelas alasan mereka dikeluarkan. Padahal keduanya dalam beberapa bulan mendatang harus menghadapi ujian nasional.

Ketua Komisi D Miftahul Ulum mengatakan, sekolah tidak bisa semena-mena mengeluarkan siswa. "Harus ada kesepakatan-kesepakatan antar elemen di lembaga sekolah itu," jelasnya, Selasa (20/1/2009).

Ulum mengingatkan, mengeluarkan siswa dari sekolah harus ada alasan yang pantas. Jika siswa tersebut nakal, sekolah semestinya membimbing dan membina. "Kita imbau lembaga bersangkutan meninjau ulang keputusannya. Apalagi mereka kelas tiga," katanya.

Akhirnya terungkap siapa di balik pemecatan dua korban tragedi Antrokan yang selamat dari SMP Nurul Islam. Menurut keterangan orang tua siswa, inisiatif berasal dari pembina sekolah yakni KH Muhyiddin Abdussomad.

"Kepala sekolah sebenarnya tidak ingin mengeluarkan Siti Vera dan Fitriana," kata Adi Purwanto, guru SMP Nurul Islam yang berani mengundurkan diri untuk membela dua siswanya agar tak dikeluarkan.

Imam Syafi'i, ayah Siti Vera, bercerita, setelah peristiwa Antrokan yang menewaskan enam remaja itu, dia dipanggil ke rumah Muhyiddin Abdussomad. Dia ke sana bersama seorang adik dan kakak Fitriana.

"Menurut Pak Kiai, 'anaknya sudah ndak bisa sekolah lagi di sini. Bawa ke Bali saja. Kalau di sini ndak ada yang jaga'," kata Imam menirukan perkataan Muhyiddin.

Imam ngotot minta agar anaknya tetap sekolah di SMP Nurul Islam. Apalagi sang anak sudah duduk di bangku kelas tiga dan sebentar lagi menjalani ujian nasional.

Namun, Muhyiddin yang sehari-hari dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam dan Ketua Pengurus Cabang NU Jember ini tetap menolak. Alasannya, keluarga siswa korban meninggal tragedi Antrokan menyalahkan Vera dan Fitriana.

"Kalau sampai Vera sekolah di sana lagi, dia akan diumet-umet (diperlakukan kasar) oleh keluarga," kata Imam.

Adi membenarkan, bahwa Fitriana dan Vera dianggap telah mencoreng nama baik sekolah. Apalagi ada isu bahwa keduanya juga melakukan hal yang tak bermoral saat di Antrokan.

"Padahal berdasar data yang saya kumpulkan dari masyarakat sana tidak demikian. Kesan yang saya tangkap, mereka murni ke Antrokan untuk tahu saja," kata Adi.

Merasa dua siswanya diperlakukan tidak adil, Adi pun mengundurkan diri. Suara hatinya prihatin dengan apa yang dialami siswa-siswa ini.

Muhyiddin Abdussomad belum bisa dihubungi via ponsel. SMS dari beritajatim.com pun tak dijawab.


Setelah Dipecat, Dua Siswa Selamat Akhirnya Bisa Sekolah

Fitriana dan Siti Vera, dua korban selamat dalam tragedi air terjun Antrokan yang memakan korban enam jiwa remaja, 4 di antaranya siswi SMP Nurul Islam, akhirnya bisa kembali bersekolah di SMP Muhammadiyah 1. Pasca kejadian, mereka dikeluarkan dari SMP Nurul Islam, tempat mereka belajar selama tiga tahun.

Ditemui di ruang guru SMP Muhammadiyah 1 Jember, Jumat (30/1/2009), wajah mereka tak muram lagi. Dengan berjilbab, keduanya terlihat manis. Saat ditanya soal perasaan saat ini, mereka hanya tersipu malu.

"Saya berterima kasih kepada SMP Muhammadiyah 1 dan Pak Ghafur (Ketua Komisi A DPRD Jember Abdul Ghafur). Saya lega, akhirnya dua anak ini bisa bersekolah kembali," kata Adi Purwanto, mantan guru SMP Nurul Islam.

Adi Purwanto mengundurkan diri dari SMP Nurul Islam setelah kedua siswanya itu dikeluarkan dari sekolah secara semena-mena. Sebagai guru, dirinya sudah cukup terpukul dengan meninggalnya empat anak didiknya karena terbandang air terjun Antrokan, Rabu (7/1/2009). Begitu mengetahui bahwa dua siswi yang selamat dikeluarkan dari sekolah, ia memberontak dan mengundurkan diri.

Jumat ini adalah hari pertama Vera dan Fitriana kembali bersekolah. "Mereka akan kami bina dulu di BK (Bimbingan Konseling), untuk proses adaptasi," kata Kepala SMP Muhammadiyah 1 Edi Kusyono.

SMP Muhammadiyah 1 mau menerima dua siswa tersebut karena pertimbangan kemanusiaan. "Kami ingin membantu mereka. Mereka sudah kelas tiga, dan sebentar lagi ujian nasional. Saya eman (merasa sayang). Tidak ada tendensi lain, selain keinginan memenuhi program wajib belajar sembilan tahun," kata Edi.

Ketua Komisi A DPRD Jember Abdul Ghafur banyak berperan sebagai mediator dengan SMP Muhammadiyah 1. Kebetulan, dia mantan pegawai tata usaha di sekolah itu. "Saya mendapat kabar soal dua anak ini dari Pak Adi Purwanto," katanya.

Ghafur tidak takut jika ada tudingan bahwa dirinya mempolitisasi persoalan dikeluarkannya dua siswa dari SMP Nurul Islam. "Saya hanya menindaklanjuti aspirasi. Justru kalay saya tidak menindaklanjuti, saya salah, dan saya bisa dipanggil Badan Kehormatan DPRD," katanya. [wir/kun]

No comments: