17 March 2010

Bentrok Jadul: Bonek vs Bobotoh Tahun 1990
(Cerita Invasi Terbesar Bonek ke Jakarta)

Dicuplik dari Tempo 17 Maret 1990. Final Divisi Utama Persebaya-Persib 0-2. Persib juara, dan perang suporter antara Bonek dengan bobotoh Bandung terjadi. Bonek datang ke Jakarta dengan ratusan bis dan kereta api. Senayan terbelah antara Bobotoh dan Bonek. seorang pendukung Persebaya mati dalam final tersebut. Ternyata BONEK TERILHAMI SUPORTER CHELSEA... wakakakak... (jamput tenan)... Bagi yang belum lahir atau tak pernah nonton pertandingan itu, selamat membaca.

***

FANATISME daerah, suatu ciri penonton kompetisi perserikatan, sudah mengarah kepada kekerasan. Pada final Kompetisi Djarum Super Divisi Utama Perserikatan, Ahad lalu, perang suporter bahkan lebih seru dari memperebutkan bola di lapangan. Stadion dengan kapasitas sekitar 120 ribu ini dipadati oleh orang yang gila bola dari Jawa Timur maupun Jawa Barat.

Lempar petasan maupun benda-benda keras antar- pendukung Persebaya dan Persib serentak dimulai ketika wasit meniup peluit di lapangan hijau. Sudah tak keruan lagi, siapa yang memulai, siapa yang menyerang, dan siapa yang diserang. Serabutan. Mula-mula, saling ejek lewat spanduk. Lalu, lewat mulut. Ketika ada kesebelasan yang sudah kalah, perang dilanjutkan dengan lempar-melemparkan benda apa saja.

Sekitar 2.000 petugas keamanan yang diterjunkan pada malam itu tak mampu mencegah jatuhnya korban. Ada 23 orang dilarikan ke rumah sakit, ada seorang yang meninggal dunia. Tragis memang, padahal "sama-sama dari Jawa" dan mutu pertandingan "tak cukup punya wibawa".

Arek-arek Suroboyo tampaknya lebih agresif dibandingkan dengan barudak Priangan. Apalagi kesebelasannya kalah. Apalagi spanduk mereka, katanya, diturunkan oleh pendukung Persib. Maka, mereka semakin beringas sembari mengacungkan kepalan tangan ke arah ribuan pendukung Persib. Sebagian dari mereka membongkar kayu tempat duduk untuk menggempur lantai. Pecahan lantai dijadikan "peluru" untuk siap dilemparkan ke arah "lawan".

Dan ketika ada penonton yang dikenali sebagai pendukung Persib nyasar di kubu Persebaya, seseorang berteriak: "Itu orang Bandung, pegang saja. Pegang saja!"

Kedatangan penggemar bola ini ke Senayan tergolong lebih mudah dibandingkan dengan tahun-tahun lalu. Seirama dengan kemajuan teknologi, maka teknik menggiring massa itu ke Senayan semakin canggih saja. Ada koordinatornya.

Pendukung Persebaya bahkan dikoordinatori -- setidak-tidaknya idenya -- oleh Dahlan Iskan, tim manajer Persebaya, yang juga Pemimpin Redaksi harian pagi Jawa Pos. Dahlan mendapat ide itu setelah ia menyaksikan pertandingan bola di Inggris, Desember 1987. Ia terkesan dengan suporter kesebelasan Chelsea yang dilengkapi dengan selendang dan topi.

"Mereka begitu kompak dan terkoordinir. Jadi, tidak ada salahnya jika hal itu saya terapkan kepada pendukung kesebelasan Persebaya," katanya. Ia juga memikirkan julukan apa yang cocok bagi kesebelasan kotanya.

Kalau di Inggris julukannya bagus-bagus, ada Super Blue bagi klub Chelsea dan Setan Merah (Red Devil) bagi Liverpool, Persebaya pun harus punya julukan keren. "Dari situlah, muncul julukan Green Force bagi Persebaya, yang menjuarai divisi utama tahun 1988," tambah Dahlan. Koordinasi yang bagus itu membawa gelombang baru di Senayan. Selain ada selendang dan topi, ada spanduk raksasa sepanjang 50 meter. Juga genderang dan terompet. Bahkan, mercun dan kembang api segala.

Jarak Surabaya-Jakarta yang memakan waktu sekitar 13 jam bukan penghalang. Dan Jawa Pos siap menjadi penyandang dana alias memberi subsidi, terutama untuk transpor. "Sebab, kalau tak ada subsidi, semua bisa jadi koordinator. Lagi pula, ini promosi bagus bagi Jawa Pos," kata Dahlan. Maka, dari Surabaya, diberangkatkan 135 bis menuju Jakarta. Itu berarti dua kali lebih banyak daripada dua tahun silam. Belum termasuk yang naik kereta api dan pesawat terbang.

Pendukung Persib -- kesebelasan yang berlaga di Enam Besar Perserikatan sejak 1983 ini -- juga tidak mau ketinggalan. Apalagi jarak Bandung-Jakarta hanya membutuhkan waktu sekitar tiga jam. Menurut data dari Organisasi Angkutan Daerah (Organda) Jawa Barat, diperkirakan sekitar 300 bis habis dipesan untuk mengangkut pendukung Persib ke Jakarta. Bahkan, sehari sebelum final, tempattempat penjualan tiket bis dan karcis masuk Stadion Senayan sudah habis terjual. "Kami maunya sih memberangkatkan sebanyak-banyaknya, tapi bis yang kami pesan sudah habis. Terpaksa kami juga mengerahkan kendaraan kecil," ujar Wildan Yatim, Pimpinan Siaran PT Radio Ganesha, yang menyediakan sebanyak 350 lembar karcis masuk ke Senayan.

Bagi Radio Ganesha, kegiatan ini merupakan untuk kedua kalinya mengkoordinir suporter dari Bandung. Setiap orang dikenakan biaya sekitar Rp 11.000 -- itu sudah termasuk biaya bis pulang pergi dan karcis masuk. Jika tidak termasuk karcis, penumpang dikenakan biaya hanya Rp 8.000. Di Bandung sendiri, ada sekitar 90 tempat pemberangkatan suporter menuju Jakarta. Tiap panitia ada yang mengkoordinir satu bis sampai 29 bis, ditambah dengan beberapa mobil angkutan umum bukan-bis. Berbeda dengan Jawa Pos, kebanyakan koordinator di Bandung tidak memberikan subsidi kepada pendukung Persib. Bahkan, koordinator ini bisa mendapat untung.

"Wah, saya mah nggak ambil untung, pokoknya, Persib menang kami sudah senang," tutur Edi, koordinator yang mangkal di Stadion Persib. Pihak PJKA juga tidak mau ketinggalan dalam mengirimkan suporter Persib ke Jakarta. Sejak Persib masuk semifinal, PJKA menyediakan kereta api khusus dengan kapasitas 600 penumpang. Dan jumlah itu ditingkatkan menjadi 800 penumpang, begitu Persib masuk final. Biayanya pun relatif lebih murah. Setiap orang dikenakan ongkos hanya sebesar Rp 4.400 pulang pergi. "Kami hanya membantu kepadatan di jalan raya dan kesulitan transportasi," kata Umar, Kepala Stasiun Bandung, kepada TEMPO.

Nah, akhirnya, yang mendapat untung besar adalah PSSI. Penonton membludak, pemasukan membengkak. Rasanya lebih bijaksana kalau penonton yang kepalanya bocor -- apalagi yang meninggal -- mendapat santunan.

Buat sebagian orang, kekalahan Persebaya 0-2 dari Persib di final adalah malapetaka. Sardini Mulyono, 60 tahun, purnawirawan marinir penduduk Ngagel Tama, Surabaya, langsung kena serangan jantung dan tewas begitu gol bunuh diri Subangkit terjadi. Bagi suporter Persebaya, yang datang dengan 135 bis khusus ke Senayan, kemasukan ini juga mengagetkan dan bikin kecut. "Kalah tak apa, asal ngelawan, lha, ini kok pasrah," ujar Zaini, asal Sidoarjo.

Suporter Persebaya datang dari berbagai kota di Jawa Timur, tak cuma dari Kota Pahlawan. Lihat saja dari spanduk-spanduk raksasa yang mereka bawa. "Putra Madura dari Pulau Garam Cucu Sakerah, Pendamping Setia Persebaya". Atau satu lagi: "Branjang Kawat, Balung Besi, Ayo Rek Padamkan Lautan Api". Dan di sekitar spanduk itu, mereka membakar kembang api.

Namun, apa yang bisa disajikan Persebaya bukanlah semangat tulang besi, malah tulang kawat yang gampang loyo. Menko Polkam Sudomo, yang sebelum pertandingan menjagokan Persebaya, kelihatan kecewa. "Saya tidak puas. Ternyata Persebaya main di bawah form, terutama barisan pertahanan dan kiper Putu Yasa," ujar Sudomo, yang menyerahkan Piala Presiden pada Persib Bandung.

Apa pun alasan kalahnya Persebaya, pengamat Kadir Yusuf menilai Persib satu kelas di atasnya. "Penyebaran pemain mereka bagus sekali. Di mana pun bola dikirim, selalu ada orang," ujar Kadir. Gol kedua Persib yang dicetak Dede Rosadi di menit ke-60 merupakan contoh mulusnya kerja sama di barisan depan. Sinyo Aliandoe, bekas pelatih tim nasional, melihat hidupnya blok kiri dan kanan Persib, juga permainan bola-bola pendeknya. "Saya senang melihat gaya Persib. Seharusnya, begitulah sepak bola Indonesia dimainkan," kata bekas pelatih Arema Malang dan Arseto Solo ini. (*)

No comments: