20 October 2009

Sinatra, Ali, di Ujung Hari

Frank Sinatra sebal benar. Hidungnya meler. Suaranya agak bindeng. Influenza menyerangnya. Ia menjelang 50 tahun, dan selesma benar-benar mengganggunya. Reporter Gay Talese dalam artikel yang dimuat di majalah Esquire, “Frank Sinatra Has A Cold”, menulis kondisi sang legenda dengan tanpa maksud melebihkan.

“Frank Sinatra dengan selesma adalah Picasso tanpa lukisan, Ferrari tanpa bensin – hanya lebih parah,” tulisnya. Guncangan yang ditimbulkan seorang Sinatra dengan selesma pada industri hiburan sebanding dengan guncangnya perekonomian nasional ketika presiden sakit mendadak.

Mau bagaimana lagi? Sinatra, dialah sang legenda. Di usia setengah abad di tahun 1965, ia masih merasa sebagai sang raja. Merasa perlu meyakinkan dirinya sebagai Maharaja, mungkin. Namun, anak-anak muda menuntut lebih.

Mereka tak cukup dengan lagu ‘My Way’ atau ‘In the Wee Small Hours of the Morning’. Mereka butuh sesuatu yang rancak. Rock n’ roll. Dan itu disediakan oleh empat anak muda asal Liverpool: The Beatles.

Maka, di pengujung hari, Sinatra merasa sebagai simbol kemapanan berhadapan dengan badai perubahan. Rilis pers yang dibuat agennya Mahoney menabuh genderang perang itu: “Jika Anda kebetulan sudah lelah dengan para penyanyi ingusan berambut kain pel yang cukup tebal untuk menyembunyikan satu gerobak melon…”

Sinatra mungkin mendadak seperti orang yang sadar bahwa masa jayanya akan tergantikan, namun ia tak bisa melepasnya begitu saja. Ia berada di puncak, dan lereng turun tentu curam. Ia perlu melawan, menunjukkannya. Dan ia masih menyebalkan bagi sebagian orang dengan semua kerewelan superstar-nya.

Sinatra tua masih melewatkan hari-harinya dengan satu dua gelas bourbon, berada di pub, kongkow-kongkow, syuting di televisi mengobarkan peperangannya. Ia juga menyempatkan diri ke Vegas. Berjudi. Menonton seorang bakal legenda di awal karirnya: Cassius Clay.

Clay menari. Menonjok. Menghunjam dan mempermainkan Floyd Patterson di hadapan Sinatra. Pertarungan itu, tulis Talese, disebut perang suci antara kaum Muslim melawan Kristen. Sebutan yang terlalu berlebihan bagi sebuah pertarungan di atas ring tinju. Clay, muslim dan mengubah namanya menjadi Muhammad Ali. Namun, ia terbang melampaui sekat-sekat itu dan menjadi tokoh yang universal.

Sejak awal, Ali sudah ditahbiskan sebagai tokoh pendobrak di zamannya. Peperangannya bukanlah peperangan Sinatra, tentang stabilitas di dunia glamor tua yang terusik oleh datangnya anak-anak muda. Peperangan Ali adalah peperangan tentang martabat.

Cal Fussman dalam artikelnya berjudul ‘Ali’ di Esquire edisi Oktober 2003 menulis, Ali yang masih bernama Clay membuang medali emas yang diperolehnya di olimpiade ke sungai Ohio. Tepat setelah ia masuk ke sebuah kedai di Louiseville, memesan makanan, dan mendapatkan penolakan dari orang seisi kedai. “Kami tak melayani negro,” kata mereka.

Maka Ali pun mendedikasikan hidupnya untuk memerangi kontradiksi-kontradiksi yang dialaminya sejak muda. Ia bertemu dengan banyak orang dan masih memesona mereka. Ia tak mengasihani diri sendiri dengan parkinson yang menggangsir tubuhnya.

“Inilah lelaki yang, ketika ditanyai ia ingin hidup sampai umur berapa, menyebut angka seratus…Dan jika kau perlu kata-kata, hikmah yang ia ambil dari hidup bisa direduksi menjadi satu. Memberilah,” tulis Fussman.

Sinatra dan Ali. Dua episode peperangan tak terlupakan. [wir]

No comments: