15 March 2010

Jangan Bunuh Teroris

Di bawah langit Pamulang, Dulmatin dan dua orang pengawalnya tewas dihantam pelor. Dari Aceh, televisi menghadirkan baku tembak ala Hollywood, dan mayat bergelimpangan: perang melawan teror hadir di ruang keluarga. Perang memang memang menghadirkan kematian. Tapi saat kematian bukan lagi batas, seberapa pentingkah bagi kita untuk membunuh seorang tukang teror? Apa yang kita peroleh?

Saya tidak tahu. Tapi, mungkin, sudah saatnya kita tidak menjadikan kematian sebagai tanda kemenangan terhadap para teroris yang mengibarkan agama sebagai panji dan dalih. Kematian pada akhirnya hanya melahirkan absurditas: apakah dengan membunuh para teroris itu, kehidupan menjadi lebih aman sentosa.

Pata teroris ini tak mengenal tapal batas. Mereka menebarkan rasa was-was, meledakkan bom di sana-sini, karena mereka tahu bagi kita kematian serasa mengerikan. Mereka tidak bisa menghancurkan semua gedung, dan membunuh kita semua. Namun satu ledakan bom berdaya ledak rendah dan menewaskan belasan orang, sudah cukup memunculkan kengerian dan peringatan: bahwa tiada ampun bagi mereka yang menjadi musuh Tuhan.

Para teroris itu berhasil, karena telah membuat kita memikirkan kembali apa yang kita harapkan untuk bisa disangkal, yakni kematian. Kita mencemaskan kematian, karena menganggap kehidupan lebih bernilai. Oleh karenanya kematian adalah bendera kemenangan bagi para teroris itu, bukan panji kekalahan.

Tak seperti kehidupan, kematian memiliki epos dan nilai-nilai heroik sendiri bagi para teroris. Setiap kematian seorang teroris, mereka sebut sebagai kematian seorang mujahid, kematian pembela Tuhan. Dan setiap epos selalu memunculkan hal-hal yang mitis: mayat teroris yang tersenyum, jasad berbalut kafan yang menebar wangi, para bidadari yang menanti di gerbang surga, dan teriakan-teriakan takbir penuh semangat. Kematian dengan jalan ini lebih menarik, karena hanya mengandung satu kemungkinan bagi mereka: selesai di sini, sampai jumpa di surga.

Pada akhirnya, kematian tidak akan pernah membuat para teroris itu merasa terancam. Kematian bagi para teroris itu bukanlah batas, namun tujuan dan pembeda. Semakin banyak orang yang mati hangus di Bali adalah kemenangan atas musuh Tuhan. Dan para teroris menjadikan kematian diri mereka sendiri karena aksi menghancurkan musuh Tuhan, sebagai sesuatu yang bernilai: sesuatu yang layak diganjar surga.

Saya ragu, setiap kematian teroris (baik dengan ditembak mati karena melawan atau dieksekusi mati di kesunyian) akan mengakhiri aksi-aksi teror. Kematian Dulmatin, Imam Samudra, atau Amrozi, boleh jadi mengacaukan gerakan bawah tanah para teroris. Namun kematian mereka juga selalu membuka pintu bagi gerakan baru yang lebih solid dan mungkin lebih berbahaya. Kematian yang heroik di bawah desingan peluru akan selalu menjadi dalih pembenar untuk merekrut orang-orang baru yang lebih berani, lebih nekat.

Menghukum mati para teroris itu mungkin akan memuaskan para korban. Namun itu tak akan menghentikan mereka semua, takkan menghentikan mereka yang lebih mencintai kematian daripada kehidupan. Jika para teroris itu menjadikan kematian sebagai pembeda dan bukan batas, maka sudah satnya kita menjadikan kehidupan sebagai pembeda dan bukan batas, untuk menghukum mereka.

Membiarkan mereka hidup dan menghadapi banyak kemungkinan yang tak terduga adalah hukuman yang layak bagi para teroris. Alih-alih berhadapan dengan bedil pasukan eksekutor, para teroris itu dihukum dalam penjara terpisah, dengan sekuriti maksimum hingga ajal datang menjemput mereka. Menempatkan mereka dalam kesendirian hingga akhir hayat adalah sesuatu yang mengerikan.

Dalam sebuah kotak berjeruji nan sepi, orang akan selalu merasa terlempar ke masa lalu karena tak melihat kemungkinan masa depan. Fajar dan senja, awal dan pengujung hari, hanyalah sebatas tembok dan jeruji. Masa mendatang sudah dipastikan justru karena dia tak bisa berbuat apapun.

Saya tak bisa membayangkan seseorang yang berada dalam kesunyian seumur hidupnya. Pada satu titik, ketika kewarasan membentur tembok frustasi, boleh jadi mereka akan memilih menjadi cuak dan menyebutkan satu per satu daftar pasukan teror yang dimiliki.

Namun, jika akhirnya kematian datang juga, maka biarlah kali ini dalam senyap, diam-diam, dan tak memunculkan heroisme yang gaduh. Saat itulah, untuk pertama kalinya, para teroris itu akan memandang sebuah kemungkinan lain: apakah kali ini kematian mereka sendiri cukup berharga untuk diganjar sepotong surga. [wir]

No comments: