15 January 2010

Bonek Rasa Liverpudlian

"Walk on... Walk on... with hope in your heart... and you'll never walk alone... Berjalanlah...berjalanlah dengan harapan di hatimu... dan kau takkan pernah berjalan sendirian..."

You'll Never Walk Alone adalah lagu karya klasik Rogers dan Hammerstein, untuk penghias drama musikal Carousel. Gerry Marsden and The Pacemakers menyanyikan lagu ini di klub-klub yang bertebaran di kota Liverpool

Segera saja lagu ini menjadi populer di kalangan warga Liverpool. Tahun 1963, lagu ini mulai dinyanyikan Gerry and The Pacemakers di stadion Anfield sebelum pertandingan. Mendadak, lagu ini menjadi lagu suporter yang paling terkenal sepanjang masa.

Dalam pertandingan Liverpool melawan tim-tim besar di Stadion Anfield, terutama musuh bebuyutan Liverpool, lagu ini terdengar keras. Sangat keras, saat Liverpool dalam keadaan tertinggal sekalipun. Sebenarnya masih banyak nyanyian lain dari Liverpudlian, baik yang bernada provokatif maupun sepenuhnya suportif, seperti Scousser Tommy yang dengan provokatif mengejek tim sekota Everton atau Fields of Anfield road yang sepenuhnya suportif.

Suporter Liverpool pada masa lalu dikenal sebagai salah satu suporter paling ditakuti di daratan Eropa dan Inggris. Ingat Tragedi Heysel di mana 39 suporter Juventus tewas. Ingat juga Tragedi Hillsborough di mana 98 suporter Liverpool tewas.

Namun, kini suporter Liverpool seperti menunjukkan jati diri sebagai suporter yang berbeda. Mereka tetap garang. Namun bukan dengan perilaku yang beringas. Suporter Liverpool ditakuti karena kemampuannya mengintimidasi lawan melalui nyanyian, sekaligus membangkitkan semangat timnya.

Masih ingat final Liga Champions 2005? Liverpool berhasil menjadi juara, setelah sempat tertinggal 0-3 dari AC Milan. Jadi tak ada yang tak mungkin bagi klub dari Merseyside ini. Selama masih ada pemain ke-12 yang tak henti melantunkan You'll Never Walk Alone di tepi lapangan.

Sedikit banyak, Bonek dan Liverpudlian memiliki kemiripan. Sebagaimana halnya Liverpudlian, Bonek juga acap dianggap sebagai 'tukang cari masalah' di dunia sepakbola. Saya kira, sejak masa kompetisi Perserikatan hingga saat ini, jumlah suporter terbanyak yang meninggal di Indonesia karena mendukung timnya adalah suporter Persebaya. Liverpudlian dan Bonek sama-sama memiliki masa kelam, namun juga sama-sama memiliki kekuatan sebagai pemain ke-12.

Menjadi pemain ke-12 yang suportif, intimidatif, namun sportif, itulah yang diharapkan dari para Bonek, pendukung Persebaya, dalam laga bergengsi melawan Arema Malang, di Stadion 10 November, Sabtu (16/1/2010). Para Bonek menuntut agar Bajul Ijo bermain agresif dan meraih poin absolut dalam laga tersebut. Bagi Bonek, boleh kalah dari tim lain, namun tidak dari Arema Malang.

Inilah laga derby provinsi terpanas di Indonesia. Panitia peyelenggara diperkirakan bakal panen besar. Sebanyak 29 ribu lembar tiket dicetak. Namun di sisi lain, tiga ribu personil keamanan dipersiapkan. Petugas keamanan tidak mau kecolongan, peristiwa 4 September 2006 terulang. Saat itu, sejumlah Bonek mengamuk menyusul hasil seri yang antara Persebaya melawan Arema.

Kita menyadari harapan tinggi para Bonek untuk bisa mengalahkan Arema di Stadion 10 November. Bisa diperkirakan jalan-jalan di Surabaya, terutama di sekitar stadion, akan menjadi lautan hijau. Banyak Bonek yang bakal gagal masuk stadion karena kapasitas terbatas.

Partai ini menjadi pembuktian bagi banyak hal. Bagi aparat keamanan, ini seperti ajang uji coba pengamanan, terutama menjelang pemilihan walikota yang mungkin bisa lebih panas daripada sekadar laga sepakbola. Bagi Persebaya, ini ajang pembuktian bahwa mereka adalah raja di Jawa Timur.

Bagi Bonek, ini menjadi ajang pembuktian kemampuan mereka menjadi suporter yang intimidatif namun sportif sebagaimana para Liverpudlian. Intimidasi bukan melalui aksi kekerasan, namun melalui nyanyian-nyanyian sekeras-kerasnya yang menggetarkan pemain lawan, dan sekaligus mendongkrak energi para pemain Persebaya. Ini sebenarnya sudan terbukti saat melawan Persiwa Wamena, kala Persebaya tertinggal dua kali, dan akhirnya berhasil memenangkan pertandingan. Spirit sportivitas saat melawan Persiwa ini yang perlu ditunjukkan.

Terpenting pula adalah penghormatan terhadap hasil akhir pertandingan. Selama ini, Bonek sudah cukup teruji dengan dua kali kekalahan di kandang sendiri, dari Persipura Jayapura dan Persik Kediri. Tidak ada kerusuhan apapun. Hal ini tentu kemajuan yang patut dipuji dari Bonek, mengingat sebagian kalangan sudah kadung melakukan generalisasi (gebyah uyah) terhadap perilaku pendukung Persebaya.

Saat ini memang sebagian kalangan masih memandang enteng kemajuan (progress) di kalangan Bonek. Provokasi dan hujatan yang menempelkan stigma negatif masih sering diberondongkan kepada Bonek. Media massa pun agaknya juga lebih 'menikmati' Bonek dalam performa penuh hooliganisme ketimbang dalam wajah yang lebih santun. Paradigma media massa dan masyarakat menggambarkan kutub oposisi biner dalam teori strukturalisme, yang membutuhkan kelompok berpredikat 'bad boys' (anak nakal) untuk menentukan kelompok berpredikat 'good boys' (anak baik).

Namun, saya berharap hujatan dan provokasi ini tidak mengendurkan itikad dan keinginan Bonek untuk menjadi lebih baik. Apa yang sudah dicapai, dengan segala kekurangannya, hendaknya diterima dan tidak dirusak kembali Sabtu ini. Laga Persebaya melawan Arema, justru perlu digunakan untuk memperkukuh wajah baru Bonek. Mungkin ini tidak menarik bagi media massa yang menyukai sensasionalisme, namun bakal menyehatkan bagi perkembangan sepakbola nasional.

Saya rasa Bonek mulai perlu juga mengubah paradigma mengenai apa yang mereka anggap lawan: Arema dan Aremania. Begitupula Aremania, juga perlu mulai mengubah pandangan yang menganggap Bonek sebagai musuh bebuyutan.

Jika merunut sejarah panjang sepakbola Jawa Timur, suporter Malang atau Aremania bukanlah musuh suporter Surabaya, begitu pula sebaliknya. Musuh tradisional Bonek dan Persebaya sebenarnya adalah Bobotoh dan Persib Bandung, atau PSIS Semarang, karena persaingan antar klub Surabaya dan Bandung maupun Semarang sudah berjalan lama. Persepakbolaan di Malang relatif baru, jika dibandingkan dengan kota-kota besar di Indonesia. Arema baru muncul tahun 1987 dan Persema baru naik kasta ke Divisi Utama Perserikatan sekitar era 1990-an.

Saya masih ingat, di awal-awal kompetisi Liga Indonesia (gabungan perserikatan dengan Galatama) di tahun 1995/1996, penonton terbanyak Persebaya bukan saat melawan Arema dan Persema. Menurut catatan saya, penonton terbanyak laga kandang Persebaya di masa itu, adalah saat melawan PSM Makassar dengan 28.600 penonton bertiket, dan melawan Persegres Gresik yang dihadiri 24.300 penonton. Saat Persebaya melawan Arema dan Persema, jumlah penonton yang hadir sekitar belasan ribu.

Pada musim kompetisi 1996/1997, saat Persebaya menjadi juara nasional, Gelora Tambaksari dipenuhi penonton hingga sentelban justru saat melawan Bandung Raya maupun Persija Jakarta. pertandingan melawan Arema, yang pada akhirnya dimenangkan Persebaya dengan skor 6-1, dihadiri belasan ribu Bonek, dan tidak luruh hingga sentelban.

Dari hal yang saya paparkan di atas, tampak benar: sebenarnya secara kesejarahan, apa yang dulu didefinisikan sebagai musuh bebuyutan oleh Bonek sebenarnya bukanlah kesebelasan dari Malang, namun tim-tim dari Jakarta dan Bandung. Namun menarik, pada perkembangannya, Bonek justru bisa bersahabat dengan para musuh tradisional mereka di masa Kompetisi Perserikatan. Sayang sekali, Bonek dan Aremania justru tidak bisa duduk dalam satu stadion. Tentu saja ini patut disayangkan. Padahal tahun 1997, Bonek pernah menerima Aremania di Gelora Tambaksari, yang seharusnya bisa ditindaklanjuti dengan saling kunjung pada musim kompetisi selanjutnya.

Apakah penyebab perseteruan ini? Saya duga, ini semua lebih pada persaingan gengsi kedaerahan. Gengsi kedaerahan tentu saja absah dan halal sebagai bumbu sepakbola modern. Barcelona dan Real Madrid juga dipicu gengsi daerah yang bahkan berbau separatis, antara Catalan melawan Spanyol. Ini menambah sedap persaingan. Namun jangan kemudian justru membuat 'yang menang jadi arang, dan yang kalah jadi abu'. Di atas segalanya, Bonek dan Aremania sama-sama warga Jawa Timur.

Pertandingan yang berjalan aman dan nyaman ditonton tak hanya tergantung pada elemen suporter. Para pemain dan ofisial dua kesebelasan juga harus memberi dukungan dengan permainan yang baik dan sportif. Ciri khas sepakbola keras ala Jawa Timur mungkin sulit dihilangkan. Namun itu bukan berarti menghalalkan segala cara yang memicu keributan di lapangan.

Keributan di tengah lapangan hanya akan memprovokasi penonton untuk berbuat rusuh. Aksi-aksi sliding tackle tanpa aturan yang mencederai pemain secara tak manusiawi, atau aksi-aksi 'mudah jatuh' dan 'pura-pura kesakitan' hendaknya dihindari betul oleh para pemain. Wasit pun diharapkan bisa memimpin laga itu dengan adil.

Saya benar-benar berharap laga Sabtu sore menjadi laga bersejarah bagi kemajuan sepakbola Indonesia, bukan kemunduran. Dan, Bonek bisa menunjukkan jati diri seperti Liverpudlian: mendampingi timnya dalam keadaan bagaimana pun dengan semangat sportivitas. Bonek bercita rasa fanatisme Liverpudlian. [wir]

No comments: