16 January 2010

... Dan Pemenangnya adalah Bonek

Persebaya Surabaya memang berhasil menuntaskan laga super big match melawan Arema dengan skor 2-0, di Gelora 10 November, Sabtu (16/1/2010). Namun, tak pelak, pemenang sesungguhnya dalam laga tersebut adalah Bonek, sebutan untuk pendukung Bajul Ijo Persebaya.

Di tengah keraguan banyak pihak, bahwa pertandingan akan berlaku tertib dan tanpa kerusuhan, Bonek justru mampu menunjukkan sebaliknya. Dalam laga yang dihadiri 29 ribu penonton bertiket, Bonek akhirnya benar-benar mewujudkan 'cita rasa Liverpudlian': tidak ada lemparan benda asing ke tengah lapangan yang bisa mencederai pemain. Yang ada hanya nyanyian intimidatif yang sangat keras. Dan intimidasi model ini diabsahkan dalam sepakbola, senyampang tidak mengganggu jalannya pertandingan.

Pelatih dan para pemain Chelsea sempat dibikin kaget oleh para Liverpudlian yang bernyanyi begitu keras di stadion. Nyanyian itu mengganggu konsentrasi mereka. Dalam konteks yang berbeda, saya rasa hal serupa juga dilakukan Bonek, terlepas adanya tuduhan bahwa nyanyian itu provokatif atau tak kreatif. Karena pada dasarnya sebuah nyanyian dalam laga sepakbola memiliki substansi untuk memberi semangat tim pujaan dan menjatuhkan mental tim lawan. Secara efektif, sedikit banyak, Bonek sudah melakukannya.

Sayang sekali, masih saja ada oknum Bonek yang melakukan teror kasar dengan melempari bus pemain Arema dengan batu. Di satu sisi, tindakan ini tidak bisa dibenarkan. Ini menunjukkan bahwa masih ada oknum Bonek yang tak menyadari arti sportivitas. Kita bisa mengatakan oknum, karena pelakunya hanya segelintir dan bukan puluhan ribu Bonek. Yang segelintir itu (empat orang), syukurlah, bisa diamankan aparat keamanan. Kerusuhan pun tak menjalar kepada ribuan Bonek lain yang bertahan di luar stadion.

Gara-gara ulah ngawur empat oknum itu, Persebaya dan Bonek secara keseluruhan harus menanggung akibatnya. Sanksi dari Badan Liga Indonesia bisa saja jatuh sewaktu-waktu, dan ini jelas kerugian besar. Kita hanya berharap, kelakuan tak terpuji empat oknum Bonek itu tak mengakibatkan pepatah 'setetes nila rusak susu sebelanga'. Namun, apapun itu, sanksi harus siap diterima apapun itu.

Ada baiknya pentolan-pentolan Bonek yang terorganisasi meminta maaf secara resmi kepada Arema. Setidaknya, kita tahu, aksi kekerasan seperti itu bukan itikad sesungguhnya Bonek. Saya sendiri percaya, Aremania tak akan melakukan aksi balas dendam. Saya yakin, para suporter Malang sudah cukup belajar dari ulah oknum suporter yang mengetapel bus Persebaya saat Kompetisi Perserikatan dan membuat mata pemain muda berbakat bernama Nurkiman buta. Namun permintaan maaf dari Bonek akan menjadi jalan yang baik untuk tetap menjaga persaudaraan.

Saya sangat berharap ulah empat oknum Bonek itu tak merusak tren positif yang ditunjukkan para pendukung Persebaya Sabtu sore. Selama ini, Bonek sudah cukup teruji dengan dua kali kekalahan di kandang sendiri, dari Persipura Jayapura dan Persik Kediri. Tidak ada kerusuhan apapun. Hal ini tentu kemajuan yang patut dipuji dari Bonek, mengingat sebagian kalangan sudah kadung melakukan generalisasi (gebyah uyah) terhadap perilaku pendukung Persebaya.

Saat ini memang sebagian kalangan masih memandang enteng kemajuan (progress) di kalangan Bonek. Provokasi dan hujatan yang menempelkan stigma negatif masih sering diberondongkan kepada Bonek. Media massa pun agaknya juga lebih 'menikmati' Bonek dalam performa penuh hooliganisme ketimbang dalam wajah yang lebih santun. Paradigma media massa dan masyarakat menggambarkan kutub oposisi biner dalam teori strukturalisme, yang membutuhkan kelompok berpredikat 'bad boys' (anak nakal) untuk menentukan kelompok berpredikat 'good boys' (anak baik). Namun, saya berharap hujatan dan provokasi ini tidak mengendurkan itikad dan keinginan Bonek untuk menjadi lebih baik.

Saya pribadi berharap, semua pihak bisa mengapresiasi perkembangan positif kelompok suporter mana pun di Indonesia. Sudah saatnya PSSI berhenti memandang suporter bak sapi perahan: dibutuhkan untuk pemasukan, dan ditendang jika berbuat amuk.

Ada satu hal yang sebenarnya bisa dilakukan panitia pelaksana untuk mengantisipasi amuk suporter adalah penjualan tiket secara benar. Sejumlah Bonek marah karena tidak kebagian tiket dan merobohkan tenda di dekat ticket box. Mereka menghujat panpel karena dianggap lebih mengutamakan calo ketimbang mereka.

Sebagai bagian dari reportase, saya sempat mencoba masuk ke dalam antrean tiket penonton dan ikut beberapa lama berpartisipasi antre, untuk mengetahui sendiri bagaimana kondisi penjualan tiket. Dan saya bisa memahami, betapa jengkelnya para pendukung Persebaya. Beberapa orang mengaku sudah antre berjam-jam, tapi ternyata tiket dinyatakan habis. Ujung-ujungnya, suporter curiga ada kongkalikong oknum panpel dengan calo.

Ini tentu harus menjadi perhatian bersama. Sudah saatnya pengurus Persebaya bersikap lebih tegas kepada oknum panpel yang memilih menjual tiket ke calo daripada langsung ke penonton. Jika ini selalu berulang, maka yang selalu muncul adalah amarah penonton. Padahal, amarah ini tak perlu muncul, mengingat para Bonek yang antre itu membawa uang untuk membeli tiket secara resmi.

Sebagai penutup, saya ingin membahas usulan dari salah satu Aremania di Canberra Australia di kolom Citizen Journalism portal beritajatim.com. Usulan ini sangat menarik, saya kira. Ia dengan cerdas mewacanakan perlunya memberikan penghargaan terhadap kelompok suporter yang berhasil menahan diri selama pertandingan: seperti tidak melemparkan benda-benda keras ke tengah lapangan atau tak berbuat rusuh. Ia mempertanyakan Komisi Disiplin yang selama ini hanya memberikan sanksi tanpa mempedulikan penghargaan (reward) untuk laku sportif. Padahal, membangun laku sportif ini lebih sulit di tubuh kelompok suporter manapun yang heterogen.

Dalam konteks ini, penulis yang mengaku Aremania Australia itu mulai menawarkan tahapan lebih tinggi untuk menghargai suporter Indonesia. Sebuah kelompok suporter dihargai karena sportivitasnya, dan tak hanya kreativitasnya. Penghargaan ini, menurut dia, bisa diberikan rutin setiap pekan atau bulan sekali.

Saya sangat setuju dengan usul Aremania Australia. Sudah saatnya kita sudah membiasakan para suporter tak lagi berhenti pada kreatif, tapi juga sportif. Pasalnya, selama ini kreativitas tak selalu berbanding lurus dengan sportivitas. Tabik. [wir]

No comments: