08 November 2009

Parlemen Fisbukiyah...

Setelah menyaksikan tontonan 'haru biru' pertemuan Komisi III DPR RI dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan jajarannya di gedung DPR, rasanya saya tak bisa menyalahkan anggapan betapa absurdnya demokrasi perwakilan. Bagaimana kita bisa mengukur dan menakar keinginan rakyat dengan mempercayakannya pada sekelompok orang yang memiliki kepentingan sendiri? Rasanya sulit.

Apa yang terjadi di Komisi III menunjukkan, bahwa apa yang menjadi gairah rakyat tak selamanya sejalan dengan apa yang dipikirkan wakilnya di Senayan. Saat apatisme masyarakat terhadap lembaga kepolisian semakin tebal, para wakil rakyat yang terhormat justru tidak mengekspresikan apatisme itu, melalui pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan kritis terhadap paparan Kapolri mengenai dugaan suap di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Para legislator justru menjadikan pertemuan itu sebagai panggung memuja-muji kepolisian secara terbuka dan disiarkan langsung televisi. Sesuatu yang tidak mereka lakukan saat bertemu dengan KPK, membahas hal serupa sehari sebelumnya. Tak satu pun partai yang berani bertanya secara kritis, misalnya, tentang bagaimana Kapolri membuktikan fakta bahwa KPK tidak mengusut Menteri Kehutanan MS Ka'ban karena adanya kedekatan emosional antara Chandra Hamzah, salah satu komisioner, dengan sang menteri.

Terlepas dari pertarungan 'KPK versus kepolisian' ini, DPR gagal menjadi sarana kanalisasi demokratis bagi hasrat publik untuk mempertanyakan berbagai keganjilan dalam kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. DPR malah ikut mengadili KPK, dan bukannya menjadi lembaga yang bisa memediasi dua institusi penegak hukum yang tengah berkonflik.

Selama ini DPR bungkam dan tak terdengar suaranya terkait 'KPK versus polisi'. Masyarakat menyuarakan nuraninya justru melalui aksi unjuk rasa, forum-forum milis, surat pembaca, dan facebook. Saat DPR mulai bersuara dan mengambil peran, hasilnya justru bertentangan dengan suara khalayak ramai.

Orang pun curiga: ada 'udang di balik rempeyek kacang'. Jangan-jangan anggota dewan justru senang KPK 'dikuliti', mengingat sebagian wakil rakyat saat ini tengah berada di bawah 'tekanan' karena diduga terlibat kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Gultom. Belum lagi ada kasus lain yang mungkin saja menanti di depan sana.

Apa yang terjadi di Komisi III menandakan betapa malangnya sebuah negeri tanpa oposisi. Demokrasi yang dijalani adalah demokrasi prosedural, bukan substansial yang menjadikan kehendak rakyat sebagai referensi utama. Perilaku para anggota DPR sebagaimana yang ditunjukkan Komisi III sama saja menguatkan pendapat Noam Chomsky, seorang profesor linguistik yang juga aktivis kiri.

Menyitir Walter Lippmann (wartawan penulis buku babon Public Opinion), Chomsky menyatakan bahwa dalam demokrasi yang berfungsi baik, ada dua kelas masyarakat. Pertama, kelas para ahli yang jumlahnya kecil saja, namun berperan besar karena merekalah yang mengambil keputusan dan melaksanakan segala hal di bidang politik, ekonomi, dan ideologi.

Kedua, kelas mayoritas yang disebut 'kawanan pandir'. Fungsi mereka hanyalah penonton, dan bukan pemain. Mereka hanya dibutuhkan setiap lima tahun sekali, saat pemilu, untuk memberikan legitimasi dan suara kepada seorang pemimpin.

"Anda tidak boleh membiarkan kawanan itu menjadi partisipan...Kelas politikus dan penentu kebijakan harus memberikan pemahaman realitas yang cukup, juga menanamkan kepercayaan yang sesuai. Dan harus diingat, di balik itu ada alasan yang tak diungkap," tulis Chomsky.

Apa yang dilakukan Komisi III telah mengabaikan suara rakyat yang seharusnya menjadi suara partisipan dalam kehidupan demokrasi. Ini memunculkan implikasi serius: turunnya kepercayaan publik terhadap parlemen, yang membuka ruang kembali bagi hadirnya praktik ektra parlementer.

Kita boleh ragu bahwa kasus KPK ini bakal berujung pada gerakan kekuatan rakyat atau people power seperti tahun 1998. Namun kita perlu ingat: gerakan tahun 1998 salah satunya berawal dari defisit legitimasi parlemen dan pemerintahan.

Kita tidak tahu akan berujung di mana semua keruwetan ini. Tapi kita layak mencemaskan kehidupan demokrasi di negara ini. Plato meyakini demokrasi adalah kata lain untuk kericuhan dan berkuasanya gerombolan begundal yang ganas dan berdarah dingin, yang menjadi alat para politikus. Ia kecewa, karena gurunya, Socrates, mati di tangan kaum demokrat Athena.

Saya percaya Plato keliru. Namun jika ternyata keadilan dan kebenaran dibunuh pelan-pelan, akankah ini berarti demokrasi hanya berhak dijalankan oleh para filsuf yang bijak-bestari?

Kalau ternyata para bijak bestari yang bergerak atas dasar nurani dan akal sehat itu hanya bisa ditemui di facebook di antara para jamaah fisbukiyah, betapa sialnya Indonesia. Dan kita bersyukur, Tuhan menciptakan seorang Mark Zuckerberg yang menemukan facebook. [air/wir]

No comments: