29 October 2009

Sadaplah Daku Kau Kutangkap

Bagaimana nasib sebuah negeri yang kehidupan politiknya ditegakkan di atas teori konspirasi? Kita tidak tahu persis. Tapi mungkin kita akan banyak menemukan kejutan-kejutan seperti plot sebuah film thriller-suspenses ala Hollywood. Kejutan-kejutan itu mungkin tak akan menyenangkan bagi sebagian pemangku kuasa. Namun, dari situ agaknya kita harus bersyukur: politik tak pernah menghadirkan sebuah skenario yang sempurna.

Saat orang ramai mulai putus asa terhadap fenomena dibuntunginya Komisi Pemberantasan Korupsi, pertanyaan mengapung: apa yang tengah terjadi di negeri ini sebenarnya. Antasari Azhar diduga terlibat kasus pembunuhan. Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto dijadikan tersangka justru dengan sangkaan yang tak terang. Namun Susno Duadji, seorang petinggi polisi, yang disangka berada dalam pusaran kasus Bank Century dan bertemu dengan buron KPK, justru aman sentosa.

Orang pun kasak-kusuk, bisik-bisik, teori konspirasi mulai menyelinap dalam analisis-analisis: mulai dari obrolan warung kopi hingga di tempat-tempat diskusi berpendingin ruangan.

Namun teori konspirasi di negara yang selalu beretorika soal hukum, tapi berperilaku ganjil dan kontradiktif, seperti Indonesia, tak ubahnya bau kentut. Tak ada bukti material kentut berwarna hijau, biru, merah, atau putih. Tak ada kesaksian tentang siapa yang mengeluarkan gas busuk itu. Sampai kemudian kejutan itu muncul, 'meledak' begitu saja: Blam!: sebuah rekaman suara yang menunjukkan bahwa pusaran badai yang menerpa KPK hanyalah bagian dari konspirasi tingkat tinggi.

Transkrip rekaman suara itu beredar luas dan dipublikasikan di media massa. Teori konspirasi bukan 'kentut' lagi, dan apa yang disebut sebagai persoalan hukum pada akhirnya berputar-putar pada sebuah pertarungan politik yang samar: KPK dengan polisi dan jaksa, atau ada sesuatu yang lebih besar di balik itu.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut tersengat, karena ada penyebutan soal restu RI-1 dalam transkrip itu. Ia berencana membuat langkah hukum. Kita belum tahu langkah hukum yang bagaimana nanti bakal dilancarkan Tuan Presiden. Namun, Yudhoyono layak kaget dan berang, jika memang dirinya tak tahu-menahu soal gempuran terhadap KPK.

Yudhoyono tentu tak ingin 'Watergate' menimpa dirinya. Dalam kontroversi KPK, kecurigaan seperti itu bisa saja sewaktu-waktu mengarah kepadanya, apalagi, entah kebetulan atau tidak, 'goro-goro' KPK terjadi tak lama setelah dirinya melontarkan pernyataan yang dinilai sebagian pihak justru melemahkan KPK.

Watergate, sebuah skandal yang melemparkan Richard 'Tricky Dick' Nixon dari kursi empuk di Gedung Putih. Awalnya, Watergate hanya kasus pembobolan kantor biasa. Namun berkat kerja keras duet reporter The Washington Post dan bisikan pejabat yang muak dengan kemunafikan pemerintah seperti Mark Felt, belakangan terungkap: Watergate juga sebuah skandal tentang rekaman penyadap yang justru dilakukan oleh Nixon sendiri.

Saya tidak tahu persis bagaimana rekaman itu bisa menggelinding masuk ke media massa. Jika isi rekaman itu memang benar sebagaimana yang dimuat di media massa, maka saya bersyukur. Rekaman itu tak ubahnya 'hak jawab' bagi KPK yang dihajar babak-belur tanpa bisa membalas. Di tengah keruwetan itu, publik bisa menilai betapa gawatnya urusan politik dan penegakan hukum di republik ini.

Kepolisian dan kejaksaan tak perlu bersikap berlebihan menanggapi rekaman tersebut. Pembelaan diri berlebihan justru mencurigakan, karena boleh jadi secara resmi lembaga-lembaga itu tak melakukan sebagaimana yang terungkap dalam rekaman tersebut.

Justru, pihak-pihak yang telah mengkriminalisasi dua pimpinan KPK karena kewenangannya perlu menjelaskan kepada publik, apa yang sebenarnya terjadi. Pilihannya, apa boleh buat, harus di ruang pengadilan. Jika pada saatnya nanti di pengadilan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK tak terbukti, maka ada tugas berat yang menanti institusi kepolisian dan kejaksaan: memperbaiki citra yang kadung amburadul.

Presiden Yudhoyono, dalam hal ini, berhak geram dan memang harus marah terhadap kondisi penegakan hukum di Indonesia. Apalagi pagi-pagi, ia sudah mencitrakan diri sebagai bagian dari arus besar perang terhadap korupsi. Namun, Yudhoyono hendaknya bisa menahan diri dan tak terlarut dalam emosi, karena merasa namanya kena catut. Jika memang dia merasa tak pernah menjadi bagian dari skenario konspirasi menghabisi KPK, maka sudah saatnya dia tampil dan mendorong penyelesaian hukum yang adil dalam kasus kriminalisasi pimpinan KPK ini.

Jangan sampai kasus ini menjadi lawakan ala Srimulat dengan judul yang tragis: Sadaplah Daku Kau Kutangkap. Alamak! [wir]

No comments: