26 November 2009

Batman

Saya selalu lebih menyukai Batman dibandingkan Superman. Mereka memang sama-sama membasmi kejahatan. Namun bagi saya, Batman (komik dan filmnya) lebih filosofis dalam menjelaskan kompleksitas hidup kita dibandingkan sosok Superman.

Satu hal terpenting: Superman bukan bagian dari masyarakat yang ingin ditolongnya. Ia tidak tumbuh dan mengalami persoalan keadilan yang dirasakan masyarakat bumi. Ia hanya makhluk angkasa luar dengan nama Kal-El, dari planet Kripton, yang kebetulan kesasar di bumi.

Kal-El memang dibesarkan oleh sepasang petani yang tak punya anak (ia sendiri baru mengenal ayah aslinya yang bernama Jor-El dari sebuah barang peninggalan mirip video super canggih di Kutub Utara). Sepasang petani itu lantas memberinya nama Clark Kent (sebuah nama bumi yang khas Amerika). Namun, tetap saja ia tidak dibesarkan bersama problem kebaikan versus kejahatan, karena lebih banyak hidup di desa, di antara tanaman jagung dan gandum.

Superman alias Kal-El alias Clark Kent tak ubahnya paket dari Tuhan untuk menyelesaikan problem keadilan di bumi. Namanya saja sudah mencerminkan unsur profetik: dalam bahasa Ibrani, Kal-El berarti 'suara Tuhan'. Ia seperti sebuah intervensi supranatural dari dunia di luar sana yang melampaui realitas (mana ada manusia bisa terbang tanpa bantuan apapun).

Meminjam dialog fragmen "Proyek Angkasa Luar" karya Fadly Rasyid, almarhum seniman legendaris Jember, Superman seperti makhluk ET (Extra Terrestrial) yang tiba-tiba datang dan bertanya dengan lugu kepada seorang calo kasus tentang seorang penegak hukum.

ET: "Siapa dia?"
Calo: "Petugas penegak hukum"
ET: "Jadi selama ini, hukum di sini roboh?"
Calo: "Tidak, tidak roboh, tapi juga tidak tegak. Agak miringlah!"

Saya sendiri mulanya senang, jika dalam dunia nyata, Tuhan benar-benar mengirimkan paket seperti Superman. Dengan begitu, orang seperti Emak Minah tak diperlakukan sewenang-wenang dan para penjahat tengik masuk penjara selekas-lekasnya.

Namun saya pikir Tuhan sangat menghormati otonomi hambanya yang lemah dan tak ingin mengintervensi hukum alam, dengan mengirimkan makhluk dari planet antah-berantah untuk menjadi 'tukang cuci piring' problem hukum dan keadilan. Dan setelah saya pikir-pikir lagi, justru menakutkan jika Tuhan melakukannya, karena kalau itu benar-benar terjadi, jangan-jangan dunia mau kiamat dan langit runtuh hari ini.

Saya memilih yang realistis saja: Batman. Ia sosok pahlawan, mesias, satrio piningit, berasal dari rahim masyarakat sendiri, sosok yang muncul di zaman edan (saat para bajingan menguasai kota Gotham, sementara petugas hukum sangat korup dan tak bisa diharapan untuk memenuhi rasa keadilan). Ia anak orang kaya yang mewarisi harta yang luar biasa besar, setelah menyaksikan ayah dan ibunya tewas dibedil penjahat kelas teri.

Batman, yang memiliki nama asli Bruce Wayne, lantas menggunakan sebagian harta sang ayah untuk membangun harapannya sendiri: membuat keadilan tegak. Ia memilih kelelawar sebagai alter-ego karena, "Aku ingin musuh-musuhku juga merasakan ketakutan yang sama denganku." Kelelawar memang memunculkan trauma kepada Bruce di masa kecil.

Bruce alias Batman lantas bergerak sendiri dengan tak sabar, melampaui semua kewenangan para aparat hukum. Di satu sisi, Batman tak ubahnya seorang Hakim Bao yang mengatakan, "hukum adalah saya." Ia tangkap semua bajingan tanpa surat perintah pengadilan. Ia hajar hingga mereka kelenger, dibuntel jadi satu. Dalam buku komik atau filmnya, saya tak pernah menemui Batman membunuh para penjahat itu. Namun di tengah perkelahian yang dahsyat (Batman dikepung), saya kok tidak yakin kalau tidak ada penjahat yang lagi apes lalu mati mendadak, alias tak sengaja.

Di sisi lain, kadang kala Batman terpeleset, tak bisa membedakan antara amarah karena dendam, atau amarah karena perasaan terluka akibat ketidakadilan. Sebuah dilema manusiawi dari seseorang yang pernah menyaksikan orang tuanya mati sia-sia. Sesuatu yang tak saya temui pada Superman (yang seolah-olah sudah bisa menyisihkan kemarahan dan kebencian sehingga memercayai sistem keadilan begitu saja).

Bagi masyarakat yang merindukan keadilan dan bukan sekadar hukum formal, Batman adalah refleksi ketidakberdayaan. Ia bisa menjadi wajah kita semua: sebuah wajah kemarahan kolektif dan ketidakpercayaan terhadap jalan-jalan pencarian keadilan hukum formal.

Tentu saja, laku Batman juga menghadirkan perdebatan legalitas. Bagi kepolisian dan kejaksaan, mungkin juga hakim, Batman adalah penyimpangan dari prosedur hukum. Prosedur dihilangkan, dan yang terjadi adalah bagian dari pengadilan jalanan. Bagi para legislator yang suka membuat undang-undang, Batman ini cuma bikin kisruh, karena seharusnya 'kita memperkuat lembaga kejaksaan dan kepolisian, dan bukannya memberikan kekuatan superbody kepada Batman'.

Hal yang menarik dalam komik Batman (dan juga Superman), saya tak melihat sekali pun ditampilkan sosok presiden secara dominan untuk ambil bagian dalam kisruh penegakan hukum ini. Katakanlah, presiden dalam versi komik tidak pernah mendadak mengeluarkan seruan: "Sudah seharusnya, kekuatan Batman harus memperoleh sistem cek dan keseimbangan. Power must not go unchecked." Saya tidak tahu kenapa demikian. Boleh jadi, presiden versi komik senang menyaksikan ada pahlawan super yang menyelesaikan penegakan keadilan (sesuatu yang sulit dilakukan di Gotham).

Saya membayangkan masyarakat Gotham adalah masyarakat yang letih. Mereka tidak mau ambil pusing dengan status legal-formal yang mengizinkan Batman bergerak luar biasa dahsyat, melampaui polisi dan jaksa. Mungkin masyarakat senang, ada obat penghilang rasa penat yang timbul karena berjaraknya rentang antara definisi keadilan dengan praktiknya. Hukum formal seperti mata pisau (tajam ke bawah, tumpul ke atas). Mungkin Batman di mata masyarakat Gotham tak ubahnya slogan Pegadaian: menyelesaikan masalah tanpa masalah.

Untunglah, sebagai anomali kondisi penegakan hukum yang kacau di Gotham, Batman tak sendiri. Di tengah kepolisian yang korup masih ada Gordon, seorang komisaris yang bersahaja dan tak mau kaya dengan berlumuran darah di tangan. Juga ada jaksa cantik Rachel Dawes, yang bekerja keras agar para penjahat tak memanfaatkan bolong dalam sistem peradilan legal-formal untuk meloloskan diri. Merekalah yang mengendalikan Batman agar tak bertindak terlalu jauh, dan menjaga agar fungsi lembaga hukum dan peradilan tak mati sama sekali. Mereka, dan mungkin juga beberapa orang lain, menjadi petunjuk bahwa 'pohon hukum yang renta di tengah lahan tandus kebenaran, tak selamanya menghasilkan buah yang seluruhnya busuk'.

Kepada mereka, masyarakat Gotham bisa mengharapkan apa yang disebut filsuf Joseph Fletcher sebagai kesamaan cinta kasih dan keadilan: 'keadilan adalah cinta kasih yang dibagi, tak ada lainnya'. Cinta kasih menuntut kebijaksanaan, mana yang paling efektif untuk mewujudkan apa yang bajik bersama-sama. Pada akhirnya bicara keadilan adalah bicara soal cinta kasih dan kebijaksanaan. Maka terpujilah para aparat hukum yang menjadikan nurani sebagai pilot, dan tak semata bertuhankan teks-teks kosong. [wir]

No comments: