08 January 2010

Kanibalisme, Kepala Terpenggal, dan Cinta Indonesia

Menyaksikan kanibalisme di Borneo. Pembunuhan aktivis mahasiswa di Jakarta. Kepala-kepala terpenggal berseliweran. Nyaris memamah sate daging manusia. Terancam jiwa di Timor Timur. Itu semua telah dialami oleh Richard Lloyd Parry, jurnalis The Times Inggris selama 1997-1999 saat meliput Indonesia.

Semua ketegangan dan petualangannya sebagai seorang jurnalis travelog dan politik dituangkan dalam buku In The Time of Madness (yang diterjemahkan Serambi tahun 2008 dengan judul Zaman Edan). Namun, semua kengerian itu tak mengubah perasaan Parry terhadap Indonesia.

"To me this is very obvious, but sadly it hasn’t been obvious to all readers of the book: despite the violence which is the subject of much of my reporting, I love Indonesia. It is my favourite country, and I visit as often as I can for holidays as well as work," kata Parry kepada saya dalam surat elektroniknya yang memperbincangkan bukunya itu.

Sebagai seorang reporter Times, Parry sudah meliput di dua puluh enam negara, termasuk Afghanistan, Kosovo, dan Macedonia. "Tidak ada keraguan, Indonesia telah mengalami perubahan terbesar yang bisa dijalani sebuah negara: dari kediktatoran ke demokrasi. Itu sesuatu yang membuat orang Indonesia memiliki hak untuk berbangga hati," katanya.

Selama di Indonesia, Parry berutang budi pada banyak orang, pada narasumbernya yang sebagian besar tidak diidentifikasi dengan jelas. Menurut Parry, sebagian narasumber menolak disebutkan identitasnya secara jelas. "Dalam beberapa kasus, saya memilih tidak mengidentifikasi mereka secara penuh karena saya merasa ini yang terbaik," katanya.

Parry melahap sejumlah buku, termasuk buku tentang Soeharto. Ia menyanjung tulisan Goenawan Mohammad, jurnalis veteran Majalah Tempo, yang menurutnya diterjemahkan dengan indah ke dalam Bahasa Inggris.

Tanggal 14 Januari mendatang, Parry merayakan ulang tahun ke-41. Ia berharap bisa menulis kembali tentang Indonesia dan Timor. Sebagai orang asing, ia melihat Indonesia akan tetap bersatu. "That’s not to say that Papua (perhaps even Aceh) won’t continue to press for independence, and may get it. But Indonesia’s unity is assured," katanya.

Indonesia adalah bagian dari hasil kejeniusan seorang Sukarno dan para pendiri bangsa, yang membawa rakyat dari beragam ras dan pulau serta tempat, yang dalam hati mereka terpancar kesamaan identitas: ke-Indonesiaan. "An thrilling and beautiful achievement," kata Parry. [wir]

No comments: