04 January 2010

Ini Resep Mendamaikan Suporter Jatim

Prihatin rasanya membaca berita di portal ini tentang kepolisian bersama sejumlah LA Mania, pendukung kesebelasan Persela Lamongan, melakukan sweeping terhadap Bonek, pendukung Persebaya Surabaya, menjelang laga Persela versus Persebaya.

Kita layak prihatin, karena peristiwa ini lagi-lagi menandakan betapa hubungan antar pendukung kesebelasan sepakbola di Jawa Timur sangat buruk. Mungkin hanya ada di Indonesia, menyaksikan pertandingan sepakbola secara langsung ke sebuah stadion menjadi barang haram bagi kelompok suporter tertentu, yang kebetulan bermusuhan dengan kelompok pendukung tuan rumah.

Sebelumnya, panitia pelaksana sudah bersiap-siap menjamu laga Persik Kediri kontra Arema Malang di luar Kediri, dengan alasan keamanan. Panitia trauma dengan kerusuhan yang dilakukan Aremania, pendukung Arema Malang, setiap kali sebuah pertandingan sepakbola yang melibatkan Tim Singo Edan dilangsungkan di Kediri.

Masih terang pula dalam ingatan, saling 'memblokade' suporter dilakukan antara panitia dan petugas keamanan di Malang dan Surabaya. Saat Persebaya kontra Arema atau kontra Persema digelar di Malang, maka Bonek tak boleh hadir di stadion. Begitu pula sebaliknya.

Dari sisi 'nilai jual' sebuah kompetisi sepakbola, persaingan ketat antar dua kesebelasan sebenarnya sangat menguntungkan. Kita melihat bagaimana aroma kebencian selalu muncul dalam pertandingan antara Liverpool versus Manchester United, Barcelona versus Real Madrid, atau AC Milan versus Inter Milan. Penjualan merchandise klub dan tentu juga tiket pertandingan bisa meningkat tajam dalam laga-laga yang melibatkan seteru bebuyutan. Di Eropa, sebuah partai derby sangat ditunggu, karena melibatkan gengsi klub. Pertandingan menjadi sangat menarik, karena dua kesebelasan bertanding dengan semangat lebih berlipat dari biasanya.

Di Indonesia, derby provinsi dalam Liga Indonesia agaknya sudah mencapai tataran 'kebencian primordial' seperti di Eropa. Kita lihat bagaimana kesebelasan dari Surabaya, Kediri, Lamongan, dan Malang, bersaing untuk menjadi yang terbaik. Saya kira, hingga saat ini tidak ada provinsi yang begitu dinamis persepakbolaannya selain Jawa Timur.

Sayang sekali, persaingan ketat antar kota itu belum dimenej secara baik untuk perkembangan sepakbola. Pendukung-pendukung semua kesebelasan masih belum bisa bersikap dewasa, dalam memandang persaingan tersebut. Potensi kerusuhan selalu saja membuat kepolisian siaga satu dan menambah jumlah personil, setiap kali kesebelasan-kesebelasan di Jawa Timur saling bertemu. Mereka khawatir terjadi bentrokan antar pendukung kesebelasan.

Alhasil, ketimbang menguntungkan klub, sebuah partai derby di Jatim justru berpotensi merugikan klub. Klub memang memperoleh pemasukan berlimpah dari tiket penonton. Namun, klub juga harus bersiap menanggung konsekuensi, baik berupa sanksi maupun pemberian ganti rugi, jika terjadi kerusuhan. Maka tak heran, jika sebuah klub rela melepaskan partai derby itu untuk dimainkan di daerah lain atau dimainkan tanpa penonton, karena tak ingin ambil risiko.

Bagaimana cara mendamaikan suporter sepakbola di Jawa Timur? Pertanyaan ini sering mengapung dalam banyak diskusi. Secara garis besar, semua orang sepakat perseteruan itu dikarenakan gengsi daerah yang tinggi.

Namun patut menjadi renungan bersama: benarkah para suporter yang saling berseteru memang mempertahankan gengsi daerah, atau hanya gengsi kelompok itu sendiri? Tidakkah Bonek, Aremania, LA Mania, Persikmania, hanya menggunakan dan mengatasnamakan gengsi daerah untuk menutupi ego masing-masing. Ego merasa paling besar, paling hebat, paling kuat.

Jika mau jujur, apakah daerah (rakyat secara umum di kota-kota itu maupun di Jatim) merasakan manfaat dari perseteruan tersebut? Saya pastikan tidak. Kebanggaan memang berharga, terutama di sebuah zaman yang lebih menghargai materi dan meninggalkan etika untuk meraih materi itu. Namun tidak dengan sebuah kebanggaan yang destruktif.

Saya rasa di tahun ini, sudah saatnya upaya untuk lebih mendamaikan suporter di Jawa Timur dilakukan. Bolehlah bersaing, merasa kesebelasan masing-masing lebih baik daripada yang lain. Namun jangan sampai persaingan itu berubah menjadi pertarungan yang menghancurkan semua: kalah jadi abu, menang jadi arang.

Saya adalah bagian dari orang yang optimistis, persaingan antar suporter yang lebih beradab (jika memang kata perdamaian masih sulit diterima) bisa terjadi. Persaingan antarsuporter di Indonesia masih belum pada taraf ideologis. Bandingkan dengan persaingan suporter Glasgow Celtics dan Rangers yang melibatkan perbedaan agama, atau persaingan antar kesebelasan Italia yang melibatkan ideologi fasisme dan sosialisme. Persaingan antar pendukung di Indonesia lebih mirip persaingan antar suporter di Inggris.

Ada beberapa poin urun rembuk dari saya untuk menciptakan perdamaian antar suporter. Pertama, sudah saatnya mengubah citra partai derby sebagai partai saling mengharamkan. Panitia dan petugas keamanan di Surabaya, Malang, Kediri, dan Lamongan, sudah saatnya membuka diri terhadap datangnya pendukung kesebelasan lawan. Jangan ada larangan.

Nah, untuk melimitasi potensi kerusuhan, panitia pelaksana dan petugas keamanan bisa membatasi kuota suporter yang datang. Mungkin paling maksimal 50-100 orang. Mereka dimasukkan lebih dulu pada pagi hari di hari pertandingan, di tribun VIP yang memiliki atap, sehingga lebih terlindung dari lemparan batu dari luar stadion. Ini mirip dengan yang dilakukan di Inggris. Suporter Liverpool dimasukkan ke satu sektor tribun di Old Trafford lebih dulu beberapa jam sebelum suporter Manchester United masuk.

Para suporter kubu lawan hendaknya dipagar betis oleh petugas keamanan dan suporter tuan rumah dari kelompok resmi. Saya yakin, masih banyak pendukung sepakbola di Jatim yang berpikiran waras dan tak ingin meneruskan perang antar suporter secara brutal. Para suporter lawan bisa dipulangkan 15 menit lebih awal sebelum pertandingan usai. Dengan begitu, tak terjadi bentrokan dengan suporter tuan rumah.

Dengan membiasakan diri saling menerima dalam sebuah pertandingan, tentu para suporter akan membiasakan diri menerima perbedaan. Saya optimis ini bisa dilakukan karena kita punya pengalaman bagus soal itu. November 1997, Bonek membuka diri terhadap hadirnya sekitar 50 Aremania di Gelora 10 Nopember, menyaksikan laga Persebaya versus Arema. Pertandingan berakhir imbang 0-0, dan tidak ada kerusuhan besar saat itu. Namun teladan positif ini tak berlanjut. Di Malang, Bonek tidak bisa diterima, begitu juga Aremania tidak lagi diterima di Surabaya.

Kedua, para dirijen suporter harus menahan diri untuk tak menyanyikan lagi lagu-lagu provokasi. Lagu provokasi sebenarnya hal biasa di dunia suporter sepakbola. Namun, di Indonesia, itu bisa memicu kerusuhan jika dua kelompok suporter bertemu di satu stadion.

Ketiga, aparat keamanan harus bertindak tegas jika ada satu atau dua suporter yang mencoba melakukan provokasi. Jika ada ada segelintir orang suporter yang berbuat kriminal harus segera ditangkap dan diproses secara hukum. Vonis penjara terhadap tiga oknum Bonek karena melakukan perusakan di Gresik merupakan contoh bagus. Begitu juga proses hukum terhadap oknum Aremania yang melakukan perusakan di Kediri, di tengah rusuhnya laga Arema versus Persiwa dua tahun silam.

Keempat, aparat keamanan hendaknya melakukan pengamanan suporter secara mandiri, tanpa melibatkan kelompok suporter tertentu. Apa yang terjadi di Lamongan, di mana aparat kepolisian 'dibantu' LA Mania untuk men-sweeping Bonek, hanya akan mempertajam permusuhan dan aksi balas dendam karena berpotensi terjadinya main hakim sendiri. Bagaimana pun juga, otoritas pengamanan hanya ada pada kepolisian.

Kelima, menjelang laga derby, hendaknya pentolan-pentolan kelompok suporter bertemu. Di hadapan media massa, mereka perlu mengeluarkan semacam pernyataan bersama untuk meredam massa suporter lainnya agar tak rusuh. Hal ini belum pernah dilakukan. Para suporter juga harus punya keikhlasan untuk mencegah kawan-kawannya sendiri melakukan provokasi.

Enam, media massa sudah saatnya memberikan tempat bagi berita-berita positif terkait hubungan antar suporter. Sebagaimana pernah dilakukan oleh salah satu media massa harian di Surabaya, yang memberitakan simpati Bonek untuk Aremania yang dihukum oleh PSSI karena kerusuhan di Kediri. Pemilihan narasumber yang menyejukkan tentu sangat dibutuhkan.

Media massa tidak hanya memberitakan aksi rusuh yang terjadi, karena hanya akan memunculkan ketakutan dan dendam. Apalagi, jika ternyata penulisan berita peristiwa rusuh itu mengandung diksi-diksi yang dinilai menyudutkan kelompok suporter tertentu.

Tujuh, kelompok-kelompok suporter di Jawa Timur harus mulai berhenti menonjolkan diri masing-masing. Semua kelompok memiliki keunggulan dan kekurangan. Aremania dikenal sebagai pionir suporter kreatif, Bonek dikenal sebagai pionir away supporters (suporter yang selalu berani bertandang ke kandang lawan), LA Mania merupakan salah satu suporter kreatif pula, dan Persikmania memiliki keunggulan reputasi sebagai kelompok suporter yang paling sabar dan sangat jarang melakukan kerusuhan.

Saya tahu usaha mendamaikan kelompok-kelompok suporter di Jatim sangat berat. Namun itu bukannya tak mungkin. Meminjam slogan Bonek Cyber, kelompok suporter Persebaya di dunia maya: Impossible is Nothing. Tak ada yang tak mungkin. Karena bukankah kita semua adalah 'Satu Hati' yang selalu meneriakkan 'Salam Satu Jiwa': jiwa pemberani dan sportif arek-arek Jawa Timur. Damailah suporter sepakbola Jawa Timur! [wir]

No comments: