19 February 2010

Sforza

Saya tidak tahu apakah Susilo Bambang Yudhoyono dan para petinggi Partai Demokrat pernah membaca Il Principe, karya Machiavelli. Sebab bagi mereka yang percaya bahwa politik dagang sapi adalah proses sekali jadi, agaknya harus menekuni Machiavelli kembali. Mereka yang percaya bahwa koalisi partai bisa menyelamatkan sekaligus mengukuhkan kekuasaan, agaknya perlu menengok ke Italia, dan segera menyadari: segerombolan politisi partai koalisi tak ubahnya sepasukan bayaran yang bertempur demi imbalan dan hanya menghadirkan wasangka.

Italia di abad pertengahan dilemahkan oleh pasukan-pasukan bayaran. Italia terpecah-belah dalam beberapa negara-kota. Kekaisaran ditentang dan Paus mulai merebut kekuasaan.

Syahdan, di masa itu, hiduplah keluarga Sforza, sebuah keluarga yang menyediakan diri untuk bertempur demi imbalan dan jabatan. Muzzio Attendolo Sforza, sang ayah, dan Fransesco Sforza, sang anak, menorehkan nama mereka sebagai orang-orang bayaran yang masyhur. Moralitas politik adalah urutan kesekian di bawah imbalan dan jabatan dalam kamus hidup mereka.

Suatu kala, Ratu Joanna II dari Napoli pernah menyewa Muzzio Attendolo Sforza. Muzzio, seorang condottiere, pendekar perang terlatih yang hidup di tahun 1369 hingga 1466. Namun dengan entengnya, Muzzio meninggalkan pasukan sang ratu tanpa alasan, sehingga terpaksa meminta bantuan Raja Aragon. Betapa malang Joanna, yang hari-hari kekuasannya selalu diliputi kekacauan. Ia mati tanpa meninggalkan anak kandung sebagai pewaris Napoli.

Fransesco Sforza lebih celaka lagi. Filippo Visconti, pemimpin Milan, memercayainya untuk memimpin pasukan menghancurkan Venesia. Visconti juga merelakan putrinya dinikahi Fransesco.

Pertempuran melawan Venesia berakhir gemilang untuk Fransesco. Ia menang di Caravaggio. Celakalah orang-orang Milan. Mereka mengira sudah cukup berbisnis sekali dengannya. Namun Sforza tidak merasa cukup. Ia memilih bergabung dengan orang-orang Venesia untuk berbalik menghajar orang-orang Milan. Setelah Visconti meninggal dunia, Fransesco menjadi adipati Milan dan selama lima generasi anak-cicitnya menjadi penguasa di sana.

Orang-orang Firenze meminta bantuan 10 ribu pasukan Prancis untuk menaklukkan Pisa. Pisa takluk di bawah kaki De Beaumont, seorang panglima perang Raja Prancis Louis XII. Pisa bersedia menyerah, asalkan tak diserahkan kepada Firenze hingga empat bulan berikutnya. Namun Firenze ragu menyerahkan keputusan itu kepada De Beaumont, karena tidak sepenuhnya percaya. Namun, mereka juga takut menolak permintaan Pisa, karena itu berarti menunjukkan curiga kepada Prancis. Firenze pada akhirnya tak bisa menguasai Pisa.

Akankah kita memertanyakan moralitas Wangsa Sforza? Ataukah kita akan menertawakan kedunguan Ratu Joanna atau kenaifan orang-orang Milan? Salahkah orang-orang Firenze yang mendadak digerogoti curiga?

Dalam politik praktis, yang berorientasi pada hasil akhir dan bukan yang etis, itu semua tak penting untuk diperdebatkan. Jika tujuan akhir adalah kuasa, maka jamaklah kita pahami: tak ada sebuah perkawanan yang langgeng. Mungkin karena itu pula, di banyak negara, perubahan politik berawal selalu berawal dengan persekongkolan dan berakhir dengan pengkhianatan.

Machiavelli mengingatkan: pasukan bayaran tidak pernah bisa dipersatukan, haus akan kekuasaan, tidak memiliki disiplin, dan tidak setia. Mereka tidak mempunyai rasa tanggungjawab, sebagian karena imbalan yang dirasakan tak pernah cukup.

SBY dan Partai Demokrat hari-hari ini goyah dengan 'ketidaksetiaan' partai-partai koalisi yang mendukungnya. Goyahnya koalisi ini, suka atau tidak, menunjukkan persekutuan kubu SBY di masa pemilu didasarkan pada 'filosofi pasukan bayaran'. Dan, kita semua tahu: filosofi itu kentara saat SBY memilih orang-orang di kabinetnya.

Hari ini gigi-gigi koalisi mulai tanggal satu persatu. Lobi-lobi politik dilancarkan lagi. Dagang sapi berlaku lagi, kali ini dengan ancaman reshuffle menteri dari koalisi yang dinilai berkhianat. Rupanya, kesalahan pertama diulang kembali untuk kedua kalinya.

Mungkin, SBY dan Partai Demokrat memang melupakan Machiavelli.

"Quod nihil sit tam infirmum aut instabile quam fama potentiae non sua vi nixa," Machiavelli mengingatkan petuah bijak. "Tak ada hal yang begitu lemah dan mudah goyah, seperti reputasi kekuasaan yang tidak berdasarkan pasukan sendiri."

Siapa pasukan sendiri itu? Machiavelli menunjuk khalayak ramai: mereka yang telah memberikan kemenangan mutlak bagi duet Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, namun nyaris terlupakan karena pemerintah lebih sibuk menebalkan pupur di saat survei menunjukkan citra duet itu tergerus hari demi hari. [wir]

No comments: