27 February 2010

Skandal Century dan Matinya JI

Drama itu berakhir sudah, untuk sementara. Nama-nama mereka yang bertanggungjawab terhadap skandal Bank Century sudah disebutkan oleh perwakilan sejumlah fraksi dalam panitia khusus hak angket DPR RI. Sebagian orang menggerutu, sebagian berkata: 'nah, kan apa saya bilang'. Di tengah fakta-fakta yang menunjukkan kebijakan bailout (pengucuran talangan) untuk Bank Century berbau pat-gulipat, hanya Demokrat dan Partai Kebangkitan Bangsa yang bersikap seolah kebijakan itu tak bikin masalah.

Sebagai warga negara, saya adalah salah satu orang yang gembira dengan pengungkapan skandal ini oleh DPR RI. Saya senang, di tengah hiruk-pikuk tawar-menawar dan intrik politik, skandal ini sudah diupayakan untuk dibuka sebenderang mungkin. Apapun motif para politisi di Senayan membongkar skandal ini, dipentaskannya sidang-sidang pengusutan skandal Century secara terbuka di hadapan rakyat membuka mata semua orang: ada yang salah urus di negeri ini.

Rakyat mungkin tidak setuju atau bahkan tidak peduli, terungkapnya skandal Century akan membuat pejabat-pejabat tertentu jatuh. Rakyat boleh jadi juga cuek-bebek dengan 'pencak silat' pemerintahan SBY melawan partai-partai koalisinya sendiri, agar citra pemerintahan tetap bersih dan partai-partai tetap kebagian jatah kursi menteri. Selama politik di Senayan dan Cikeas tak mengganggu dapur rumah tangga mereka, semua akan baik-baik saja.

Boediono, wakil presiden yang ikut bertanggungjawab terhadap bailout Century saat masih menjabat Gubernur Bank Indonesia, mungkin akan baik-baik saja. Begitu pula Sri Mulyani, menteri keuangan kita yang tercinta itu. Pemerintahan SBY masih akan berjalan terus. Namun, dengan terbukanya skandal Century, orang akan semakin waspada: bahwa di pemerintahan ini ada orang-orang yang pernah membuat kesalahan dalam hal kebijakan. Kesalahan itu demi kemaslahatan bersama harus selalu diingat untuk mewaspadai potensi terjadinya hal serupa hingga berakhirnya masa pemerintahan SBY.

Di tengah kegembiraan itu, saya mengalami kekecewaan sebagai jurnalis. Skandal Bank Century adalah tamparan bagi kinerja korps wartawan. Kami, para jurnalis, selalu memimpikan peran emas seperti yang dimainkan duet Bob Woodward dan Carl Bernstein dalam Skandal Watergate, atau peran New York Times dan Washington Post dalam skandal yang disebut Pentagon Papers.

Woodward dan Bernstein mendobrak pola reportase para wartawan Washington yang selalu mengandalkan keterangan resmi dari pemerintah. Mereka masih muda belia -- saat itu 28 tahun -- datang seolah entah dari mana, bertanya ke sana kemari dengan rasa skeptis, memverifikasi keterangan dari sumber tanpa nama, dan berhasil memaksa seorang Richard Nixon mengakhiri masa kepresidenan dengan rasa malu tak tertahan. Mereka menjadi teladan bagaimana seharusnya jurnalis investigatif (kita sebut saja JI) bekerja.

Kami, para jurnalis Indonesia, tentu saja tak berpretensi menjadikan pemakzulan pemimpin tertinggi negeri ini sebagai parameter keberhasilan kerja. Namun, dalam kasus Skandal Century, kami para jurnalis telah gagal mengikuti jejak Woodward dan Bernstein: mencari tahu dengan penuh rasa skeptis.

Dalam pengungkapan Skandal Century, peran para jurnalis investigatif� --menyitir wartawan San Jose Mercury, Gary Webb-- 'berkeliaran dengan mantel yang berkibar-kibar diterpa angin', telah digantikan para legislator investigatif. Dari para legislator di Senayan, kita tahu bagaimana duit Century mengalir ke mana-mana secara tak wajar. Jika jurnalisme investigatif bertugas mengungkap 'siapa penjahatnya', maka parlemen investigatif telah mengambil peran itu.

Sangat disayangkan, media massa hanya menjadi panggung bagi para legislator untuk mengungkapkan temuan-temuannya yang bikin mulut melongo. Televisi mementaskan drama siaran langsung sidang-sidang parlemen, menjadikan para legislator yang vokal sebagai narasumber acara tayang wicara.

Sementara, koran-koran dan media online memulung kutipan-kutipan dari para legislator. Atau hanya memberitakan peristiwa-peristiwa yang menjadi 'bunga-bunga' kasus ini, seperti aksi unjuk rasa para nasabah Bank Century, demonstrasi mahasiswa, atau aksi perseteruan Ruhut Sitompul dan Gayus Lumbuun.

Tidak ada pendalaman. Tidak ada penelusuran penuh ketekunan khas seorang jurnalis. Lebih repot lagi, ada jurnalis yang pagi-pagi sudah 'menjadi humas' pejabat-pejabat pemerintah, dan menyatakan 'alhamdulillah' untuk kasus Century, tanpa pengkritisan lebih dalam. Penelusuran hak angket belum dimulai jauh, tapi belum-belum sudah ada pendapat redaksional: tak ada yang salah dengan 'bailout' untuk Century.

Saat kasus ini berkembang dan mulai menunjukkan siapa-siapa yang harus bertanggungjawab, sebagian media massa malah lebih sibuk dengan isu hubungan koalisi besar pemerintahan SBY: retak atau tidak. Seteru atau sekutu. Seolah-olah itu lebih penting ketimbang kebijakan yang salah jalan.

Seandainya, ya seandainya saja, skandal ini diungkap oleh media massa melalui penelusuran yang mendalam, mungkin opini masyarakat tak akan terbelah dalam bersikap. Pengungkapan kasus ini oleh DPR RI membawa konsekuensi kecurigaan adanya agenda 'udang di balik batu', dan memudahkan pemerintah untuk menembak balik bahwa 'ada pihak yang masih tak puas dengan hasil pemilu'.

Seandainya, ya seandainya saja, skandal ini diungkap oleh media massa melalui penelusuran yang mendalam, mungkin suaranya akan nyaring dan memunculkan dukungan kuat dari publik. Media massa di Indonesia, sejelek apapun itu, masih mendapat tempat sebagai pembawa suara kebenaran di mata rakyat.

Jadi, sebagai jurnalis, apa boleh buat, saya harus mengibarkan bendera setengah tiang bagi matinya jurnalisme investigatif dalam kasus Skandal Bank Century. Teriring dengan rendah hati, saya berucap kepada publik: maafkanlah kami. [wir]

No comments: