26 September 2009

Memaafkan, Tak Melupakan...

Hanya di masa lebaran, saya merasa kata maaf mendadak tak ubahnya puisi. Ponsel saya dihujani layanan pesan pendek berisi permohonan maaf dari sanak kerabat dan sahabat, dengan kata-kata indah. Sebagian mirip dengan yang lain (agaknya hanya mereproduksi kata-kata orang lain): tapi intinya tetap sebuah permintaan maaf yang indah.

Di masa kecepatan adalah segalanya, dan dunia seperti dilipat (ini menurut Yasraf Amir Piliang), atau dunia menjadi datar (seperti kata Thomas Friedman), SMS menggantikan kartu pos. Namun substansinya tetap: SMS menjadi penanda kehadiran, present. Ia tak sekadar penyampai permintaan maaf.

Ketika sebuah SMS dari seorang kawan datang, maka saya merasakan sebuah pengakuan terhadap diri saya: bahwa saya masih hadir dalam hidupnya, dalam memorinya. Walau ironis juga, kenangan tentang saya adalah kenangan tentang kemungkinan saya atau kawan saya itu berbuat silap.

Namun, kesilapan itu yang membuat kita menjadi lebih manusiawi. Kesalahan kita dalam hidup seseorang adalah penanda kehadiran kita, mungkin itu yang membuat hidup kita terasa berarti. Penanda adanya kehadiran sekaligus menandakan adanya harapan, bahwa hidup kita belum habis. Kita boleh merasa frustasi, marah, dan merasa gagal. Namun apa yang lebih menyakitkan selain dilupakan?

Ketika orang lupa, maka orang menganggap kita sudah tak begitu bernilai. Kita dianggap hilang begitu saja. Kebajikan dan kesalahan yang kita perbuat di masa silam dianggap sama derajatnya, dan oleh sebab itu, maka selayaknya dilupakan saja. Jika demikian, apalah arti menjadi manusia?

Namun, bagaimana jika pemerintah, politisi, partai politik, para orang terhormat yang mengaku wakil rakyat yang kemudian lupa terhadap rakyatnya? Apalah artinya menjadi rakyat?

Setahun silam, di saat lebaran seperti ini, partai-partai politik berlomba membuat acara mudik bareng yang nyaman. Hari ini, mudik tetap ramai, tapi partai-partai itu pergi entah ke mana. Tidak ada lagi mudik bareng yang gegap gempita di bawah kibaran panji-panji partai X, partai Y, atau partai Z. Semua selesai setelah kursi-kursi di Senayan diketahui penghuninya.

Di daerah-daerah bencana, rakyat menanggung sepi dan perih berlebaran dalam kedukaan. Tiada lagi kibaran bendera partai di sana-sini. Sunyi. Jangankan bantuan yang menggerojok deras sebagaimana yang terjadi di daerah bencana sebelum pemilu. SMS atau kartu pos berkata-kata puitis tentang permintaan maaf dan terima kasih telah didukung saat pemilu lalu juga tak mereka terima.

Paling celaka tiga belas tentu saja, jika pemerintah yang mendadak lupa tentang dosa-dosa korupsi, lalu 'berjamaah' membonsai Komisi Pemberantasan Korupsi. Skandal Bank Century belum kelar, KPK sudah dibikin letoy. Rakyat hanya bisa jadi penonton.

Para pejabat negara membuka pintu rumah mereka untuk menerima para tamu. Lalu orang antre beramai-ramai datang, bersalaman, ada yang benar-benar ikhlas minta maaf, ada yang sekadar unjuk wajah biar diingat atasan. Semoga saja, para pejabat itu tak cuma ingat membuka pintu rumah mereka agar orang bisa datang berama-ramai. Tapi juga ingat untuk mengunjungi rakyat di daerah bencana, yang tak bisa datang beramai-ramai ke rumah para pejabat untuk bersalaman dan meminta sedikit sedekah.

Mungkin memang sudah nasib rakyat: mudah dilupakan. Lalu lima tahun mendatang, menjelang pemilu, para politisi, partai, dan kandidat presiden ramai-ramai ingat dan minta maaf: sori, selama lima tahun sebelumnya terabaikan. Bahasa kerennya: maaf, jika kerja kami kurang maksimal dan harus dibenahi.

Memang sudah nasib rakyat, mungkin: mudah memaafkan. Bersamaan dengan datangnya lebaran, rakyat akan mengampuni kelakuan para pemangku urusan negara. Namun, memaafkan bukan berarti melupakan. Teruslah melupakan rakyat sampai masa penghukuman itu tiba di bilik suara: rakyat tak akan memilih mereka lagi. Kalau sudah begini, lebih baik mereka berdoa lekas-lekas, semoga rakyat mengalami amnesia dan melupakan kesalahan-kesalahan mereka. [wir]

No comments: