23 October 2009

Deradikalisasi dari Banteng Barat

Tewasnya gembong teroris asal Malaysia yang selalu bikin kacau di Indonesia, Noordin M. Top, menjadi titik baru penumpasan gerakan teror. Tak lama setelah Noordin tewas, sejumlah gembong dan pelaku terorisme juga tewas maupun dibekuk kepolisian.

Sejumlah kalangan pun berharap, bibit-bibit gerakan teror baru jangan sampai tumbuh dan membesar. Bibit-bibit ini harus segera dipadamkan sebagai bentuk antisipasi, dan dalam konteks ini, orang pun mulai ramai bicara soal alternatif memerangi terorisme.

Selama ini, ada kecenderungan untuk menekankan metode opresif dalam memerangi terorisme: penangkapan, penembakan, dan hukuman mati. Ada asumsi, metode yang serupa perang ini bakal bisa menghabisi gerakan terorisme, dengan membasmi (menangkap atau membunuh) para pelaku utama teror. Dalam jangka pendek, metode ini boleh jadi memang cukup manjur. Jaringan teror sedikit-banyak koyak oleh tindakan keras aparat. Kelompok-kelompok teroris harus tiarap, dan beberapa rencana teror bom pun terindikasi gagal menyusul disitanya sejumlah 'peralatan perang' mereka oleh petugas kepolisian.

Namun perang melawan terorisme bukanlah perang konvensional. Tidak ada dua negara atau dua pasukan yang berhadap-hadapan di sini. Bahkan, kita sulit mengidentifikasi mana pasukan musuh. Mereka bisa siapa saja: pegawai hotel, pelajar, pedagang. Mereka tak pernah menampakkan diri. Tiba-tiba saja kota dikejutkan oleh ledakan bom di sana, ledakan bom di sini.

Karena ini bukan perang konvensional, kekerasan tak akan pernah bisa memadamkan ideologi dan keyakinan. Alih-alih demikian, tindakan represif aparat justru mengobarkan keyakinan para pelaku teror. Matinya sejumlah petinggi teroris (baik karena tertembak dalam upaya penangkapan maupun dihukum mati), justru menjadi suntikan semangat 'jihad' baru melawan 'thogut'. Mereka yang tewas justru dijadikan role model, model percontohan tentang kegigihan dan pengorbanan seperti semboyan: hidup mulia atau mayi syahid.

Hal ini agaknya disadari oleh pemerintah. Maka, mulai menggelindinglah wacana deradikalisasi terhadap orang-orang yang saat ini ditahan atau pernah ditangkap oleh aparat kepolisian, karena terindikasi terlibat aksi teror. Namun menumpulkan daya ledak radikal kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama bukan urusan enteng. Sampai saat ini, perdebatan mengenai bagaimana proses deradikalisasi seharusnya dilakukan, masih belum tuntas.

Sebagian kalangan menyatakan proses radikalisasi terkait masalah ekonomi. Mereka mendasarkan pada asumsi: kemiskinan atau ketidakberdayaan ekonomi membuat orang menjadi gelap mata dan dihadapkan pada pilihan-pilihan terbatas. Dalam konteks ini, gerakan terorisme dipersepsikan sebagai bentuk ekpresi rasa frustasi orang-orang yang kalah dalam mencapai kesejahteraan. Lebih ekstrim lagi: terorisme muncul di negara dengan sistem ekonomi yang menolak pasar bebas, yang dengan demikian kesejahteraan rakyatnya tertinggal.

Solusi deradikalisasi menurut versi pendapat ini: memberikan para kaum radikal pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini yang pernah dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap para aktivis Negara Islam Indonesia: memberikan konsesi pengelolaan bisnis minyak tanah.

Kalangan yang lain menilai radikalisasi terkait masalah ketidakadilan peta politik internasional. Kemunculan gerakan teror atas nama agama ini dipandang sebagi bukti kebenaran tesis Huntington mengenai benturan peradaban. Di jurnal Foreign Affairs pada tahun 1993, Huntington menyatakan, setelah perang dingin antara Amerika Serikat dengan Soviet berakhir, maka tantangan terberat Barat datang dari entitas-entitas budaya terutama Islam. Benturan tak lagi menyentuh urusan politik kekuasaan, tapi juga kebudayaan.

Selama ini, Amerika Serikat selalu disimbolkan sebagai musuh bersama, rezim lalim yang mencampuri urusan negara lain seenak udel sendiri. "Globalisasi tampak seperti sebuah strategi penjajah seekor gurita ekonomi yang dikuasai Amerika," kata Benjamin Barber dalam buku Jihad Vs. McWorld.

Amerika Serikat dan sekutunya yang masuk ke negara-negara berpenduduk Muslim dipandang sebagai penghancur Islam. Isu paling panas tentu saja adalah standar ganda dan tak adil dalam menyikapi konflik Palestina dan Israel. Benjamin Barber menegaskan, perang melawan terorisme masih juga berupa perang demi keadilan jika ingin berhasil.

Solusi deradikalisasi menurut pandangan ini tentu saja lebih repot. Pemerintah Indonesia tentu tak punya kekuasaan untuk mencegah Amerika dan sekutunya untuk berbuat seenaknya di Afganistan, Irak, maupun Palestina. Deradikalisasi dalam perspektif konflik internasional ini bisa menemui jalan buntu, jika akar persoalan ketidakadilan tidak segera dituntaskan.

Namun, ada pandangan lain yang tak kalah mendasar mengenai radikalisasi: teologis. Radikalisasi dalam perspektif teologi ini, saya pikir, justru memegang peran paling penting dibanding dua perspektif sebelumnya. Para pelaku teror (bom bunuh diri) menggunakan dalih teologi sebagai rasionalisasi. Suntikan motivasi dan doktrin jihad yang melingkar-lingkar di kepala mereka bukanlah urusan ekonomi, melainkan urusan pahala dan surga. Maka deradikalisasi terpenting adalah meluruskan pemahaman mengenai makna jihad.

Deradikalisasi teologis selama ini banyak diharapkan datang dari kelompok-kelompok masyarakat sipil keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Namun pemerintah tak bisa bergantung hanya kepada kedua ormas itu. Pemerintah harus memimpin deradikalisasi teologis ini.

Departemen Agama seharusnya mengambil peran dalam program deradikalisasi teologis ini. Sudah saatnya, Departemen Agama menunjukkan jati diri sebagai departemen yang tak hanya mengurusi masalah haji dan penentuan tanggal berpuasa maupun berlebaran. Menteri Agama (dalam hal ini Suryadharma Ali) perlu mempertontonkan kapasitas, bahwa posisi menteri bukanlah posisi yang jatuh dari 'langit kompromi politik'.

Suryadharma Ali perlu mendekati organisasi-organisasi Islam untuk memimpin langsung program deradikalisasi, sebagai bagian perang melaan teror. Pertama, dengan memimpin program deradikalisasi teologis, pemerintah akan mendapat pengakuan dari dunia luar, bahwa negara tidak membiarkan pemahaman yang bertentangan dengan kemanusiaan berkembang.

Kedua, memberikan pesan kepada kelompok-kelompok radikal, bahwa negara memiliki kapasitas untuk menyampaikan tafsir agama yang lebih beradab dan tak serampangan. Ini harapannya akan mematahkan kesan dari kelompok radikal, bahwa Indonesia adalah negara sekuler yang takluk di bawah kendali kekuatan Barat yang menginginkan 'perang atas teror' hanya dilakukan dengan jalan pedang.

Menurut saya, keberhasilan deradikalisasi yang dipimpin langsung oleh Menteri Agama, sedikit banyak akan menepis keraguan terhadap kapasitas seorang Suryadharma Ali. Kendati masih bisa diklaim sebagai representasi NU (ia saat ini ketua umum PPP dan pernah menjabat ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, sebuah organisasi yang berafilisasi dengan NU), Suryadharma bukanlah sosok 'agamawan profesional'. Selama ini ia lebih banyak berkibar di jalur politik daripada jalur keagamaan. Bahkan, sebelumnya, ia menjabat menteri yang mengurusi koperasi dan usaha kecil.�

Maka saatnya gerakan deradikalisasi diawali dari Lapangan Banteng Barat (alamat kantor Depag). Ini akan menjadi pembuktian bagi Suryadharma, bahwa dirinya mampu membawa Departemen Agama berperan mengatasi persoalan kebangsaan terkini. Sesuatu yang selama ini dinilai absen dari sebuah departemen yang beberapa kali dihebohkan oleh kasus korupsi. [wir]

No comments: