07 October 2009

9 Alasan Golkar Beroposisi

Sudahlah, Golkar. Inilah saatnya belajar beroposisi. Pilihan itu memang hanya dua: beroposisi atau mendompleng rezim Yudhoyono. Namun setidaknya ada sembilan alasan mengapa Golkar harus beroposisi, dan bukannya memepet Yudhoyono atau mengemis posisi menteri di kabinet.

Pertama: selama perjalanan lima tahun ke depan, Indonesia butuh oposisi yang kuat di parlemen untuk mencegah otoritarianisme kembali. Potensi kembalinya otoritarianisme dalam bentuk yang lebih lunak sebenarnya sudah tampak. Ambil misal, keinginan pemerintah untuk membuat regulasi tentang rahasia negara, atau mulai diperlemahnya peran komisi antikorupsi. Dalam hal ini, keberadaan Golkar sebagai partai dengan kursi terbanyak kedua di parlemen menjadi penting, sebagai orang yang berteriak mengingatkan pemerintahan agar tak melenceng.

Kedua: ikut dalam pemerintahan, tak membuat nama Golkar terdongkrak. Rasanya cukup sudah pelajaran yang diperoleh Golkar semasa dipimpin Muhammad Jusuf Kalla. Kalla menjadikan Golkar sebagai bagian dari pemerintahan Yudhoyono selama lima tahun silam. Ide-ide segar kebijakan pemerintah juga meluncur dari Kalla. Tapi apalah kata, apa yang dinilai sebagai keberhasilan pemerintah gagal diklaim oleh Golkar. Yudhoyono dan Demokrat (yang saat itu hanya tujuh persen di parlemen) berhasil memanfaatkan klaim itu untuk merebut kemenangan dalam pemilu 2009.

Saya tidak tahu, teori macam mana lagi yang mau dipakai untuk membenarkan 'percintaan' rezim SBY-Boediono dengan Golkar. Lima tahun lalu, dengan ketua umum yang menjadi 'the real president' saja Golkar gagal mendongkrak citra melalui pemerintahan. Bagaimana pula mau berharap mendongkrak citra dengan mendompleng pemerintah saat ini?

Ketiga: menunjukkan perbedaan dengan Demokrat. Secara umum, Golkar dan Demokrat tak berbeda jauh. karakter Keduanya memang dirancang sebagai partai penopang kekuasaan. Mereka juga partai berideologi birokrat dan stabilitas, dalam arti memiliki orientasi pemerintahan, pembangunan, dan tak terikat dengan romantisme ideologi masa lalu. Keduanya juga tergantung pada figur seorang ketua dewan pembina: Golkar pada Soeharto, dan Demokrat pada SBY. Keduanya juga didominasi oleh wajah-wajah (eks) petinggi militer.

Bergabung dengan pemerintahan Yudhoyono hanya akan membuat Golkar tak memiliki diferensiasi jelas, jika dibandingkan dengan Demokrat. Padahal, partai yang bisa bertahan ke depan adalah partai yang bisa menunjukkan diferensiasi, baik dalam hal ideologi (sebagaimana dimiliki PKS dan PDIP) maupun konstituen (sebagaimana dimiliki PKB). Di tengah pragmatisme politik di masyarakat, dua hal itu sebenarnya yang bisa diharapkan untuk menyelamatkan partai.

Keempat: menyelamatkan Golkar dari citra kegagalan pemerintah. Jika sebuah keberhasilan adalah sebuah pertarungan klaim yang sulit dimenangkan, maka tidaklah demikian dengan sebuah kegagalan. Setiap kegagalan membutuhkan kambing hitam. Ikut dalam pemerintahan SBY-Boediono membuat Golkar membuka diri untuk menjadi bagian dari sebuah kegagalan atau kesalahan, jika suatu ketika pemerintahan ini keseleo di tengah jalan.

Kelima: demi kaderisasi. Di bawah kepemimpinan Kalla, Golkar memang kalah dua kali, dalam pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Namun di bawah kepemimpinan Kalla pula kita menyaksikan generasi baru mulai tumbuh. Para politisi muda ini mau bergerak di tengah himpitan kaum tua yang masih mendominasi. Generasi muda partai ini memiliki ideologi dan semangat untuk berdiri sebagai oposisi pemerintahan. Mereka tidak mengharamkan oposisi sebagaimana sebagian kaum tua. Golkar akan memadamkan semangat regerenasi ini, jika pada akhirnya lebih memilih merangkul pemerintahan Yudhoyono ketimbang berseberangan.

Keenam: konsolidasi partai. Setiap konsolidasi membutuhkan apa yang disebut 'alasan perjuangan' sebagai medium. Menjadi oposisi akan mengembalikan pola pikir para kader partai, bahwa mereka harus kembali berjuang agar Golkar naik peringkat pada pemilu 2014. Beroposisi akan memberi kesadaran bahwa mereka bukan lagi bagian dari pemerintahan dan tak terjebak romantisme sebagai partai pembangunan, yang tak jelas apa maksudnya dan definisinya (semua partai juga mengklaim mengabdi untuk pembangunan). Beroposisi menciptakan etos perjuangan.

Ketujuh: menciptakan kemandirian partai. Selama masa Orde Baru, Golkar diidentikkan dengan partai penguasa. Sebagai penguasa, Golkar menikmati berbagai 'kemewahan' dan pengistimewaan: konstituen dari kelompok pegawai negara, suplai duit dari negara dan pengusaha, serta pengamanan dari kelompok tentara. Saat ini, semua 'kemewahan' itu sudah terlucuti. Golkar saatnya berdiri mandiri, dan ini bisa dilakukan dengan cara mengubah pola pikir kader partai. Memepet kekuasaan dan memanfaatkan pos-pos di pemerintahan menunjukkan bahwa partai ini belum siap mandiri.

Kedelapan: harga diri dan posisi tawar partai. Menjadi bagian dari sebuah koalisi besar, yang tanpa dukungan Golkar pun sebenarnya sudah bisa menjadi mayoritas, hanya akan merendahkan posisi partai. Golkar tak bisa berdiri sejajar dengan Yudhoyono sebagai mitra, namun hanya berdiri sebagai subordinat. Ini berdampak buruk pada moral kader partai, mengingat Golkar sebenarnya masih cukup kuat di daerah-daerah.

Golkar boleh saja kalah di tingkat pusat. Namun, di daerah, kendati Demokrat berkuasa di mana-mana dalam pemilu lalu, sejatinya Golkar masih memiliki kekuatan yang tak bisa diremehkan. Sebagian besar politisi Golkar di parlemen-parlemen daerah memiliki pengalaman dan kematangan jika dibandingkan politisi Demokrat. Beroposisi di tingkat pusat dan merebut kemenangan di daerah-daerah dalam pemilihan kepala daerah melalui kepiawaian politisi berpengalaman akan memperkuat konsolidasi partai.���

Kesembilan: beroposisi sebagai panggilan sejarah dan proses reideologisasi Golkar. Indra Piliang, salah satu tokoh muda Golkar pernah berkata kepada saya, beroposisi sama dengan menulis ulang sejarah partai itu. Saya berpendapat sejarah Golkar memang harus ditulis ulang, dengan cara menjadi oposisi. Melalui oposisi, para kader Golkar bisa kembali mendefinisikan ideologi partai yang selama ini seolah tak lepas dari ideologi birokrat, partai pemerintah. Penguatan dan pendefinisian kembali ideologi ini bisa berjalan baik, jika Golkar memiliki perspektif lain dalam memandang pemerintahan, yang itu hanya bisa dilakukan sebagai oposisi. Golkar juga bisa menjadi teladan bagaimana seharusnya oposisi yang benar dan santun, serta tak asal beda, karena pernah berpengalaman di pemerintahan selama bertahun-tahun.

Itulah sembilan pertimbangan menjadi oposisi untuk Golkar. Kenapa sembilan? Meniru kata Yudhoyono di sebuah media, "Ini agak personal. Sembilan adalah angka keberuntungan saya." [wir]

No comments: