19 March 2010

Wigand

Sepuntung rokok, sebuah fatwa: mana yang lebih memengaruhi hidup kita. Yang pertama bicara tentang hasrat; yang terakhir soal sebuah upaya penyampaian tafsir kebenaran, sebuah kelanjutan tradisi parrhesia. Dan, ketika keduanya harus dipertarungkan, maka kita teringat Jeffrey Wigand.

Wigand bukan pejabat politik yang banyak dikutip, artis yang banyak diperhatikan, atau pahlawan nan pemberani. Tapi, tulis Marie Brenner, dia adalah 'lelaki yang terlalu banyak tahu'. Dia hanya ditakdirkan sebagai seorang ayah yang bekerja keras agar istrinya bisa hidup layak, dan anaknya mendapat pendidikan dan pelayanan kesehatan yang baik, serta berdiam di sebuah rumah yang nyaman.

Dan, Wigand mendapatkan itu semua saat bekerja sebagai kepala riset dan pengembangan sebuah perusahaan rokok nomor tiga terbesar di Amerika Serikat: Brown and Williamson Tobacco Corporation (B&W). B&W juga menguasai British American Tobacco, sebuah konglomerasi yang menghasilkan laba miliaran dollar Amerika dalam setahun. Gaji Wigand di atas rata-rata orang Amerika: 300 ribu dollar setahun.

Wigand bahagia dengan hidupnya, namun nurani memiliki jalannya sendiri. Suatu kala, dia membaca The Journal of the Americal Medical Association: tiga juta anak muda Amerika Serikat yang belum lagi berusia 18 tahun telah menghabiskan satu miliar pak rokok, dan 26 juta kontainer snuff setiap tahun. Snuff adalah tembakau bubuk yang dikemas sedemikian rupa, sehingga berbentuk permen. Snuff dipasarkan untuk anak-anak, untuk memerluas pasar rokok sejak usia dini. "If you don't get them before they are 18 or 20, you never get them," kata Wigand.

Thomas Sandefur, bos B&W bersaksi di depan Kongres bersama enam perusahaan besat tembakau: "Saya percaya nikotin tidaklah bikin kecanduan." Perusahaannya mengendalikan level nikotin di sigaret, tapi itu hanya untuk memperbaiki cita rasanya.

Namun, Wigand terusik dengan laporan yang menyebutkan, rata-rata bocah Amerika mulai merokok pada usia 14 tahun. Ia selalu merasa pulang ke rumah dalam keadaan tak berkutik. "Anak saya akan berkata kepada saya, 'Hey, Ayah, apakah Ayah membunuh orang?' Saya tidak suka hal-hal yang saya lihat. Saya merasa kotor," kata Wigand, sebagaimana dikutip Brenner dalam artikel The Man Who Knew Too Much.

Maka, Wigand pun memilih untuk menjadi seorang parrhesias: mengambil risiko untuk dihukum, diasingkan, dan bahkan dibunuh, karena keberaniannya mengatakan sesuatu yang benar. Ia bocorkan kebusukan industri rokok tempatnya bekerja kepada seorang jurnalis investigatif, Lowell Bergman. Hidupnya pun berada di bawah ancaman: kehilangan pekerjaan, penyadapan, pembobolan, dan gugatan hukum yang bisa membangkrutkan.

Istrinya, Lucretia Wigand, ketakutan, dan tak bisa memahami: mengapa sang suami memilih menjadi martir melawan industri rokok. Ia marah, dan khawatir kehilangan klaim paket layanan kesehatan keluarga yang selama ini mereka nikmati. Mereka bertengkar hebat. Badai menghantam rumah tangga kecil itu. "Lucretia memukul punggungku dengan gantungan jaket yang terbuat dari kayu, dan berlari menaiki tangga masuk kamar," kata Wigand.

Wigand sebenarnya juga takut. Putus asa. Ia hanya orang biasa, bukan pahlawan. Apalagi ternyata media massa yang sempat diharapkannya membantu membongkar kebohongan industri rokok juga tersensor. Sepuluh tahun ia hidup di bawah tekanan. "Saya harus tetap melawan," katanya.

Menang? Kalah? Bukan soal. Hari ini, bisnis rokok tetap berjalan. Miliaran batang rokok tetap dikonsumsi, dan sebagian remaja yang belum cukup umur mengembuskan asap dari mulut dan hidung mereka. Hidup tak banyak berubah. Namun, mengubah dunia memang bukan tugas seorang parrhesias.

Mungkin, seperti halnya Socrates, orang-orang seperti Wigand hanyalah lalat-lalat pengganggu. Namun, lalat-lalat itu tetap dibutuhkan: untuk mengetahui bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki dan dibersihkan dalam hidup kita. Bahwa hidup kita tidaklah turun dan tertata begitu saja dari langit, tapi berada dalam proses panjang dialog antar kepentingan manusia.

Saya kira, dalam konteks itulah, fatwa soal pengharaman rokok semestinya dipahami. Fatwa itu tidak akan pernah, dan tidak akan mungkin mematikan industri rokok. Namun setidaknya, seperti halnya Wigand, fatwa antirokok yang dikeluarkan Muhammadiyah adalah bagian dari ikhtiar bersama, agar kita tak selamanya berada dalam comfort zone (zona nyaman) yang bebas dari kritik. Apa yang kita punyai hari ini, harus senantiasa kita koreksi dan perbaiki terus-menerus: termasuk itu industri yang menyangkut putaran uang triliunan rupiah dan kesehatan ratusan juta warga negara yang membayar pajak. [wir]

No comments: