30 September 2009

Miyabi

Saya tidak tahu kapan Maria Ozawa akan ke Indonesia. Tapi hari ini saya membayangkan dia seperti Pariyem dalam novel Linus Suryadi Ag. Pariyem adalah babu berbodi montok dengan susu yang padat, yang dihamili anak juragannya, Raden Bagus Ario Atmojo. Dia cinta sang anak juragan, tapi orang ramai mempertanyakan atau menakar moralitasnya, karena bersetubuh dan hamil di luar nikah.

"Nama saya Maria Ozawa. Orang juga sering memanggil saya Miyabi. Saya mau datang ke Indonesia, karena diajak main film yang judulnya menggunakan nama saya."

"Coba saja lo berani ke Indonesia. Kalau gue presiden, udah gue undang lo ke istana, gue ceramahin, gue suruh tobat. Lo mau ngerusak bangsa ini ya?" sergah A, ustadz muda yang sering tampil di televisi.

"Tidak bisa. Kamu tidak usah datang ke Indonesia. Indonesia negara dengan mayoritas umat Islam. Kalau sampai kamu main di sini, bangsa ini akan tercoreng," kata B, wakil rakyat yang juga perempuan.

"Mbak Maria Miyabi itu siapa sih? Artis baru ya?" tanya C, ibu rumah tangga yang suka nonton acara gosip artis di televisi.

"Sst... jangan keras-keras! Dia itu artis film porno, Bu'e," kata D, suami yang masa mudanya suka nonton Miyabi.

"Kamu suka nonton, ya? Awas, lho sampeyan, Pak'e," sahut E, istri yang baru saja menikah, dengan mata mendelik.

"Nama saya Maria Ozawa. Orang sering juga memanggil saya Miyabi. Umur saya baru 23. Saya mengetahui 48 posisi bercinta, dan saya memang main film saru di Jepang."

"Iya, iya. Saya sudah nonton. Wajahmu sangat oriental. Saya koleksi film kamu, lho," kata F, aktor muda ganteng yang suka main di sinetron.

"Tapi, dia di sini bukan main film biru. Film bikinan saya tak ada unsur pornonya. Ini film komedi," kata G, pekerja film, dengan nada putus asa.

"Sudahlah, mbok jangan aneh-aneh. Indonesia bisa kena citra jelek kalau mengimpor bintang porno. Kayak kekurangan bintang dalam negeri saja sih," kata H, tetua pakar agama dan ahli fatwa.

"Saya siap diajak main filmnya. Itu juga kalau diminta," lontar I, wakil rakyat yang lain yang memang kadang-kadang 'mendadak artis'.

"Kalau kita mencekal orang karena predikatnya, bagaimana kalau kita dicekal negara lain karena predikat negara terkorup kita hayo. Lhak susah dewe to," kata J, budayawan yang pernah bikin merah kuping presiden.

"Ya sudah. Selama Miyabi di sini tidak bikin yang porno-porno, silakan saja ke Indonesia," ujar K, Pak Menteri yang banyak mengurusi masalah film.

"Tunggu dulu. Penolakan para tetua pemberi fatwa sudah benar, tidak usah disoal-soal lagi. Kalau mau bikin film itu semestinya meniru artis dari Amerika Serikat itu lho, yang katanya syuting di Bali. Filmnya bagus," sahut L, Bu Menteri yang banyak mengurus masalah perempuan.

Moralitas di Indonesia, agaknya tak hanya berhenti pada laku dan sikap. Ia terus diterpa suara orang banyak yang bising, kadang menggerundel, kadang berteriak: ini yang baik, itu yang buruk.

Kita memperdebatkan moralitas seperti memperdebatkan air dalam gelas yang tinggal separuh isi: apakah gelas separuh terisi ataukah separuh kosong. Ini seperti memperdebatkan apakah manusia pada dasarnya baik atau diisi hawa nafsu buruk.

Lalu, Maria Ozawa hendak mendarat ke Indonesia. Dan ramai-ramai kita tak lagi berdebat soal air dalam gelas, tapi soal gelas itu sendiri. Kalau gelas itu tak indah atau mungkin agak sedikit rengat, apa gunanya memperdebatkan air di dalamnya apakah separuh terisi atau separuh kosong. Kita juga tak peduli kalau air di dalam gelas adalah air putih yang layak diminum, dan bukannya comberan.

Akhirnya, moralitas kita referensikan pada persona, yang ironisnya, acap tak mempesona. Mungkin karena pikiran tak bisa ditangkap, tapi tubuh, wadah bagi pikiran itu, yang bisa dihukum. Meski kita sering tak konsisten.

Saya tidak bisa memahami ini: jika kita bisa menolak Miyabi karena referensi personanya sebagai artis porno, mengapa kita dulu tak bisa menolak George Bush, Presiden Amerika Serikat yang brengsek dan bikin kerusakan di mana-mana.

Standar ganda: mungkinkah ini karena kita lebih berani berteriak soal moral kepada mereka yang tak punya kuasa. Sama persis dengan penguasa dan masyarakat Yunani yang dulu membungkam Socrates dan risalah moralnya.

"Mereka bilang aku merusak kaum muda Athena," kata Socrates pada suatu ketika. Ia anak tukang batu biasa di Yunani kuno. Punggungnya bungkuk, kepalanya licin botak, tubuhnya gemuk, dan kakinya polio.

Socrates tidak berteriak tentang 'ini baik dan itu buruk', tapi bertanya tentang apa yang baik itu, kepada setiap orang yang ditemuinya. Ia menyerukan tentang perlunya manusia memahami diri sendiri. Kebajikan adalah pengetahuan. Mungkin Socrates benar. Namun, ia mengganggu konvensi moralitas umum, tentang apa yang patut dan tidak, dan tubuhnya yang harus dihukum.

Socrates mati setelah minum secawan racun cemara. Namun apakah nilai-nilai moral yang diyakinya juga mati? Miyabi mungkin kelak benar-benar tak jadi datang ke Indonesia, tapi apakah 'dekadensi moral' yang dinisbatkan kepadanya lantas absen dari Indonesia? Saya tidak tahu apakah wakil rakyat yang terhormat berselingkuh atau bermain syahwat dengan orang dekat, karena tergoda oleh film-film Miyabi.


"Nama saya Maria Ozawa. Orang sering memanggil saya Miyabi. Tubuh saya sudah tak suci lagi. Lingga-lingga itu telah menerabas bibir gua garba. Saya telah diusir kedua orang tua saya. Saya sudah memecat empat pacar saya. Namun kelak saya berharap berhenti dan menikah dengan orang yang saya cintai, bermain film baik-baik seperti di Indonesia. Kini bolehkah saya datang?"

Saya tidak tahu, Miyabi. Sungguh, saya tidak tahu. Entah jika kemudian kamu mengubah diri seperti kartu lebaran yang dikirimkan seorang kawan saya yang tengah iseng melalui Facebook. Dalam kartu itu, engkau tampil berkerudung dan mengucapkan selamat idul fitri, dan berpesan: 'kebaikan yang sudah kita kerjakan selama 1 bulan selama bulan Ramadhan, marilah kita lanjutkan dengan tidak lagi men-dowload film-film saya..."

Entah bagaimana bisa dirimu dipermak sedemikian rupa sehingga tampil dengan ketaatan relijius. Saya tertawa. Kebajikan dan kebijaksanaan yang disampaikan tidak dengan wajah yang seram, kadang bisa menggerakkan hati. [wir]

No comments: