15 January 2010

Menggugat Sanksi Komdis PSSI

Komisi Disiplin PSSI mengeluarkan 13 keputusan sanksi untuk sejumlah klub. Ada beberapa sanksi yang mengganggu rasa keadilan masyarakat sepakbola Indonesia.

Pertama, sanksi diskualifikasi untuk Persikad Depok dan didegradasi turun ke Divisi I karena gagal melaksanakan pertandingan melawan Pro Duta dan Persiba Bantul. Itu pun masih ditambahi denda Rp 250 juta dan tidak diperkenankan mengikuti kompetisi Divisi I musim berikutnya.

Kedua, sanksi skorsing dua kali pertandingan untuk pemain Persebaya Josh Maguire dan denda Rp 50 juta, karena menginjak pemain Persik Kediri Wawan Widiyantoro. Ketiga, sanksi untuk Persela karena rasisme LA Mania saat Persela menjamu Persebaya Surabaya.

Tiga sanksi itu sangat ganjil. Sanksi untuik Persikad menunjukkan betapa pedang Komisi Disiplin hanya mengacung ke bawah, bukan ke atas. Saya tidak tahu pertimbangan detail dari Komdis. Namun, jika kegagalan melaksanakan dua pertandingan dijadikan alasan, maka sudah seharusnya Persija Jakarta jauh-jauh hari terkena sanksi yang serupa.

Sudah tersiar di media massa, Persija sejatinya gagal melaksanakan pertandingan kandang melawan Persebaya Surabaya. Persija juga gagal melaksanakan laga kandang melawean Persitara Jakarta Utara karena tidak ada izin dari keamanan. Jika PSSI konsekuen dengan aturan yang ditetapkannya sendiri, seharusnya Persija dinyatakan kalah WO, dan paling buruk, mengalami nasib sama seperti Persikad.

Namun perlakuan yang diterima Persija justru berbeda dan istimewa. Badan Liga Indonesia justru langsung mengambilalih laga melawan Persebaya. Laga melawan Persitara pun diundur.

Seandainya ada sanksi, seharusnya sanksi itu tidak mematikan Persikad. Bagi klub kecil seperti Persikad, membayar denda Rp 250 juta dan dilarang mengikuti kompetisi satu musim penuh sama saja membunuh sepakbola di Depok. Bagaimana dengan bibit-bibit pemain sepakbola muda yang bermain dalam kompetisi internal di sana?

Sanksi untuk Josh Maguire juga tergolong ganjil. Maguire dalam pertandingan melawan Persik Kediri telah terkena kartu kuning, bukan kartu merah. Setelah itu, Josh juga sempat tidak bisa bertanding di laga lain Persebaya, karena pada pertandingan berikutnya terkena kartu kuning kedua. Artinya, mekanisme punishment dalam liga sudah berjalan.

Maka, sanksi yang dijatuhkan terhadap Maguire menjadi aneh. Jika memang ada sanksi tambahan, seharusnya itu diputuskan jauh-jauh hari, bukan saat ini. Tak heran jika kemudian kubu Persebaya meradang, karena Maguire justru tidak bisa diturunkan dalam laga krusial melawan Arema. Tindakan Komdis yang ganjil ini bisa memicu spekulasi, bahwa ada upaya-upaya tertentu untuk mengganjal Persebaya.

Sanksi yang juga ganjil adalah sanksi untuk Persela. Penggunaan kata rasisme untuk suporter Persela menunjukkan bahwa Komdis tak memahami definisi rasisme dan rasialisme, serta membedakannya dengan hujatan biasa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rasisme adalah prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda; atau paham yang memandang ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul.

Lantas apakah ras itu? Hari Tjan Silalahi, cendekiawan Center for Strategic and Indonesia Studies (CSIS) menyatakan dalam situs lembaga kajian itu menulis: "Pemakaian istilah dan definisi-definisi tentang etnis dan ras yang kurang jelas. Dalam praktek memang secara sepintas dapat dimengerti bahwa makna ras lebih luas, dan etnis lebih sempit."

Namun, untuk lebih mudahnya, ras Manusia boleh kita sebut sebagai karakteristik luar yang diturunkan secara genetik dan membedakan satu kelompok dari kelompok lainnya. Lima ras di dunia adalah Khoisan, (orang Bushmen atau Hottentot dari Afrika Selatan), Australoid (orang Dravida, orang Asia Tenggara, orang Papua, dan orang Australia, Negroid (Kulit Hitam), Ras Kaukasoid (Kulit Putih), Ras Mongoloid (Kulit kuning).

Ras tentu berbeda dengan etnis. Jawa, Batak, Sunda, Betawi adalah etnis (suku), bukan ras, karena pada dasarnya semua berada pada ras yang sama.

Dari penjelasan di atas, bisalah kita sebut sanksi yang menuduh kelompok suporter Persela melakukan tindakan rasisme adalah terlalu berlebihan. Dengan mencaci-maki kelompok suporter lain, LA Mania bisa saja kita sebut melakukan ejekan atau provokasi. Namun terlalu berat hukumnya jika kemudian mereka dituduh rasis.

Saya tidak setuju dengan nyanyian-nyanyian provokatif yang terdengar di hampir semua stadion di Indonesia, terutama di Jakarta, Bandung, Malang, Surabaya, dan Lamongan. Namun jika kemudian PSSI menyatakan nyanyian-nyanyian provokatif terhadap kelompok suporter lain sebagai rasisme, berarti ada sesuatu dalam paradigma pengurus PSSI yang perlu dibenahi.

PSSI mungkin terlalu bersemangat meniru FIFA yang berjargon 'Say No to Racism'. Namun sebaiknya PSSI tidak membabi buta. Semboyan 'Katakan Tidak kepada Rasisme' di Eropa jelas berbeda dengan di Indonesia. Rasisme suporter di Eropa benar-benar rasisme dalam arti sebenarnya, karena Eropa memiliki sejarah penghancuran ras tertentu dalam Perang Dunia II. Di sana pun secara politis ada kelompok fasis, yang menampik warga negara dengan warna kulit yang berbeda (bukan berkulit putih).

Di Indonesia, semua suporter yang saling ejek itu: Aremania yang mengejek Bonek dan sebaliknya, LA Mania yang mengejek Bonek dan sebaliknya, Viking Bandung yang mengejek The Jak dan sebaliknya, memiliki ras yang sama.
Kalau dikaitkan dengan etnisitas, saya tidak pernah mendengar kelompok suporter di Lamongan atau Surabaya menghina suku tertentu. Kita tentu tidak bisa mempersamakan nama kelompok suporter dengan etnis tertentu bukan? Karena pada dasarnya kelompok suporter pun dari sisi etnisitas cukup beragam.

Jika memang PSSI hendak mencegah terjadinya saling provokasi antar suporter, jatuhkanlah sanksi yang proporsional saja. Jangan memberikan sanksi yang membunuh. Sanksi Rp 250 juta bagi Persela jelas sanksi yang membunuh, karena itu senilai dengan nominal tiket pemasukan Persela dalam satu laga kandang.

Lebih jauh lagi, PSSI harus konsisten dengan aturannya. Saya cemas, jangan sampai sanksi denda hanya menjadi modus untuk 'memperkaya' kas PSSI. Jika ini benar-benar terjadi, maka tamatlah sudah sepakbola Indonesia. [wir]

No comments: