28 December 2009

Membungkam 'Gurita Cikeas'

Minggu malam, saya menerima SMS dari adik saya. Ia mengabarkan, ada buku 'Membongkar Gurita Cikeas' di salah satu toko buku di Surabaya. Dalam hitungan tak lama, stok buku tersebut di toko itu menipis. Saya melayangkan SMS balik adik saya dan meminta agar segera dibelikan: 'selamatkan satu untukku'.

Saya memilih kata 'selamatkan', karena saya khawatir, saya tengah terlempar dalam sebuah dejavu: sebuah perulangan peristiwa yang pernah saya alami. Saya teringat saat mahasiswa, saya tak pernah bebas membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer, sastrawan kiri dari Lekra. Buku-buku itu diedarkan secara diam-diam, dari tangan ke tangan, karena buku-buku itu dicekal oleh Kejaksaan Agung. Saya ingat, seorang aktivis mahasiswa Jogjakarta harus masuk tahanan, karena tertangkap mengedarkan buku-buku Pram.

Saya merasa saat itu, membaca buku pun (terutama buku-buku berbau kiri) adalah bagian dari heroisme. Ini seperti pernyataan sikap yang terang-benderang: kami masih bisa melawan.

Reformasi datang, dan saya bisa membaca semua buku yang saya suka. Toko-toko buku lebih variatif. Tiada sensor. Saya seperti melihat harapan baru: melalui buku dan media massa, kita membangun Indonesia yang lebih baik.

Ketika Kejaksaan Agung mengumumkan pelarangan beredarnya lima buku, saya menjadi salah satu orang yang terkaget-kaget. Saya seperti melihat awan hitam itu kembali berarak-arak. Kecemasan semakin tebal, saat mengetahui buku 'Membongkar Gurita Cikeas' karya George Junus Aditjondro juga dibayang-bayangi pencekalan.

Buku ini mengundang reaksi keras dari istana dan orang-orang dekat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Juru bicara presiden, Julian Aldrin Pasha, menyatakan: SBY prihatin. Di sebuah toko buku, Membongkar Gurita Cikeas urung dijual karena khawatir. Para pendukung SBY di pemerintahan ramai-ramai menyebut buku itu 'sampah'. Bahkan, ada ancaman untuk memperkarakan Aditjondro.

Di tengah kehebohan ini, kita memang belum mendengar adanya keputusan resmi dari pemerintah untuk melarang buku tersebut. Ini tentu sesuatu yang menggembirakan. Setelah lima buku 'dibungkam' oleh kejaksaan, tentu kita tak ingin satu buku lagi dibungkam begitu saja.

Pemerintahan SBY-Boediono sebaiknya tidak mengulangi buruk laku rezim Soeharto. Soeharto demi alasan stabilitas dengan mudah bisa membungkam penerbitan pers, dan melarang penerbitan buku tertentu. Jika ini dilakukan, maka pemerintahan SBY-Boediono sama saja menganut apa yang diyakini Hermann Goebels, propagandis Nazi yang membakar buku. Namun kita kemudian tahu rezim mana pun yang membakar buku tak pernah bisa bertahan, karena mereka tak akan pernah bisa membendung kebenaran.

Alasan stabilitas tak layak digunakan sebagai alasan untuk melarang sebuah buku. Penetrasi buku di tengah masyarakat Indonesia masih lemah. Klise, budaya baca belum tumbuh bagus di negeri ini. Jika pemerintah merasa terganggu dengan penerbitan buku George Junus Aditjondro, maka tak ada salahnya pemerintah menerbitkan semacam buku tandingan. Ini lebih bagus dan membangun kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi.

George Junus Aditjondro, mantan wartawan Majalah Tempo. Bukan sekali ini saja dia menulis buku yang mengupas borok korupsi di pemerintahan. Tahun 2006, ia menulis buku berjudul Korupsi Kepresidenan. Saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono pun sudah disinggung dengan tajam oleh Aditjondro. Namun, saat itu tidak ada reaksi sekeras sekarang.

Reaksi keras sebenarnya tidak akan menguntungkan pemerintah. Semakin keras pemerintah bereaksi, semakin panjang pulalah antrean pembeli buku ini. Semakin tumbuh dan luaslah semangat perlawanan terhadap pemerintah. Hanya karena mereaksi isi sebuah buku dengan tidak bijaksana. Alangkah sayangnya, bukan? [wir]

No comments: