09 December 2009

Setelah Revolusi Tak Ada Lagi

Uni Soviet selesai di era 1990-an, dan Goenawan Mohamad serta-merta bicara dalam salah satu esainya: 'sesudah itu sepi. Tak terdengar suara revolusi'. Francis Fukuyama, seorang ilmuwan Amerika Serikat, meneriakkan: sejarah sudah selesai, Bung, dan kapitalisme menang.

Kapitalisme, menurut sosiolog Peter L. Berger, memang seyogyanya menang. Karena kapitalisme sejalan dengan demokrasi, sebuah kebebasan politik. "Semua demokrasi adalah kapitalis," serunya. Kapitalisme diperlukan bagi demokrasi dengan segala bolong-bolongnya.

Revolusi dianggap sudah kelar, karena kapitalisme menyediakan janji-janji tentang kehidupan yang lebih baik, dan pada akhirnya kita memang menampik sosialisme jauh-jauh hari. Dengan segala kelemahannya, kita menerima demokrasi yang diyakini Berger, yang diandaikan memberikan kesempatan yang sama terhadap semua orang untuk saling bertarung memperbesar keuntungan dan kepentingan masing-masing.

Namun benarkah setelah sosialisme mati dan revolusi tak ada lagi, yang ada lantas hanya senyap dalam sejarah? Rasanya tidak juga. Di negeri ini, saat pemerintah bicara soal pertumbuhan ekonomi dengan angka-angka, berpidato soal target-target 100 hari dan kesejahteraan dengan parameter moneter yang njelimet, ada sesuatu yang lebih riuh dalam kesadaran rakyat: pencarian keadilan. Kesetaraan di muka hukum yang diyakini sebagai dalil demokrasi liberal tak lebih dari utopia. Dan sejarah tidak serta-merta berakhir di meja hakim, atau di laci oknum penegak hukum.

Tidak ada propaganda. Tak ada indoktrinasi ideologi. Ini bukan pertempuran kelas. Orang banyak bergerak dengan rasa yang sama dan nalar sederhana, yang ditarik dari sebuah praktik penegakan hukum di negeri ini: lebih ringan menebas ke bawah, berat mengayun ke atas.

Tidak ada pidato-pidato bergemuruh, atau orang-orang yang dinisbatkan sebagai pemimpin revolusi dan agen partai. Hanya ada seorang Emak Minah yang menangis minta agar jangan dihukum, sementara ada pula seorang Anggodo yang disebut-sebut sebagai perekayasa kasus pelemahan komisi antikorupsi namun tak tersentuh.

Hanya ada Seorang Prita Mulyasari yang harus membayar ratusan juta perak karena mengeluhkan sebuah layanan kesehatan. Lalu Dua orang pemulung datang ke sebuah stasiun televisi menyumbangkan sekeping dua keping uang untuk ikut membantu Prita membayar denda di pengadilan. Sama dengan yang dilakukan ratusan bahkan ribuan orang lain.

Orang-orang yang tak saling kenal bertemu di Facebook menolak kriminalisasi pimpinan komisi antikorupsi, melampaui derap para pengikut partai politik saat pemilu. Sejumlah musisik bersedia manggung tanpa dibayar, di pentas yang menyuarakan gerakan anti penggangsiran uang negara. Media massa tak ragu-ragu menyuarakan keprihatinan yang sama di ruang editorial.

Ini bukan revolusi, mungkin. Setidaknya bukan dalam pengertian yang kita pahami soal revolusi: berdarah dan rusuh, dan berujung penggulingan kuasa sang raja. Ini bukan pula agenda tersembunyi untuk mendelegitmasi seseorang. Ini justru perkembangan baru masyarakat mundigkeit, dewasa. Sebuah masyarakat yang, meminjam istilah dari filsuf Jerman, Jurgen Habermas, komunikatif: masyarakat yang melakukan kritik bukan melalui revolusi kekerasan, melainkan argumentasi. Demokrasi liberal memberikan ruang kepada setiap individu untuk mandiri.

Dalam diagnosis Habermas, krisis paling potensial bukanlah krisis ekonomi, namun krisis sosial-budaya. Hari ini orang di negeri ini sudah tak merasa cukup lagi bicara soal ekonomi (apalagi masalah ekonomi tumbuh atau jatuh hanya jadi perdebatan para pakar dan pemerintah yang menafsirkan angka-angka. Tuntutan keadilan di khalayak ramai layak dipandang sebagai zeitgeist, sebuah semangat zaman, dan kesadaran: bahwa sebuah sistem yang adil hanya bisa diikhtiarkan bersama. Keadilan tidak datang dari langit. Tidak bisa diharapkan dari mitos ratu adil, satria piningit, atau cerita-cerita mesianistik yang mengiringi kemunculan seorang pemimpin.

Rasa keadilan diperjuangkan dari ruang publik, dan bukan sekadar dari dalil-dalil kitab hukum yang hanya bicara soal penghukuman formalistik. Saya rasa itu lebih berharga dari sebuah revolusi.

Selamat memperingati Hari Pemberantasan Korupsi se-dunia. [wir]

Judul esai ini saya pinjam dari judul buku Goenawan Mohamad

No comments: