17 September 2009

Bertahanlah Sang Cicak

Saya senang, saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diibaratkan cicak yang berhadapan dengan buaya. Belakangan, ada lagi tambahan: godzilla, monster besar mitologi Jepang. Cicak itu harus berhadapan dengan godzilla, yang menurut Jaksa Agung, adalah gambaran kekuatan kepolisian dan kejaksaan.

Cicak amat bersahabat dengan masa kecil kita ketimbang buaya dan godzilla. Saat kita masih kanak-kanak, kita diajarkan sebuah lagu yang sesungguhnya memiliki makna penghargaan kita terhadap alam: tentang seeekor cicak yang merayap diam-diam dan menangkap seekor nyamuk.

Cicak acap kali dilambangkan sebagai makhluk yang lemah. Ia hanya mampu beroperasi di dinding-dinding rumah kita. Menangkapi nyamuk dengan lidahnya, sesekali berdecak-decak. Namun, saya tidak bisa membayangkan: betapa terganggunya hidup kita dengan seliweran nyamuk yang rakus mengisap darah, tanpa adanya sang cicak.�

Cicak memang kecil dan tampak ringkih. Namun, orang Jawa bilang, kalau saat kita asyik tidur ada cicak jatuh dan nemplok ke tubuh kita: itu pertanda buruk. Betapa hebatnya sang cicak. Dia lemah, namun bisa menjadi pertanda sesuatu yang buruk.

Jadi saya kira petinggi kepolisian sangat tepat menyebut KPK dengan sebutan cicak. Secara ekspresif, mungkin dia ingin menunjukkan bahwa KPK tak sebanding dengan kepolisian. Apalagi sebagian besar penyidik KPK adalah representasi polisi. Namun, dalam alam bawah sadarnya, mungkin juga Pak Jenderal Polisi ini mengakui bahwa cicak lebih familiar dengan manusia daripada buaya.

Buaya, siapa pula yang mau berdekat-dekatan dengan hewan satu ini. Ia lambang kebuasan, memangsa semuanya. Bahkan, seorang pawang buaya asal Australia pun konon tewas digigitnya. Dalam dunia dongeng masa kanak-kanak kita, buaya tak pernah disebut-sebut sebagai tokoh kebajikan. Ia sederajat dengan serigala atau harimau. Apalagi godzilla, yang jelas-jelas bikin rusak.

Karena cicak itu lebih dekat dengan kita, maka saat buaya mencoba mengusik, tentu saja, semua bangkit melawan. Kita masih butuh cicak untuk menghabisi nyamuk-nyamuk pengisap darah. Negara ini masih butuh KPK yang kuat, kalau tak ingin tubuhnya bentol-bentol dan 'darahnya' habis diisap nyamuk koruptor.

Kita heran, mengapa pula 'cicak' diusik-usik. Apalagi ternyata belakangan, 'buaya' ternyata mengakui belum punya bukti 'cicak' yang makan suap dalam kasus yang ditanganinya. Tapi lha kok dua tokoh 'cicak' sudah dijadikan tersangka gara-gara penyalahgunaan wewenang? Lha, kalau cicak sudah punya wewenang dari Tuhan untuk membunuhi nyamuk, masa masih mau digugat lagi? Kalau KPK sudah jelas wewenangnya diatur undang-undang, apalagi sih yang mau disoal?

Jangan heran jika kemudian orang-orang pun mulai curiga: jangan-jangan...jangan-jangan... ah jangan-jangan. Apalagi jenderalnya 'buaya' belakangan disebut-sebut dalam kasak-kusuk kasus Bank Century. Aduh...

Sebenarnya, kita berharap Pak Presiden punya sikap tegas. Namun atas dalih tak mau mengintervensi, agaknya ia menahan diri. Menahan diri memang spesialisasi Pak Presiden: termasuk menahan diri melihat martabat negaranya diinjak-injak, TKI disiksa. Sekali saja Pak Presiden keterusan tak bisa menahan diri saat musim kampanye, dan bilang: kekuasaan (KPK) harus bisa dicek.

Di tempat lain, di DPR RI sana, pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengarah pada pemangkasan otoritas KPK. Si cicak mau dibunuh sama nyamuk-nyamuk yang sudah jengkel, karena tak bisa bebas mengisap darah.

Maka, lengkaplah sudah derita cicak. Ia tak hanya mau digugat, tapi juga hendak dicopoti kaki, tangan, dan lidahnya. Dalam kondisi begini, cicak tak boleh dibiarkan kalah dan jatuh dari dinding. Ia tetap harus menempel di dinding hukum negeri ini, sembari menangkapi nyamuk-nyamuk itu. Belum saatnya cicak menyerah!

Cicak-cicak di dinding
diam-diam merayap
datang seekor nyamuk
hap... lalu ditangkap! [wir]

No comments: